Dermatitis popok iritan

Dermatitis popok iritan[2] (bahasa Inggris: irritant diaper dermatitis) adalah istilah umum untuk ruam kulit di daerah dipakainya popok akibat berbagai gangguan kulit dan/atau penyebab iritasi. Ruam popok ini dapat muncul baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Sebanyak 70% bayi dapat mengalami gejala gangguan kulit akibat popok mulai pada tujuh hari setelah kelahiran.[3]

Irritant diaper dermatitis
Benign diaper rash
Informasi umum
Nama laindiaper dermatitis, napkin dermatitis"[1]:80 diaper rash, nappy rash

Ruam popok umum atau irritant diaper dermatitis (IDD) bercirikan petak eritema yang bersambung dan kulit yang mengelupas terutama pada permukaan yang menonjol bulat, tidak memengaruhi lipatan kulit.

Ruam popok yang diikuti infeksi bakteri atau jamur cenderung menyebar ke permukaan berceruk (yaitu lipatan kulit), juga permukaan yang membulat, dan sering kali memunculkan eritema berdaging dengan pusat merah bersama bintil-bintil di tepi.

Biasanya hal tersebut dianggap termasuk dermatitis kontak iritan. Kata "popok" pada nama penyakit bukan karena popok menyebabkan munculnya ruam tetapi karena ruam dihubungkan dengan penggunaan popok, disebabkan oleh bahan yang terperangkap dalam popok (biasanya tinja). Dermatitis kontak alergi muncul dalam argumen tetapi hanya ada sedikit bukti yang mendukung hal ini.[4] Pada orang dewasa dengan inkontinensia (tinja, air seni, atau keduanya), ruam ini biasa disebut sebagai incontinence-associated dermatitis (IAD).[5][6]

Istilah kandidiasis popok digunakan jika sumber jamur terdeteksi. Perbedaan ini penting sebab penanganan (antijamur) sepenuhnya berbeda.

Penyebab sunting

Dermatitis popok iritan muncul jika kulit terpapar basah yang lama, keasaman kulit yang menjadi lebih basa karena kombinasi, dan reaksi setelahnya, oleh air seni dan tinja, serta rusaknya stratum korneum, atau lapisan terluar kulit.[7] Ini bisa terjadi karena diare, buang air besar yang sering, popok yang ketat, paparan berlebihan terhadap amonia, atau reaksi alergi.[8] Pada orang dewasa, stratum korneum terdiri atas 25 hingga 30 lapis keratinosit mati gepeng,yang terus menerus dilepaskan dan digantikan oleh lapisan di bawahnya. Sel-sel mati ini tersambung dengan lipid yang disekresikan oleh stratum granulosum yang berada tepat di bawahnya, membantu mempertahankan lapisan ini sebagai pembatas tahan air. Fungsi stratum korneum adalah mengurangi pelepasan air, menolak air, melindungi lapisan kulit yang lebih dalam dari kerusakan, dan menghalangi invasi mikroba ke kulit. Pada bayi, lapisan kulit ini lebih tipis dan mudah terganggu.[9]

Bayi biasanya mulai mengeluarkan air seni dalam 24 jam setelah kelahiran. Pengeluaran urine ini dapat terjadi 20 kali sehari hingga usia mencapai dua bulan; frekuensi berkurang menjadi delapan kali sehari hingga delapan bulan. Pengeluaran tinja dapat terjadi tiga hingga enam kali sehari hingga usia mencapai delapan bulan; kemudian berkurang hingga sekali atau tiga kali sehari. Pada bulan pertama bayi, penggantian popok hingga enam kali adalah wajar.[10]

Urine sunting

 
Cloth diaper

Walau basah sendiri berakibat kerja lebih keras dari kulit, melunakkan stratum korneum, dan meningkatkan besar-besaran kerentanan terhadap luka akibat gesekan, urine memberi efek tambahan pada keutuhan kulit karena pengaruhnya pada keasaman kulit. Walau penelitian menunjukkan bahwa amonia saja hanyalah penyebab iritasi kulit yang ringan, begitu urea terpecah karena adanya urease tinja, pH (kuatnya keasaman) meningkat karena amonia yang terlepas, kemudian meningkatkan aktivitas enzim tinja seperti protease dan lipase.[7] Enzim tinja ini meningkatkan hidrasi (muatan air) kulit dan permeabilitas garam empedu yang merupakan penyebab iritasi kulit.

