Emmy Saelan

pahlawan nasional Indonesia

Emmy Saelan (15 Oktober 1924 – 24 Januari 1947) adalah salah seorang pejuang wanita dan Pahlawan Nasional Indonesia.[1] Ayahnya bernama Amin Saelan, adalah tokoh pergerakan taman siswa di Kota Makassar dan sekaligus penasehat organisasi pemuda. Salah seorang adiknya yang laki-laki, Maulwi Saelan, adalah tokoh pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno.

Emmy Saelan
Lahir(1924-10-15)15 Oktober 1924
Malangke, Hindia Belanda
Meninggal24 Januari 1947(1947-01-24) (umur 22)
Makassar, Sulawesi, Indonesia
Dikenal atasPahlawan Nasional Indonesia, Pejuang perempuan yang gagah berani

Jejak perjuangan sunting

Emmy Saelan demikian dikenal merupakan seorang pejuang perempuan dari Sulawesi yang gugur di medan perjuangan di Kassi Kassi, sebuah desa dekat dari Kota Makassar pada tahun 1947. Sejak muda, Emmy Saelan tak sudi bekerja sama dengan Belanda. Ia pun turut berkiprah dalam pemogokan “Stella Marris” sebagai protes terhadap penangkapan Dr. Sam Ratulangi. Ayahnya, Amin Saelan adalah tokoh pergerakan Taman Siswa di Kota Makassar dan penasihat organisasi pemuda.

Suatu kali, pernah ia berkesempatan menggunakan posisinya sebagai perawat untuk melepaskan para pejuang yang ditawan Belanda. Sebuah tindakan yang berbahaya namun ketakutan pun diterobosnya agar para pejuang tersebut bebas. Pada bulan Juli 1946, ia menggabungkan diri dengan pasukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi atau LAPRIS di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang meneruskan perjuangan gerilya di hutan-hutan. Mana kala satuan-satuan Belanda menyerang Kassi Kassi, Emmy Saelan turut melemparkan granat ke arah Belanda yang hendak menangkapnya. Alhasil delapan Belanda tewas dan 1 pejuang tewas. 1 pejuang itu adalah Emmy Saelan sendiri.

Emmy adalah salah satu pejuang muda lulusan sekolah SMP Nasional di Kota Makassar. Didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Kota Makassar yang tidak bersepakat dengan rencana dibukanya sekolah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Guru-guru yang mengajar di kala itu adalah para tokoh republik. Sekolah ini hingga sekarang masih berdiri di Jl. Dr. Sam Ratulangi Makassar. Sekolah ini sendiri telah banyak melahirkan tokoh pejuang republik yang terletak di sekitar belakang Stadion Andi Mattalatta.

Di saat agresi militer ke dua Belanda terjadi, para pelahar sekolah tersebut membentuk laskar perjuangan dan bergerilya. Laskar perjuangan tersebut diberi nama Harimau Indonesia.  Laskar pejuang tersebut dikepalai oleh Robert Wolter Mongisidi dengan anggota Emmy Saelan, dan Maulwi Saelan yang adalah adik Emmy Saelan. Maulwi Saelan inilah yang kemudian dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan mantan kiper SPSI. Adik Emmy Saelan yang lain, yaitu Elly Saelan yang kemudian dikenal dengan nama Elly Yusuf, istri Jenderal TNI M. Jusuf, mantan Menhankam Pangab. Aksi laskar perjuangan Harimau Indonesia tidak main-main, dari menembak hingga melempar granat ke rumah-rumah pembesar Belanda. Karena gerah dengan aksi-aksi laskar pejuang ini, Belanda pun mendatangkan Raymond Westerling yang terkenal kejam.

Kedatangan Raymond Westerling ke Kota Makassar mempersempit ruang gerak kaum muda pejuang di SMP Nasional. Penangkapan pun dilakukan secara besar-besaran. Sebelum kehadiran Westerling, proses belajar mengajar berlangsung dengan baik namun kedatangan Westerling membuat sekolah itu terpaksa ditutup.

Di laskar Harimau Indonesia, Emmy berperan memimpin laskar perempuan yang sekaligus juga bertugas di palang merah. Kulitnya yang putih membuat dia mendapat nama sandi "Daéng Kébo’. Daeng adalah panggilan sapaan di Makassar yang berarti “Kak”. Emmylah yang menentukan aturan penggunaan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misal, bila ia memegang rambut dan orang yang dijumpai juga memegang rambut, maka berarti orang itu adalah sesama teman pejuang. Mantan komandan pasukan perempuan di Kota Makassar, Sri Mulyati juga mengisahkan bahwa Emmy Saelan adalah seorang yang ahli menggunakan sandi.

