Ekspedisi Idi (bahasa Belanda:Edi-expeditie) adalah ekspedisi Belanda ke Idi, sebuah negara kecil di pesisir timur Aceh. Jenderal Belanda di Kutaradja mengutus pasukannya di bawah komando Jendral J.B. van Heutsz ke Idi pada 6 Juli 1898 hingga 24 Juli 1898. Sandi operasi tersebut adalah Het bedwingen van Teungkoe Tapa beweging (Memukul gerakan Teungku Tapa).

Teungkoe Tapa, de bedriegelijke herrijzen Malim Dewa, de z.g. onkwetsbare held uit de Atjehsche hikayat, had zich een enorme aanhang weten te verschaffen door den heiligen oorlog te prediken.[1]

Latar belakang

sunting

Aceh Timur, yang pada saat itu terdiri dari kenegerian-kenegerian, merupakan daerah yang kuat secara ekonomi karena merupakan basis penghasil lada yang besar. Belanda memperkirakan para uleebalang yang menguasai kenegerian yang terletak di ujung timur Sumatera itu tak sepenuhnya mau menerima kedaulatan Belanda. Untuk menguasainya, Belanda menelurkan pernyataan bahwa bagi uleebalang yang mengakui kekuasaan Belanda, akan diberi kado berupa posisi yang tetap sebagai kepala wilayah.

Hadiah itu disahkan dengan surat pengangkatan baru atau Acte van Aanstelling. Apabila ajakan tidak diindahkan, dijalankan cara lain yaitu melalui penekanan ekonomi. Daerah-daerah yang tidak mau tunduk akan dikenakan blokade pantai secara ketat. Seluruh dermaga dan pelabuhan di pantai Aceh ditutup, sehingga akses keluar dan masuk barang tidak bisa dilakukan. Belanda mengerahkan kapal-kapal perang untuk menjaga seluruh perairan pantai dan dermaga yang diblokade. Melalui cara ini, diharapkan uleebalang yang tidak taat akan mengalami kesulitan secara ekonomi karena tidak bisa menjual komoditi keluar daerahnya atau membawa masuk barang ke wilayahnya. Bila cara penekanan ekonomi masih belum mampu membuat para uleebalang bertekuk lutut, dilakukan langkah yang lebih keras yakni dengan kekuatan militer.[2]

Akibat ultimatum Belanda itu, sikap kenegerian-kenegerian di Aceh Timur menjadi terbelah. Daerah-daerah yang strategis, yang memiliki pelabuhan dan posisinya dekat dengan Pulau Penang wilayah yang menjadi tujuan ekspor komoditas Aceh untuk dipasarkan ke Eropa dan Amerika lebih memilih untuk mengamankan posisinya. Alasan ini menyebabkan Idi Rayeuk dan Sungai Rayeuk menerima pengakuan kedaulatan Belanda. Berbeda dengan wilayah yang kurang strategis, misalnya tak memiliki akses laut yang memadai seperti Simpang Ulim, Tanjung Seumantok dan Langsa. Ketiga uleebalang di daerah ini memilih untuk melakukan perlawanan dengan konsekuensi blokade. Sementara kenegerian Julok Rayeuk dan Peureulak, akibat tak tahan dengan blokade, selanjutnya merajut damai dengan menyatakan pengakuan tunduk kepada Belanda.[3]

Jatuhnya Idi

sunting

Idi Rayeuk mengibarkan bendera Hindia Belanda pada 7 Mei 1873. Bendera dikibarkan langsung oleh uleebalang Teuku Ben Guci, yang diterima dari komandan kapal perang Timor. Kapal ini merupakan kapal yang menjaga seluruh kawasan pantai Aceh yang diblokade Belanda setelah agresi pertama. Kapal Timor selanjutnya disiagakan di Idi Rayeuk untuk mengawasi kegiatan laut di seluruh Aceh Timur, didampingi oleh kapal Den Briel. Blokade laut yang dijalankan pemerintah Belanda tak hanya efektif dalam memberikan penekanan kepada para uleebalang agar bersikap melunak, tapi juga memberikan keuntungan bagi Idi Rayeuk. Kenegerian ini dapat secara bebas melepas penjualan lada ke Pulau Penang melalui Kuala Idi, nama daerah pelabuhan di Idi Rayeuk. Bahkan seluruh hasil lada dari kebun-kebun Aceh