Perbedaan tidak tampak di antara tingkat ruam popok pada pengguna popok sekali pakai konvensional dan pengguna popok kain yang dipakai ulang. "Bayi yang menggunakan popok sekali pakai penyerap super dengan bahan pembentuk gel mengalami lebih sedikit episode ruam popok jika dibandingkan dengan pengguna popok kain. Namun demikian, perlu disadari bahwa popok penyerap super mengandung pewarna yang dicurigai menyebabkan dermatitis kontak alergi (ACD)."[11] Baik popok kain maupun sekali pakai harus diganti dengan sering untuk mencegah ruam popok, walau pengguna tidak merasa basah. Untuk mengurangi munculnya kasus ruam popok, popok sekali pakai direkayasa agar dapat menarik kelembapan dari kulit bayi dengan gel sintetis yang tidak terdegradasi secara biologis. Hari ini, popok kain menggunakan kain mikrofiber penyerap super yang baru saja ada, terletak dalam kantong dengan lapisan bahan ringan permeabel yang bersentuhan dengan kulit. Desain ini berguna menarik kelembapan dari kulit ke kain mikrofiber. Teknologi ini digunakan oleh kebanyakan merek popok-kain-berkantong besar hari ini.

Pola makan sunting

Interaksi antara enzim pada tinja dan IDD mengonfirmasi pengamatan bahwa makanan dan ruam popok bayi terhubung karena enzim pada tinja dipengaruhi oleh makanan. Bayi yang menyusu, misalnya, mengalami lebih sedikit kasus ruam popok, mungkin karena kotoran mereka memiliki pH yang lebih tinggi dan aktivitas enzim yang lebih rendah. Ruam popok juga kemungkinan besar terdeteksi pada bayi 8–12 bulan mungkin akibat peningkatan konsumsi makanan padat dan perubahan makanan pada usia tersebut, komposisi tinja mengalami pengaruhnya. Setiap kali asupan bayi berubah secara signifikan (yaitu. dari air susu ibu ke formula atau dari susu ke makanan yang padat), terdapat peningkatan kemungkinan terjadinya ruam popok.[12]

Hubungan antara tinja dan IDD juga tampak ketika bayi lebih rentan mengalami ruam popok setelah diberikan antibiotik, yang memengaruhi mikroflora intestinal.[13][14] Selain itu, terjadi peningkatan terjadinya kasus ruam popok pada bayi yang menderita diare pada 48 jam sebelumnya, mungkin karena enzim tinja seperti lipase dan protease lebih aktif pada tinja yang lewat secara cepat melalui saluran gastrointestinal.[15]

Infeksi sekunder sunting

Pentingnya infeksi sekunder pada IDD masih kontroversial. Hubungan tidak tampak di antara ada atau tidaknya IDD dan jumlah koloni mikroba.[7] Walau tampaknya bayi yang sehat terkadang memiliki kultur positif untuk Candida dan lainnya tanpa menunjukkan gejala apa-apa, terdapat korelasi positif antara keparahan ruam popok dan kemungkinan munculnya infeksi sekunder. Sejumlah ragam infeksi muncul dalam laporan, termasuk Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, enterococci dan Pseudomonas aeruginosa tetapi Candida tampil sebagai penginvasi oportunis paling sering di daerah popok.[16][17][18][19]

Diagnosis sunting

Diagnosis IDD dibuat secara klinis, melalui pengamatan batas erupsi eritema pada permukaan yang bulat di daerah kemaluan dan bokong. Jika dermatitis popok berlangsung lebih lama daripada 3 hari, mungkin saja terdapat koloni Candida albicans, memunculkan kandidiasis popok dengan batas tajam dan warna merah yang menonjolnya.[20]

Diagnosis diferensial sunting

Ruam lain yang mungkin muncul di daerah popok mencakup seborrhoeic dermatitis dan dermatitis atopik. Baik dermatitis seborrheic dan atopik membutuhkan penanganan masing-masing; bukan topik yang dibahas di sini.

  • Dermatitis seborrheic, bercirikan terkelupasnya kulit kuning tebal berminyak, paling sering muncul di kulit kepala (cradle cap) tetapi dapat juga muncul di lipatan inguinal.
  • Dermatitis atopik, atau eczema, berhubungan dengan reaksi alergi, sering kali turunan. Kelas ruam ini dapat muncul di mana saja di badan dan bercirikan gatal yang intens.

