Mr. Djody Gondokusumo (dahulu Raden Mas Djody Soerjomataram)[1] adalah seorang mantan Menteri Kehakiman Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I antara 30 Juli 1953 sampai 11 Agustus 1955. Djody juga merupakan Ketua Umum Partai Rakyat Nasional.[2]

Djody Gondokusumo
Menteri Kehakiman Indonesia ke-9
Masa jabatan
30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955
PresidenSoekarno
Perdana MenteriAli Sastroamidjojo
Informasi pribadi
Lahir(1912-07-07)7 Juli 1912
Yogyakarta, Hindia Belanda
MeninggalIndonesia
KewarganegaraanIndonesia
Partai politikPartai Rakyat Nasional
ProfesiAhli Hukum
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup sunting

Ia pernah memiliki rumah di kawasan Kotabaru, Yogyakarta yang sekarang menjadi gedung Bank NISP dan Richeese Factory.[3][4]

Kasus Hukum[5] sunting

Mr. Djody Gondokusumo dihukum gara-gara turut melakukan perbuatan ‘sebagai pegawai negeri menerima hadiah sedangkan ia patut menduga bahwa hadiah itu berhubungan dengan kekuasaan kaena jabatannya’. Putusan itu dijatuhkan majelis hakim yang terdiri dari (i) Mr. R. Satochid Kartanegara, (ii) M. R.Soerjotjokro, dan (iii) Mr. Soetan Abdoel Hakim, pada 23 Desember 1955.

Hal ini disebabkan karena dirinya tersandung perkara hadiah dari seorang pengusaha asal Hong Kong, Bong Kim Tjhong. Bong mengadakan kunjungan singkat ke Indonesia. Karena masa waktunya habis, Bong ingin memperpanjang visanya. Pada waktu perpanjangan yang kedua, Menteri Djody membuat catatan bahwa ini perpanjangan ‘betul-betul yang terakhir’. Masa perpanjangan sebulan. Akan tetapi catatan ‘betul-betul yang terakhir’ tidak dipenuhi Menteri Djody. Ia memberi lampu hijau ketika Bong memperpanjang visa kunjungan yang ketiga selama dua bulan. Menteri Djody menyetujui usul perpanjangan yang disampaikan orang kepercayaannya, Soebagio. Keputusan memperpanjang masa berlaku visa itu sudah diperingatkan Supadi, Kepala II Jawatan Imigrasi Pusat. Imigrasi Tanjung Priok akhirnya menangkap Bong karena visanya sudah lewat waktu. Berdasarkan penelusuran aparat penegak hukum saat itu terungkap ternyata urusan visa itu bisa berjalan mulus lantaran suap sebesar Rp 20.000,00.

Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib Moro selaku penuntut menduga duit pemberian dari orang-orang yang mengurus visa akan dipakai untuk membiayai Partai Rakyat Nasional (PRN) yang diketuai Mr. Djody. Pembantu sang Menteri juga berasal dari pengurus PRN. Soebagio, pria yang bertindak menerima uang dari utusan Bong, adalah sekretaris pribadi dan tinggal di kamar belakang paviliun rumah terdakwa.

Di persidangan, Mr. Djody mencoba menyangkal keterlibatannya. Ia berdalih sebagai menteri, tidak bisa dijerat dengan kualifikasi pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 418 dan 419 KUHP.

Dalam pertimbangannya perkara No. 1/1955/MA.Pid itu, Mahkamah Agung berpendapat: “cukup petunjuk bahwa di dalam hal pemberian izin menetap untuk Bong Kim Thjong dan bersangkut paut dengan itu hal penerimaan Rp20.000 oleh Soebagijo dari Bong Shiang Thjong dengan perantaraan Notopuro, terdakwa bekerjasama yang erat dan sadar dengan Soebagijo dan Notopuro. Oleh karena berdasar atas petunjuk-petunjuk yang disebut di atas Mahkamah Agung menganggap cukup terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa patut dapat menyangka bahwa Soebagijo dan Notopuro masing-masing menerima Rp20.000 dari Bong Kim Thjong untuk mendapat surat izin menetap di Indonesia”.

“Terdakwa mengetahui, setidak-tidaknya dapat menyangka, bahwa uang tersebut dihadiahkan berhubung dengan kekuasaan atau kewenangan karena jabatannya sebagai Menteri Kehakiman, yang berwenang untuk memberi zin menetap di Indonesia bagi orang-orang asing”.

Djody Gondokusumo didakwa dua tuduhan. Primair, memberi visa permanen Bong Kim Tjhong tanpa perduli keberatan diajukan Kepala Kepolisian Negara dalam suratnya tertanggal 16/12/1954 No.E3518/2146-54. Subsidair, menerima hadiah sebesar Rp.40.000 yang dianggap sebagai pelicin agar visa tersebut lulus. Perbuatan ini dapat dihukum menurut, Pasal 419 subsidair 418 KUHP.

Tanggal 2 Januari 1956, Hakim Ketua Mr. Satochid Kartanegara memvonis satu tahun penjara potong masa tahanan, atas tuduhan subsidair, pihak Pembela mengajukan grasi. Tanggal 19 Juli 1956, Presiden meluluskan grasi dengan mengurangi masa tahanan jadi enam bulan. Sebelum vonis MA jatuh, terpidana sudah menjalani penahanan lima bu­lan, maka harus menjalani penahanan selama satu bulan. Sehari kemudian, Mr. Djody Gondokusumo menjalani hukum­an di penjara Cipinang.[6] [7]

Referensi sunting

  1. ^ Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa. Gunseikanbu. 1944. 
  2. ^ https://nasional.kompas.com/read/2015/01/28/14000051/Korupsi.dari.Kerajaan.Nusantara.hingga.Reformasi?amp=1&page=2
  3. ^ "Rumah Mr. Djody Gondokusumo - Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-23. Diakses tanggal 2021-10-19. 
  4. ^ "Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta". pariwisata.jogjakota.go.id. Diakses tanggal 2021-10-19. 
  5. ^ "Korupsi". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2017-03-25. Diakses tanggal 2021-10-21. 
  6. ^ Roeslan Saleh. Keputusan-Keputusan tentang Perkara Pidana. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 1958.
  7. ^ R.M. Panggabean. Budaya Hukum Hakim di Bawah Pemerintahan Demokrasi dan Otoriter (Studi tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI 1950-1965). Jakarta: Pusat Studi Hukum Ekonoi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008.