Timur di luar Idi Rayeuk, juga dikirim melalui jalur pelabuhan Idi Rayeuk. Pada saat itu, Sungai Rayeuk juga memiliki dermaga, tetapi tidak sebesar Idi Rayeuk. Daerah-daerah utama penghasil lada seperti Simpang Ulim, Tanjung Seumantok, Julok Rayeuk, Julok Cut, Peudawa Rayeuk, Bagok dan Bugeng, lokasinya lebih dekat dengan Idi Rayeuk daripada Sungai Rayeuk. Itu sebabnya, hasil lada lebih banyak diekspor melalui pelabuhan Idi Rayeuk. “Pelabuhan Idi Rayeuk sudah terkenal sejak lama sebagai pelabuhan yang besar. Komunikasi dengan Pulau Penang dilakukan melalui telepon. Hingga sekarang, kabel telpon itu masih ada di Kuala Idi,” kata Muhammad Man, tetua Idi berusia 73 tahun, yang memberi kesaksian mengenai kemajuan Idi di masa lalu. Dari penjualan lada, uleebalang memperoleh bagian berupa pajak ekspor. Terdapat dua jenis pajak yang dikenal. Pajak ekspor untuk lada yang dihasilkan dari kenegerian yang tidak diblokade dan pajak ekspor untuk lada yang dihasilkan dari kenegerian yang diblokade. Nilai pajak keduanya berbeda. Ada semacam tarif khusus yang nilainya lebih tinggi bagi lada yang dihasilkan dari daerah yang mendapat blokade.[4]

Simpang Ulim misalnya, harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pajak eskpornya, yang dengan mata uang Singapura, nilai tambahan itu mencapai S$40 per kayon (pikul) lada. Selisih pajak yang tinggi itu menyebabkan harga lada di daerah yang diblokade dengan yang tidak diblokade juga terdapat perbedaan. Harga lada dari daerah yang diblokade merosot drastis karena pembeli tak berani membayar dengan harga pasar. Pertimbangannya, pembeli harus membayar pajak ekspor yang lebih tinggi ketika akan melepas lada ke luar Aceh. Para pemilik lada itu sendiri juga memiliki kekhawatiran tidak dapat menjual lada keluar dari kenegeriannnya. Dua faktor itulah yang menyebabkan lada dijual dengan harga yang sangat rendah. Para petani di Simpang Ulim misalnya, menjual dengan harga S$ 30 per pikul lada, padahal lada Idi Rayeuk bisa dijual dengan harga S$ 230. Pajak ekspor itu tentu tak hanya dinikmati oleh para uleebalang, tetapi yang terbesar masuk kas Pemerintah Hindia Belanda.

Pajak yang dikutip oleh uleebalang dari petani dan pedagang, harus disetorkan lagi ke Belanda. Pajak lada pada masa sebelumnya dikenal sebagai wase sultan atau pajak untuk Sultan. Setelah Kesultanan Aceh dikuasai Belanda, maka pajak Sultan diambil alih oleh Belanda. Besaran pajak yang dipungut untuk setiap daerah berbeda-beda, sangat bergantung dari tawar menawar yang dilakukan para uleebalang dengan Belanda. Nilai pajak di Idi Rayeuk misalnya, ditetapkan sebesar f55 untuk setiap pikul lada. Pajak lada di Peudawa Rayeuk adalah f50. Simpang Ulim menjadi kenegerian dengan penghasilan lada terbesar pada waktu itu. Dengan total pajak yang disetor setiap tahunnya mencapai f4.128, Simpang Ulim diganjar pajak f50 per pikul lada. Dengan pengenaan nilai pajak yang berbeda-beda, menyulitkan Belanda dalam memperhitungkan pemasukan, sehingga dikeluarkan kebijakan berupa pengenaan tarif pajak yang sama untuk setiap daerah, yaitu f35 untuk setiap pikul lada. Untuk kemudahan arus pemungutan pajak, pemerintah Belanda meminta uleebalang untuk memborongkan pemungutan pajak ekpsor lada dan impor berbagai barang lain yang masuk ke Aceh Timur kepada orang Cina yang sudah diangkat sebagai pemungut pajak.

Galeri

sunting

Sumber

sunting
  1. ^ "Kisah Teungku Tapa Menaklukkan Belanda – PORTALSATU.com" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 2020-06-12. 
  2. ^ Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-534-8. 
  3. ^ Madjid, Prof Dr M. Dien (2014). Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-855-4. 
  4. ^ Langkah Politik Belanda di Aceh Timur: Memahami Sisi Lain Sejarah Perang Aceh, 1873-1912

Catatan kaki

sunting