Swamedikasi sunting

Penanganan tanpa resep dokter, cukup dengan konsultasi apoteker atau tenaga kesehatan yang lain, hanya boleh dilakukan jika beberapa kondisi berikut tidak tampak.[10]

  • Lesion telah ada selama lebih daripada tujuh hari.
  • Lesion tidak membaik setelah tujuh hari walau menerima penanganan yang sesuai.
  • Terdapat infeksi sekunder (viral, bakterial, atau fungal)
  • Lesion adalah bagian atau disebabkan oleh penyakit lain.
  • Dermatitis berkaitan dengan infeksi saluran kemih (berkemih menyakitkan) atau kelainan penis atau vulva.
  • Terdapat kulit yang rusak (ulserasi, blister, atau pengelupasan) karena berjalannya penyakit atau pasien (e.g. garukan)
  • Penampakan menyerupai kulit onion atau formasi bulla muncul pada daerah yang terjangkit.
  • Darah, vesikel, cairan, atau nanah muncul keluar pada lesion.
  • Lesion berlangsung kronis (jangka panjang) dan sering kambuh.
  • Gejala gangguan kebugaran yang umum muncul (e.g. demam, diare, mual, muntah, bengkaknya nodus limfa inguinal, detak nadi cepat, atau ruam atau lesion kulit di daerah lain tubuh.
  • Perubahan perilaku yang signifikan terjadi pada pasien (e.g. letargi, menangis terus-menerus) berhubungan dengan ruam.
  • Kondisi komorbid (e.g. HIV, transplantasi organ, terapi imunosupresan, riwayat indeksi hepatik dermal).

Penanganan sunting

Penanganan yang mungkin mencakup minimalisasi penggunaan popok,krem penghalang, kortison ringan topikal, dan agen antijamur. Beragam proses inflamasi dan infeksi dapat terjadi di daerah popok dan kesadaran akan dermatitis ruam tipe sekunder ini membantu diagnosis dan penangan yang akurat pada pasien.[21]

Secara keseluruhan, sangat sedikit bukti dengan kualitas yang cukup memberitahukan efektivitas penanganan yang beragam. Kain lap dengan sifat membersihkan, melembabkan, serta melindungi mungkin lebih baik daripada sabun dan air; pembersih kulit juga mungkin lebih baik daripada sabun dan air tetapi kekuatan bukti dibandingkan dengan penanganan lain adalah sangat rendah.[22]

Penggantian popok sunting

Penanganan yang paling efektif, walau bukan yang paling praktis, adalah pemberhentian penggunaan popok, membiarkan kulit yang terjangkit terkena udara.[23] Pilihan lain yang mudah adalah mempersering pergantian popok.[20] Pengeringan kulit seluruhnya sebelum pemasangan popok adalah usaha pencegahan yang baik karena kelembapan berlebihanlah, entah dari air seni dan tinja atau dari keringat, yang memberi peluang terjadinya ruam.[24]

Jenis popok sunting

Beberapa sumber mengklaim bahwa ruam popok lebih sering pada pengguna popok kain.[7] Yang lain mengklaim bahwa bahan popok memberi efek sejauh ini karena dapat, menarik kelembaban dari kulit bayi dan mencegah infeksi Candida sekunder.[25] Namun demikian, tidak ada data yang cukup dari randomized controlled trial untuk mendukung atau melarang penggunaan popok sekali pakai.[26] Dan lagi, efek popok yang tidak terdegredasi secara biologis terhadap lingkungan adalah faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan kebijakan publik.[27]

Krem, salep sunting

Pendekatan lain adalah mengeblok kelembapan sehingga tidak mencapai kulit; pengobatan yang umum direkomendasikan dengan ini termasuk pelindung berbasis minyak atau krem penghalang, beragam "krem popok" yang dijual bebas, jeli petroleum, dimetikon, dan minyak lain. Penyegel demikian biasanya memberi efek yang sebaliknya jika kulit tidak kering sepenuhnya, yang mana justru menyegel kelembaban di dalam kulit padahal harusnya di luar.

