Nicolaus Driyarkara

(Dialihkan dari Driyarkara)

Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ (13 Juni 1913 – 11 Februari 1967).

Salah satu gagasan atau ajaran pokok Driyarkara adalah "manusia adalah kawan bagi sesama". Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini (homo homini socius). Pikiran homo homini socius ini diajukan untuk mengkritik, mengoreksi, dan memperbaiki sosialitas preman; sosialitas yang saling mengerkah, memangsa, dan saling membenci dalam homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).

Sampai tahun 1951 nama Driyarkara tidak dikenal. Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk studi secara intensif. Catatan harian yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 sampai awal tahun 1950 tidak pernah lepas dari persoalan aktual-mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia.

Karya publik awal tulisannya tidak langsung filosofis. Karya awalnya berupa catatan ringan dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Disusul kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.

Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat. Mulanya dengan nama Puruhita, kemudian dengan nama lengkap Driyarkara. Cara penyajiannya bergaya percakapan, setapak demi setapak membawa pembaca ke permenungan filosofis.

Saat mengasuh Basis, Driyarkara diserahi tugas menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang kepentingan pendidikan guru memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain dikenal sebagai filsuf juga seorang ahli pendidikan.

Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, Driyarkara memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya, ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, dialah pembela pertama hak mahasiswa dan pelajar untuk demonstrasi. Di tengah keadaan kritis dan buntu-mentok, dia tampil dengan gagasan menerobos lewat pemberian makna.

Biografi sunting

Buku dan tulisan sunting

Driyarkara memang tidak pernah menulis buku. Driyarkara tidak meninggalkan satu pun karya utuh komprehensif tentang satu persoalan.

Kalau mau disebut sebagai "buku", mungkin tulisan tentang filsafat Malebranche, disertasi untuk memperoleh gelar doktor ilmu filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, tahun 1952. Disertasi itu berupa manuskrip setebal 300 halaman ditulis dalam bahasa Latin klasik. Naskah asli disimpan di Roma, tetapi tahun 1954 terbit versi ringkasannya setebal 40 halaman.

Selain disertasi, hampir semua karya Driyarkara berupa tulisan-tulisan pendek. Isinya komentar tentang persoalan-persoalan hangat pada zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi UI tahun 1962.

Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang dikembangkan Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa-negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia. Driyarkara mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos.

Beberapa buku kumpulan tulisan dan tentang Driyarkara sunting

  • Jejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
  • Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969 Cet I dan 1975 Cet II.
  • Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.

Sekolah Tinggi sunting

Pada tanggal 2 Februari 1969 (tepat 2 tahun setelah Driyarkara meninggal), di sebuah ruang tamu di Susteran Theresia Jalan H Agus Salim, Jakarta, jejak perintisan Sekolah Tinggi Filsafat bernama Driyarkara dimulai.

Proses pembidanan sebuah sekolah filsafat dilakukan bersama oleh rekan-rekan almarhum, yaitu Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr. Slamet Iman Santosa yang mendambakan didirikannya sebuah institut filsafat di Indonesia yang terbuka untuk umum, berdiri sendiri, dan merupakan pusat yang mampu menarik dosen untuk lebih memantapkan usaha pengembangan filsafat di Jakarta. Inilah dies natalis pertama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1969.

Pendapat sunting

Soe Hok Gie, adik Arief Budiman—salah satu pengagumnya—menyebut Driyarkara sebagai "filsuf dalam arti sebenarnya". "Dia selalu meragukan postulat, bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Namun, dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai tercipta kepastian-kepastian kecil."

Fuad Hassan menggolongkannya sebagai pemikir yang selalu risau atas realitas masyarakat, "seorang pekerja keras" kata Slamet Iman Santoso, filsuf yang tidak memburu popularitas tulis Daoed Joesoef. Franz Magnis-Suseno SJ, Soerjanto Poespowardoyo, Mudji Sutrisno, Toeti Heraty—sekadar menyebut beberapa nama—menyatakan Driyarkara bukan hanya guru besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.

Pemikir besar Indonesia lainnya, Soedjatmoko, menyebut Driyarkara pembawa pemikiran filsafat modern. Driyarkara pemberi makna atas perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.

Pranala luar sunting