Menjadi laskar pejuang di usia teramat muda benar-benar membutuhkan keberanian besar. Mana kala di usia remaja kita lebih senang berjalan-jalan dan bersenda gurau. Sosok Emmy Saelan justru bergabung dengan perjuangan yang penuh mara bahaya. Berterima Kasihlah kita kepada para pejuang yang mengorbankan masa mudanya untuk kemerdekaan dari penjajah yang kini bisa kita rasai.

Bersiap menghadapi Belanda, Laskar Pejuang Harimau Indonesia kemudian mempersiapkan sebuah operasi melawan Belanda. Kala itu, menurut kisah Maulwi Saelan, adik dari Emmy Saelan, ia ditugaskan menjemput Emmy yang masih berada di Polombangkeng. Keberadaan Emmy sangat penting sebagai pimpinan Palang Merah  untuk menyertai gerakan operasi. Namun, ternyata Emmy tidak sabar menunggu jemputan dan mendahului turun ke Makassar untuk bergabung dengan pasukan Harimau Indonesia. Sehingga ketika tiba di Polombangkeng, Maulwi tidak bersua dengan sang kakak dan sempat tinggal beberapa hari di Polombangkeng, baru kemudian turun ke Makassar. Sesampainya di Makassar, ia mendapati pasukan Harimau Indonesia sedang bersiap hendak meluaskan operasi ke utara yaitu Pankajene dan Tanete Baru. Di sinilah, Maulwi sempat bertemu dengan Emmy namun Emmy tidak turut ke utara.

Kala itu, 23 Januari 1947, Emmy memimpin 40 orang bertempur di Kampung Kassi Kassi. Dari 40 orang yang dipimpin oleh Emmy, hanya 1 regu yang bersenjata api, lainnya masih menggunakan senjata tradisional  Pertempuran itu sendiri dikoordinasikan oleh Wolter Monginsidi yang sedang berada di Kampung Tidung. Emmy dan rombongan terkepung oleh pasukan tank Belanda dan dihujani tembakan, sehingga saat itu Monginsidi pun memerintahkan anak buahnya supaya mundur, termasuk Emmy Saelan, meski Mongisidi terletak di tempat terpisah. Dikisahkan, Monginsidi memerintahkan Emmy untuk mundur ke Kassi Kassi setelah musuh semakin gencar menyerang dengan tank-tank, padahal Emmy juga sedang membawa korban-korban luka. Emmy pun memimpin rombongannya untuk mundur, tetapi apa mau dikata, itu sudah terlambat. Emmy semakin terdesak dan terkepung. Tentara Belanda memerintahkannya untuk menyerah, apalagi semua teman Emmy sudah tewas tertembak kecuali Emmy sendiri. Emmy tak peduli dengan perintah Belanda, untuk terakhir kalinya, Emmy melemparkan granat ke tengah-tengah tentara Belanda,  sejumlah tentara Belanda tewas terbunuh, termasuk Emmy sendiri. Jenazah Emmy lalu dikuburkan oleh Belanda saat itu juga di lokasi pertempuran. Namun, Emmy beserta lima kawannya yang gugur dikuburkan di tempat terpisah. Lima orang lainnya dikubur dalam satu lubang di Kassi Kassi

Serdadu-serdadu KNIL sendiri sebelumnya tidak mengetahui bahwa yang meledakkan granat ke arah mereka adalah Emmy Saelan, seoran perempuan yang sedang mereka kejar. Mereka tidak menyadarinya karena Emmy mengenakan pakaian lelaki dengan celana panjang. Setelah mengetahui bahwa yang tewas itu adalah Emmy, para sedadu KNIL bersorak gembira.

Wolter Mongisidi yang kemudian mendapat kabar bahwa Emmy gugur di medan pertempuran pun seakan tidak percaya. Sore itu, 23 Januari 1947, kabar tewasnya Emmy dirasakan sebagai pukulan keras bagi Wolter Mongisidi. Karena itulah, Wolter Mongisidi memerintahkan agar segera dilakukan serangan balasan untuk menghancurkan musuh. Keputusan itu sebenarnya tidak tepat, karena situasi medan sangat tidak menguntungkan. Namun setelah diperingatkan oleh teman-teman seperjuangannya, Wolter Mongisidi akhirnya berubah pikiran.

Tgl 23 Januari 1947 pun segera diumumkan sebagai hari berkabung seluruh pasukan dalam lingkungan operasi III yang dipimpin oleh Wolter, karena hari itulah gugurnya seorang perempuan pejuang tanpa kenal takut memimpiin pasukannya bertempur.

