Ekonomi Bangladesh

Ekonomi Bangladesh termasuk salah satu ekonomi negara dengan penyebaran massa ekonomi yang merata di setiap wilayah. Tiap 5 persen luas negara Bangladesh menghasilkan sepersepuluh dari pendapatan nasional.[1] Pertumbuhan ekonomi Bangladesh cukup tinggi dan stabil. Mulai tahun 1996, pertumbuhan ekonomi Bangladesh berkisar antara 5-6,2%. Pertumbuhan ekonomi Bangladesh disertai dengan peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah. Bangladesh menjadi salah satu negara berbasis impor karena industri manufaktur belum berkembang dengan memadai. Ekonomi Bangladesh kurang terpengaruh oleh resesi global akibat remitansi dari tenaga kerja yang masih berada di luar negeri. Cadangan devisa negara Bangladesh dihasilkan oleh warga negara Bangladesh yang bekerja di luar negeri.[2]

Dhaka, Bangladesh.

Menurut Dana Moneter Internasional, Bangladesh memiliki ekonomi terbesar ke-48 di dunia, dengan produk domestik bruto sebesar $224,889 miliar. Pada tahun-tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Bangladesh tercatat sebesar 6-7%. Hampir setengah penduduk Bangladesh bekerja di sektor pertanian. Pendapatan per kapita Bangladesh pada tahun 2008 adalah $1.500 (menurut keseimbangan kemampuan berbelanja).[3]

Tahun Produk Domestik Bruto Nilai tukar terhadap dollar AS Inflasi

(2000=100)

Pendapatan per kapita

(% dari pendapatan per kapita AS)

1980 250.300 16,10 Taka 20 1.79
1985 597.318 31,00 Taka 36 1.19
1990 1.054.234 35,79 Taka 58 1.16
1995 1.594.210 40,27 Taka 78 1.12
2000 2.453.160 52,14 Taka 100 0.97
2005 3.913.334 63,92 Taka 126 0.95
2008 5.003.438 68,65 Taka 147

Persaingan

sunting

Di Bangladesh terjadi persaingan ekonomi yang dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja yang berlebihan. Para pekerja bekerja di industri padat karya seperti tekstil, garmen dan sepatu. Dalam industri padat karya, upah buruh lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk bisnis yang lain. Bangladesh mencegah terjadinya krisis ekonomi setelah tahun 1998 dengan mempertahankan lapangan pekerjaan yang telah ada. Usaha untuk menciptakan lapangan kerja tidak diutamakan oleh pemerintah. Penerimaan dan pemecatan buruh menjadi tidak ketat disertai dengan penghapusan aturan upah minimum.[4]

Covid-19

sunting

Bangladesh sedang mengalami krisis ekonomi di sektor perbankan ketika COVID-19 mulai menyebar di dalam negaranya. Krisis ekonomi Bangladesh meliputi krisis likuiditas, akumulasi substansial dari pinjaman bermasalah, dan inefisiensi operasional. COVID-19 menyebabkan penurunan nilai kredit dan deposito sistem perbankan yang sebelumnya dalam tahap pemulihan. Nilai kredit menurun1,28% dan Dana Pihak Ketiga menurun 1,53% terhitung Desember 2019 dan Januari 2020. Bursa efek Dhaka dalam pasar modal Bangladesh juga menurun hingga ke level terendah 4.068 poin pada Januari 2020. Pada Januari 2019, nilainya adalah 5.952 poin teratas.[5]

Referensi

sunting
  1. ^ World Bank (2009). Laporan Pembangunan Dunia 2009: Menata Ulang Geografi Ekonomi (PDF). Jakarta: Penerbit Salemba Empat. hlm. 119. ISBN 978-979-061-005-7. 
  2. ^ "Hubungan Bilateral Indonesia - Bangladesh". Kementerian Luar Negeri Repulik Indonesia. Diakses tanggal 10 Juli 2021. 
  3. ^ "CIA World Factbook 2007". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-25. Diakses tanggal 2010-07-19. 
  4. ^ Mishra, Satish C. (2010). Keterbatasan Pembuatan Kebijakan Ekonomi Informal di Indonesia: Pelajaran Dekade Ini (PDF). Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional. hlm. 36. ISBN 978-92-2-823952-2. 
  5. ^ Hidayat, dkk., ed. (2020). Impacts of the Covid-19 Outbreak on Islamic Finance in the OIC Countries (PDF). Jakarta: Komisi Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. ISBN 978-623-90941-6-4. 

Lihat juga

sunting

Pranala luar

sunting