Salep berbasis seng oksida seperti Pinxav mungkin lumayan efektif, terutama sebagai pencegahan, karena memberi efek baik mengeringkan dan astringent kulit, sebagai antiseptik ringan tanpa iritasi.[21]

Meta-analisis 2005 menemukan tidak ada bukti penggunaan vitamin A topikal mengobati dermatitis popok.[28]

Bahaya penggunaan bedak sunting

Beragam bubuk penyerap kelembaban, seperti talkum atau tepung, mengurangi kelembaban tetapi mungkin menyebabkan komplikasi lain. Bubuk yang terbawa udara dapat menyebabkan iritasi jaringan paru-paru, dan bubuk dari tanaman bertepung (jagung, arrowroot) dapat menumbuhkan jamur dan tidak direkomendasikan oleh American Academy of Dermatology.[29]

Antijamur sunting

Pada ruam yang terus menerus atau sangat buruk, krem antijamur sering digunakan. Pada kasus yang mana ruam condong merupakan iritasi, sediaan kortikosteroid topikal ringan, e.g. krem hidrokortison, diberikan. Kesulitan membedakan infeksi jamur dari iritasi kulit semata membuat banyak dokter memilih krem kombinasi kortikosteroid-dan-antijamur seperti hidrokortison/mikonazol.

