Dasawarsa Nanjing (disebut juga Dasawarsa Nanking, Hanzi: 南京十年; Pinyin: Nánjīng shí nián atau Dasawarsa Keemasan, Hanzi: 黃金十年; Pinyin: Huángjīn shí nián) adalah nama informal untuk dasawarsa dari tahun 1927 (atau 1928) sampai 1937 dalam sejarah Republik Tiongkok. Dasawarsa ini dimulai ketika Generalissimo Chiang Kai-shek dari kelompok Nasionalis merebut Nanjing dari panglima perang Sun Chuanfang dari kelompok Zhili (Hanzi: 直(隸)系軍閥; Pinyin: Zhí (Lì) Xì Jūn Fá), dalam setengah perjalanan Ekspedisi Utara pada tahun 1927. Chiang medeklarasikan Nanjing sebagai ibu kota negara meskipun sayap kiri pemerintahan Nasionalis berada di Wuhan. Faksi Wuhan menyerah dan Ekspedisi Utara terus berlanjut sampai pemerintahan Beiyang di Beijing dikalahkan pada tahun 1928, dan Marsekal Muda Zhang Xueliang mengganti bendera tentaranya menjadi bendera Republik Tiongkok (Reunifikasi Tiongkok (1928)).

Dasawarsa ini berakhir dengan terjadinya invasi Jepang yakni pecahnya Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada tahun 1937 dan mundurnya pemerintahan nasional dari Nanjing.[1]

Nanjing memiliki arti penting simbolis dan strategis. Dinasti Ming telah menjadikan Nanjing sebagai ibu kota, republik telah didirikan di sana pada tahun 1912, dan pemerintahan sementara Sun Yat-sen pernah berada di sana. Jenazah Sun dibawa dan ditempatkan di mausoleum agung untuk memperkuat legitimasi Chiang. Chiang lahir di provinsi tetangga dan wilayah keseluruhannya memiliki dukungan rakyat yang kuat baginya.

Dasawarsa Nanjing ditandai dengan kemajuan dan frustrasi. Periode itu jauh lebih stabil daripada era panglima perang sebelumnya. Terdapat stabilitas yang cukup untuk memungkinkan pertumbuhan ekonomi dan dimulainya proyek-proyek pemerintah yang ambisius, beberapa di antaranya diambil lagi oleh pemerintah baru Republik Rakyat Tiongkok setelah tahun 1949. Pejabat layanan luar negeri Nasionalis bernegosiasi untuk pengakuan diplomatik dari pemerintahan barat dan mulai mengurai perjanjian yang tidak seimbang. Pengusaha, pendidik, pengacara, dokter, dan profesional lainnya lebih bebas untuk mendirikan institusi-institusi modern daripada masa-masa sebelumnya. Namun ada juga penindasan pemerintah terhadap perbedaan pendapat, korupsi dan nepotisme, pemberontakan di beberapa provinsi, konflik dalam pemerintah, kelangsungan hidup dan perkembangan Partai Komunis Tiongkok, dan protes luas terhadap kegagalan pemerintah untuk menghentikan agresi Jepang.

Negara-partai

sunting

Organisasi dan fungsi KMT sebagai negara satu-partai berasal dari "Tiga Tahapan Revolusi" Sun Yat-sen dan kebijakan tentang Dang Guo. Tahap pertama adalah penyatuan militer, yang telah dilakasanakan melalui Ekspedisi Utara. Yang kedua adalah "pengawasan politik" yang merupakan pemerintahan sementara yang dipimpin oleh KMT untuk mendidik rakyat tentang hak-hak politik dan sipil mereka, dan tahap ketiga adalah pemerintahan konstitusional. KMT menganggap diri mereka berada di tahap kedua pada tahun 1928.

KMT membentuk pemerintahan bercabang lima (berdasarkan Tiga Prinsip Rakyat) menggunakan undang-undang dasar. Pemerintahan ini tidak mengakui sebagai kelanjutan dari pemerintahan Beiyang yang telah mati yang menikmati pengakuan internasional, tetapi negaranya masih sama - Republik Tiongkok. Namun demikian, banyak birokrat dari pemerintahan Beiyang berbondong-bondong ke Nanjing untuk menerima pekerjaan.

Referensi

sunting
  1. ^ Zarrow, Peter (2005). China in War and Revolution, 1895-1949 (dalam bahasa Bahasa Inggris). Abingdon, Oxon: Routledge. hlm. 248. ISBN 0-415-36447-7.