Pembakaran Plaza Sentral Klender

(Dialihkan dari Ciplaz Klender)

Pembakaran Plaza Sentral Klender terjadi pada 14 Mei 1998, pada hari kedua Kerusuhan Mei 1998 yang menimpa Jakarta dan beberapa kota-kota lainnya di Indonesia. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu peristiwa yang paling banyak memakan korban jiwa dalam kerusuhan tersebut,[4] dengan mencapai 288-488 jiwa yang terbakar hidup-hidup.[2][3]

Pembakaran Plaza Sentral Klender
Bagian dari Kerusuhan Mei 1998
LokasiPlaza Sentral Klender, Jl. I Gusti Ngurah Rai No. 13, Duren Sawit, Jakarta Timur, DKI Jakarta
Tanggal14 Mei 1998, pukul 14:00 WIB
Jenis serangan
Pembakaran disengaja (arson)
Korban tewas
174[1]
288 (Pemprov DKI)[2]
488 (TGPF Mei 1998)[3]
PelakuTidak diketahui (diduga kuat massa misterius, dengan ciri rambut cepak, kekar, mirip seperti tentara)[3]

Latar belakang

sunting

Plaza Sentral Klender berlokasi di Jl. I Gusti Ngurah Rai No. 13, Jakarta Timur dan dibangun pada 1989-1990. Mal ini diresmikan pada tahun 1991 dengan nama awalnya adalah Central Klender Plaza.[5] Seiring upaya pengindonesiaan nama-nama gedung yang dicanangkan pemerintah Orde Baru pada pertengahan 1990-an,[6] nama Central Klender Plaza diubah menjadi Plaza Sentral Klender. Mal ini juga populer dikenal dengan nama Plaza Klender,[7] Mal Klender, atau Yogya Plaza Klender. Nama Yogya Plaza Klender diambil mengingat Yogya Group pernah memiliki gerai utamanya di Jakarta pada mal ini, dan papan namanya terpampang besar dalam setiap foto mal ini, meskipun nama tersebut bukanlah nama resminya. Adapun Yogya memiliki swalayan dan toko serba ada di lantai 2 dan 3. Selain Yogya sebagai anchor tenant, terdapat juga bioskop Cinema 21 di lantai 5, pertokoan di lantai 1-3, dan balai sidang di lantai 4.[5]

Peristiwa

sunting

Hingga saat ini peristiwa pembakaran Plaza Sentral Klender masih cenderung simpang siur, karena belum adanya investigasi resmi dari lembaga berwajib untuk mengusut pembakaran yang memakan korban ratusan jiwa ini.[8] Namun, dari beberapa sumber pihak non-pemerintah maupun keluarga korban, peristiwa tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

14 Mei 1998

sunting

Seiring kerusuhan yang mulai melanda Jakarta pada 13 Mei, keesokan harinya, manajemen Plaza Sentral Klender memutuskan untuk menutup mal tersebut untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Kebetulan, pada hari yang sama, banyak siswa SMA yang dipulangkan lebih awal. Namun, entah apa penyebabnya, di sekitar Klender kemudian para pelajar tersebut terlibat bentrok dengan sekelompok "pemuda" lain yang memiliki ciri khas: berwajah agak tua dan badannya kekar, mulai jam 10:40 (atau 11:30) WIB. Bentrok mereka kemudian terpusat ke Plaza Sentral Klender, yang mengundang perhatian masyarakat, yang gerah akan aksi dua kelompok "pemuda" tersebut dan berusaha membubarkan mereka. Di tengah tawuran tersebut, seseorang mulai membakar ban. Tidak lama kemudian, sekitar jam 12:00 WIB, terjadi bentrokan lagi antara para pelajar dengan sekitar 20 orang yang berkumpul di Plaza Sentral Klender (dengan ciri khas yang sama: wajah tua, badan kekar/atletis, dan rambut cepak). Bentrokan tersebut menyebabkan para pelajar masuk ke area mal untuk menghindari "pemuda" (dengan ciri khas) yang menyerang mereka dengan besi dan kayu. Pada jam 12:30 WIB, muncul massa lain (sekitar 50 orang) yang mulai melempari mal tersebut dan pertokoan di sekitarnya. Dengan pentungan mereka, mereka lalu meneriakkan kepada masyarakat untuk menjarah Plaza Sentral Klender "...karena itu punya Cina".[3][2][9]

