Ekonomi Hijau

ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.

Ekonomi Hijau adalah sebuah rezim ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi Hijau juga berarti perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbon dioksida dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.[1] Sedangkan ekonomi hijau ekologis merupakan sebuah model pembangunan ekonomi yang berlandaskan pembangunan berkelanjutan dan pengetahuan ekonomi ekologis.

Ciri ekonomi hijau yang paling membedakan dari rezim ekonomi lainnya adalah penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis sebagai nilai ekonomi dan akuntansi biaya di mana biaya yang diwujudkan ke masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban, kesatuan yang tidak membahayakan atau mengabaikan aset.[2]

Definisi

sunting

Pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, PBB secara resmi mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan berdasarkan Laporan Brundtland berjudul "Our Common Future". Pada tahun 2008, UNEP meluncurkan Inisiatif Ekonomi Hijau (GEI), yakni inisiatif penelitian global dan bantuan tingkat negara yang dirancang untuk memotivasi pembuat kebijakan agar mendukung investasi lingkungan. Pada Konferensi Rio+20 2012, istilah ekonomi hijau secara resmi diluncurkan sebagai salah satu upaya menuju keberlanjutan yang dipopulerkan oleh organisasi internasional seperti UNEP dan Bank Dunia.[3][4]

UNEP mendefinisikan ekonomi hijau sebagai ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Lebih lanjut, dalam perekonomian hijau, pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja harus didorong oleh investasi publik dan swasta yang mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, dan mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem.[5]

Secara spesifik, ekonomi hijau menekankan pada penetapan harga barang dan jasa yang berasal dari alam, baik itu tumbuhan, hewan, maupun ekosistem. Ekonomi hijau mengidentifikasi setiap fungsi spesifik ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dapat diubah menjadi subjek yang bernilai jual, mengevaluasi situasi terkini, menentukan batasan layanan, dan menetapkan nilai ekonomi dari biaya konservasi untuk mengembangkan pasar jasa lingkungan.[4]

Kritik

sunting

Salah satu pengkritik vokal ekonomi hijau adalah akademisi dan aktivis lingkungan asal India, Vandana Shiva. Ia menilai model ekonomi hijau yang populer hanyalah paradigma perekonomian konvensional yang masih menggunakan logika pasar yang cacat dan dibingkai ramah lingkungan. Ia berargumen ekonomi hijau yang berpusat pada pasar secara umum melakukan 2 hal, yakni pencucian hijau dan komodifikasi lingkungan.

  • Pencucian hijau: tindakan pemasaran atau pencitraan yang umumnya dilakukan perusahaan agar terlihat "hijau" atau ramah lingkungan. Praktik ini banyak dilakukan oleh perusahaan yang produknya tidak ramah lingkungan, misalnya Chevron atau Shell, yang berusaha menarik simpati publik dengan melakukan pencitraan "hijau".
  • Komodifikasi lingkungan: upaya untuk mengkomodifikasi dan memprivatisasi sumber daya alam yang seharusnya dimiliki bersama, misalnya privatisasi air, hak paten benih, dan pemasaran keanekaragaman hayati. Komodifikasi lingkungan juga mencakup komodifikasi jasa ekosistem, misalnya perdagangan karbon.[4]

Menurut Shiva, ekonomi hijau yang berbasis pasar adalah resep untuk bencana sosial dan ekologi karena berlandaskan asumsi keliru bahwa semua barang dan jasa lingkungan dapat dihargai dengan uang. Logika ini membuat negara atau korporasi dapat menerapkan monopoli hak-hak atas sumber daya alam dan cenderung mengeksploitasi alam selama memberikan keuntungan. Oleh karena itu, ia mengusulkan paradigma perekonomian hijau yang berpusat pada bumi dan rakyat. Sumber daya alam dimiliki oleh publik dan dikelola untuk kebaikan semua orang dan seluruh makhluk hidup. Siklus ekologi alam menjadi penentu perekonomian yang berpusat pada rakyat dan membangun kontribusi perempuan dalam perekonomian dan pemeliharaan lingkungan demi kemakmuran bersama.[4]

Lihat Juga

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Penjelasan bersumber dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication - A Synthesis for Policy Makers. http://www.hijauku.com/2012/01/01/ekonomi-hijau-ekonomi-berkeadilan-sosial/
  2. ^ Survei dan Perspektif Pengintegrasi Lingkungan dan Masyarakat. Runnals, D. (2011) “Environment and economy: joined at the hip or just strange bedfellows?”. S.A.P.I.EN.S. 4. http://sapiens.revues.org/1150
  3. ^ Loiseau, Eleonore; Saikku, Laura; Antikainen, Riina; Droste, Nils; Hansjürgens, Bernd; Pitkänen, Kati; Leskinen, Pekka; Kuikman, Peter; Thomsen, Marianne (2016-12-15). "Green economy and related concepts: An overview" (PDF). Journal of Cleaner Production. 139: 361–371. doi:10.1016/j.jclepro.2016.08.024. ISSN 0959-6526. 
  4. ^ a b c d Shiva, Vandana (2023). Berdamai dengan Bumi: Kejahatan Korporasi dan Masa Depan Sumber Daya, Tanah & Pangan. Diterjemahkan oleh Sari, Kumala. Yogyakarta: Penerbit Independen. 
  5. ^ UNEP (2011). "Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-28.