Seusai situasi di Makassar pulih, kuburannya digali kembali. Pihak keluarga masih bisa mengenali jenazahnya dari konde dan giginya yang cacat. Dari kemeja dan celana panjangnya yang lusuh tercabik, baju yang kerap ia kenakan kala bergerilya. Tewasnya Emmy Saelan membuat seluruh keluarga terpukul. Rumah yang terletak di Jalan Ali Malaka 20, Makassar pun dirundung duka. Rumah tersebut terletak sekitar 400 m dari Pantai Losari, yang terkenal keindahannya. Amin Saelan, sang tuan rumah tak henti-hentinya melantunkan doa bagi sang anak. Amin Saelan adalah seorang tokoh pejuang dan tokoh Taman Siswa di Kota Makassar. Dari pengalamannya sebagai pejuanglah, Emmy Saelan mendapatkan elan semangat juang. Amin Saelan di jalan revolusi juga merupakan penasihat organisasi Pemuda Nasional Indonesia di Kota Makassar yang diketuai oleh Manai Sophiaan (ayah dari aktor Sophan Sophiaan).

Perjuangan Emmy Saelan pun dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional. Jasanya diabadikan dalam bentuk monumen dan nama jalan.

Jenazah Emmy Saelan kemudian dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang. Disana ia dimakamkan sebagai pahlawan yang gugur di medan juang. Emmy dinyatakan sebagai pahlawan nasional sebagaimana tertulis di Taman Makam Pahlawan itu.[2]

Pengabadian sunting

Untuk mengenang kepahlawanannya, jalan yang sering dilalui Emmy ketika bergerilya diabadikan sebagai nama Jalan yakni Jalan Emmy Saelan ini terletak di Jalan Sam Ratulangi Makassar. Bahkan, pernah diusulkan untuk membangun patung Emmy. Namun usul itu ditolak keluarga karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai gantinya, lokasi tempat Emmy gugur juga dibadikan dengan dibangunnya Monumen Emmy Saelan. Monumen ini terletak di kota Makassar di Jalan Toddopuli. Namun sayang, kondisi monumen tersebut sekarang tidak terawat. Seperti gambar Garuda Pancasila yang telah rusak dan ditumbuhi banyak rumput liar.

Monumen Emmy Saelan terletak di Jl. Hertasning Timur, yang bertuliskan “Monumen Maha Puteri Emmy Saelan”. Awalnya monumen ini dibangun lengkap dengan taman berisi permainan anak. Pada tahun 1985, Menko Polkam Soedomo meresmikan monumen ini. Bentuk monumen tersebut runcing di bagian atasnya, dan terdiri dari tiga pilar asimetris. Di tempat inilah, Emmy bersama pejuang lainnya termasuk Robert Wolter Mongisidi melakukan aksi long march menju Polongbangkeng, di daerah Gowa –Takalar. Emmy Saelan akhirnya tewas.

Sayang, keramik di monumen itu kotor dan rusak. Menunjukkan bahwa monumen ini tidak dirawat dengan baik. Padahal tempat bersejarah ini adalah warisan kekayaan yang patut dilestarikan. Di tempat inilah Emmy Saelan gugur melawan serdadu Belanda. Monumen ini penting untuk mengingat sejarah kita sendiri sebagai bangsa.

Lihat pula sunting

[3][4][5][6][7]

Pranala luar sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Emmy Saelan, Kisah Pejuang Wanita Di Garis Depan",[pranala nonaktif permanen] berdikarionline.com, 2011-06-18. Diakses pada 2016-04-22
  2. ^ "Emmy Zaelan Pejuang perempuan dari Sulawesi Selatan", Go Sulsel, 2013-08-02. Diakses pada 2016-03-22
  3. ^ Petrik Matanasi: "Bertemu dengan Sang Kapten", kompasiana, 2011-11-11. Diakses pada 2016-04-27
  4. ^ Muchlis Hamu: "Pejuang perempuan yang tangguh", Go Sulsel, 2015-04-25. Diakses pada 2016-04-27
  5. ^ Andi Faisal Djemma: "Monumen bersejarah yang terlupakan", peta-jalan.com, 2015-04-04. Diakses pada 2016-04-27
  6. ^ Astriana Aldina: "Monumen emmy saelan", adlienerz.com, 2015-07-12. Diakses pada 2015-04-27
  7. ^ Malle, R: "Pengabadian nama emmy saelan", id.foursquare.com, 2013-08-01. Diakse pada 2016=04-27