Masyarakat lalu berbondong-bondong memasuki Plaza Sentral Klender dan menjarah apapun yang ada di dalamnya tanpa bisa dikendalikan, tanpa adanya tindakan dari aparat keamanan. Dua jam setelah penjarahan dimulai, pada 14:00 WIB muncul massa lain dengan jaket yang turun dari truk Mitsubishi Fuso dari arah Pondok Kopi. Mereka memiliki ciri-ciri serupa dengan "pemuda" misterius yang terlibat tawuran sebelumnya: berambut cepak, namun mengaku sebagai "mahasiswa" atau "siswa SMA".[10] Menurut salah satu keluarga korban dan saksi mata, Ruminah, ada juga dari mereka yang berambut gondrong, bertato, membawa jerigen dan handy-talkie.[3] Massa misterius itu lalu mulai menumpahkan minyak tanah ke tumpukan kasur dan pakaian yang ada di tengah mal, dan kardus di luar mal, lalu membakarnya.[11] Dengan cepat, sekitar pukul 14:00 WIB, api membesar, dari dua titik api kecil yang awalnya dinyalakan perusuh untuk menerangi mal yang minim pencahayaan tersebut. Para pembakar itu kemudian naik truk kembali ke arah Kampung Melayu.[3][2]

Memasuki jam 15:30 WIB, api yang mulai melahap isi gedung membuat para penjarah dan masyarakat panik. Banyak orang, termasuk perempuan dan anak-anak, mulai berusaha keluar, terutama yang terjebak di lantai atas. Asap tebal membuat banyak di antara mereka terjebak. Yang berani, berusaha keluar, entah dengan dibantu tali dan peralatan seadanya oleh warga,[12] atau memecahkan kaca dan melompat ke bawah yang banyak di antaranya membuat mereka terluka atau tewas.[13] Pada jam 17:30 WIB api melahap seluruh isi gedung. Namun, upaya masyarakat menyelamatkan yang masih tersisa, dihalangi oleh beberapa orang dan pintu yang dikunci. Pada jam 21:30 WIB, api mulai padam setelah hujan mulai mengguyur Jatinegara dan sekitarnya.[2]

15 Mei 1998

sunting

Banyak korban yang mengalami luka-luka dan harus dibawa ke beberapa rumah sakit, salah satunya RSUP Persahabatan.[14] Pagi keesokan harinya, pada pukul 08:30 WIB, sekelompok relawan dari PMI masuk dan mulai mengeluarkan mayat-mayat, yang secara tragis di antara mereka sudah banyak menjadi arang, menghitam, dan tidak bisa teridentifikasi. Mayat itu lalu dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Beberapa mayat tersebut ada yang berhasil dibawa pulang oleh keluarganya dan dimakamkan di TPU Penggilingan, Pondok Kelapa, Cipinang Muara, Kampung Jati, dan Tanah Koja,[2] sedangkan yang tidak teridentifikasi dikuburkan dalam makam massal yang ada di TPU Pondok Rangon.[14] Sedangkan Plaza Sentral Klender yang sudah hangus, kemudian dijaga oleh tentara pada 16 Mei 1998. Masih banyak warga yang terus masuk sampai beberapa hari kemudian untuk mencari sanak keluarga mereka yang menghilang pasca-peristiwa ini.[2]

Selain korban jiwa, pembakaran Plaza Sentral Klender juga menyebabkan kerugian besar pada berbagai pihak lain. Yogya Departement Store, sebagai penghuni utama mal, mengalami kerugian besar karena ludesnya barang-barang jualan akibat dijarah atau terbakar, meskipun mereka bisa mengatasinya dengan bertanggung jawab pada para penyalur.[15] Penulis dan jurnalis Iwan Gayo juga merugi besar, karena proyek Ensiklopedi Tanah Air yang dirintisnya lenyap akibat peristiwa tersebut. Hal ini karena kantor tempatnya menyimpan proyek tersebut, ikut dijarah/terbakar dalam peristiwa ini.[5]