Referensi sunting

  1. ^ James, William; Berger, Timothy; Elston, Dirk (2005). Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. (10th ed.). Saunders. ISBN 0-7216-2921-0.
  2. ^ Rapini, Ronald P.; Bolognia, Jean L.; Jorizzo, Joseph L. (2007). Dermatology: 2-Volume Set. St. Louis: Mosby. ISBN 978-1-4160-2999-1. 
  3. ^ Visscher, Marty O.; Chatterjee, Ranjit; Munson, Karen A.; Bare, Diane E.; Hoath, Steven B. (2000-01). "Development of Diaper Rash in the Newborn". Pediatric Dermatology. 17 (1): 52–57. doi:10.1046/j.1525-1470.2000.01710.x. ISSN 0736-8046. 
  4. ^ John Harper (MB; BS; MRCP.); Arnold P. Oranje; Neil S. Prose (2006). Textbook of pediatric dermatology. Wiley-Blackwell. hlm. 160–. ISBN 978-1-4051-1046-4. Diakses tanggal 9 May 2010. 
  5. ^ Payne, D (2017), "Stop the rash: managing incontinence-associated dermatitis in the community", Br J Community Nurs, 22 (Suppl 3): S20–S26, doi:10.12968/bjcn.2017.22.Sup3.S20, PMID 28252336. 
  6. ^ Barthel, W.; Markwardt, F. (1975), "PubMed search "incontinence-associated dermatitis[Title]"", Biochemical Pharmacology, 24 (20): 1903–4, doi:10.1016/0006-2952(75)90415-3, PMID 20 
  7. ^ a b c d Shin, Helen T. (2014-04-01). "Diagnosis and Management of Diaper Dermatitis". Pediatric Clinics of North America. Pediatric Dermatology. 61 (2): 367–382. doi:10.1016/j.pcl.2013.11.009. PMID 24636651. 
  8. ^ "What is diaper rash: What causes diaper rash?". MedicalBug. Diakses tanggal 31 August 2012. [pranala nonaktif permanen]
  9. ^ Chiou, Y.B.; Blume-Peytavi, U. (2004). "Stratum Corneum Maturation". Skin Pharmacology and Physiology (dalam bahasa english). 17 (2): 57–66. doi:10.1159/000076015. ISSN 1660-5527. PMID 14976382. 
  10. ^ a b Handbook of nonprescription drugs : an interactive approach to self-care. Berardi, Rosemary R. (edisi ke-16th ed). Washington, D.C.: American Pharmacists Association. 2009. ISBN 978-1-58212-122-2. OCLC 234426657. 
  11. ^ Dib, Rania. "Diaper Rash". Medscape. Diakses tanggal 31 August 2012. 
  12. ^ Atherton D.J.; Mills K. (2004). "What can be done to keep babies' skin healthy?". RCM Midwives Journal. 7 (7): 288–290. 
  13. ^ Borkowski S (2004). "Diaper rash care and management". Pediatr Nurs. 30 (6): 467–70. PMID 15704594. 
  14. ^ Gupta AK, Skinner AR (2004). "Management of diaper dermatitis". Int. J. Dermatol. 43 (11): 830–4. doi:10.1111/j.1365-4632.2004.02405.x. PMID 15533067. 
  15. ^ Atherton DJ (2004). "A review of the pathophysiology, prevention and treatment of irritant diaper dermatitis". Curr Med Res Opin. 20 (5): 645–9. doi:10.1185/030079904125003575. PMID 15140329. 
  16. ^ Ferrazzini G, Kaiser RR, Hirsig Cheng SK, et al. (2003). "Microbiological aspects of diaper dermatitis". Dermatology. 206 (2): 136–41. doi:10.1159/000068472. PMID 12592081. 
  17. ^ Ward DB, Fleischer AB, Feldman SR, Krowchuk DP (2000). "Characterization of diaper dermatitis in the United States". Arch Pediatr Adolesc Med. 154 (9): 943–6. doi:10.1001/archpedi.154.9.943. PMID 10980800. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-16. Diakses tanggal 2020-05-02. 
  18. ^ Wolf, R.; Wolf, D.; Tüzün, B.; Tüzün, Y. (November 2000). "Diaper dermatitis". Clinics in Dermatology. 18 (6): 657–660. doi:10.1016/s0738-081x(00)00157-7. ISSN 0738-081X. PMID 11173200. 
  19. ^ Weston, W. L.; Lane, A. T.; Weston, J. A. (October 1980). "Diaper dermatitis: current concepts". Pediatrics. 66 (4): 532–536. ISSN 0031-4005. PMID 7432838. 
  20. ^ a b Abzug, Mark; Deterding, Robin; Hay, William; Levin, Myron (2014-04-29). Current diagnosis & treatment : pediatrics. Hay, William W., Levin, Myron J., Deterding, Robin R., Abzug, Mark J. (edisi ke-Twenty-second). New York. ISBN 978-0071827348. OCLC 877881324. 
  21. ^ a b Scheinfeld N (2005). "Diaper dermatitis : a review and brief survey of eruptions of the diaper area". American Journal of Clinical Dermatology. 6: 273–81. doi:10.2165/00128071-200506050-00001. PMID 16252927. 
  22. ^ Beeckman, D; Van Damme, N; Schoonhoven, L; Van Lancker, A; Kottner, J; Beele, H; Gray, M; Woodward, S; Fader, M (10 November 2016). "Interventions for preventing and treating incontinence-associated dermatitis in adults". The Cochrane Database of Systematic Reviews. 11: CD011627. doi:10.1002/14651858.CD011627.pub2. PMC 6464993 . PMID 27841440. 
  23. ^ "Nappy Rash". Medinfo. Diakses tanggal 31 August 2012. 
  24. ^ "How to Treat Baby Rash? Identify and Treat Baby Rash". thebabyrash.com (dalam bahasa Inggris). 2017-05-02. Diakses tanggal 2017-05-21. 
  25. ^ Akin, Frank; Spraker, Mary; Aly, Raza; Leyden, James; Raynor, William; Landin, Wendell (2001-08-01). "Effects of Breathable Disposable Diapers: Reduced Prevalence of Candida and Common Diaper Dermatitis". Pediatric Dermatology (dalam bahasa Inggris). 18 (4): 282–290. doi:10.1046/j.1525-1470.2001.01929.x. ISSN 1525-1470. PMID 11576399. 
  26. ^ Baer, E. L.; Davies, M. W.; Easterbrook, K. J. (2006-07-19). "Disposable nappies for preventing napkin dermatitis in infants" (PDF). The Cochrane Database of Systematic Reviews (3): CD004262. doi:10.1002/14651858.CD004262.pub2. ISSN 1469-493X. PMID 16856040. 
  27. ^ Prasad, H. R. Y.; Srivastava, Pushplata; Verma, Kaushal K. (October 2004). "Diapers and skin care: merits and demerits". Indian Journal of Pediatrics. 71 (10): 907–908. doi:10.1007/bf02830834. ISSN 0019-5456. PMID 15531833. 
  28. ^ Davies, Mark W; Dore, Amanda J; Perissinotto, Kaylene L (2005-10-19). "Topical Vitamin A, or its derivatives, for treating and preventing napkin dermatitis in infants". Cochrane Database of Systematic Reviews (dalam bahasa Inggris) (4): CD004300. doi:10.1002/14651858.CD004300.pub2. ISSN 1465-1858. PMC 6718230 . PMID 16235358. 
  29. ^ "Mom and baby skin care". American Academy of Dermatology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 August 2012. Diakses tanggal 31 August 2012. 

Pranala luar sunting

Klasifikasi
Sumber luar