Pasca-pembakaran

sunting

Hingga saat ini, banyak hal akan pembakaran Plaza Sentral Klender masih terbilang misterius. Antara lain adalah siapa pelakunya,[16] dan jumlah korban tewas atau luka. Ada yang menyebut 174,[1] 288 (menurut Pemda DKI dan tabloid Adil),[2] hingga ada juga yang menyebut 488 (data Tim Gabungan Pencari Fakta/TGPF Kerusuhan Mei).[3]

Nasib para keluarga korban

sunting

Hingga saat ini, keluarga korban masih aktif memperingati peristiwa pembakaran Plaza Klender dan Kerusuhan Mei 1998 pada umumnya. Banyak di antara keluarga penyintas bergabung dalam sebuah kelompok bernama Forum Komunikasi Keluarga Mei (FKKM) 1998.[2] Ada juga yang aktif dalam organisasi perlindungan HAM seperti Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).[14] Beberapa aksi para penyintas maupun keluarga korban tersebut, seperti mengadakan tabur bunga di depan City Plaza Klender (nama Plaza Sentral Klender saat ini) dan makam massal korban di TPU Pondok Rangon,[17] hingga mengikuti secara rutin Aksi Kamisan.[2] Mereka masih terus menuntut tanggung jawab negara untuk menyelesaikan peristiwa yang diduga kuat disebabkan oleh persaingan para elite ini.[16][13][18] Para korban juga sering membuat pengajian bersama, menyelenggarakan arisan dan drama, hingga membentuk koperasi.[19] Menurut peneliti Kontras, tentu tidak mudah bagi mereka untuk bertahan menuntut pertanggungjawaban para elite atau negara, dikarenakan stigma sebagai "pencuri" atau "keluarga pencuri" yang melekat pada mereka di benak masyarakat. Sama seperti banyak kejadian lainnya dalam Kerusuhan Mei, diduga kuat pembakaran Plaza Sentral Klender merupakan operasi sistematis yang dilakukan oleh sejumlah pihak di pucuk kekuasaan, terutama militer untuk memperkuat posisinya.[20]

Nasib mal pasca-Mei 1998

sunting

Mal ini kemudian diambilalih pengelolaannya oleh PT Jakarta Inti Land dari PT Daya Cipta Abadi. Dalam waktu tidak terlalu lama, tepatnya pada 29 November 2000, Plaza Sentral Klender dibuka kembali dengan nama baru: Citra Mal Klender. Pada 2018-2019 mal tersebut direnovasi kembali menjadi City Plaza (Ciplaz) Klender yang tetap bertahan sampai sekarang. Sebagai anchor tenant kini adalah Ramayana Departement Store.[5]

Budaya populer

sunting

Pada tahun 2014, rumah produksi Hitmaker Studio membuat film berjudul Mall Klender yang disutradarai oleh Ricky dan Ram Soraya. Film yang dibintangi sejumlah artis top seperti Denny Sumargo dan Shandy Aulia ini menceritakan para remaja yang berusaha melakukan "uji nyali" di dalam mal puluhan tahun setelah ia menjadi saksi bisu peristiwa kerusuhan dan pembakaran.[2]

Ciplaz Klender, sebagai penerus Plaza Sentral Klender, juga belakangan banyak dipenuhi legenda urban sebagai salah satu mal "angker" di Jakarta, seperti adanya arwah dari korban, satpam, hingga pramuniaga hingga "wajah terbakar" dari beberapa orang yang pernah nampak di sekitar lokasi.[2] Menurut pengakuan warga sekitar, beberapa bulan setelah kerusuhan mereka masih dapat mencium bau anyir darah hingga teriakan orang-orang dari dalam mal.[21]

Rujukan

sunting

Pranala luar

sunting