Casti Connubii adalah sebuah ensiklik kepausan yang diumumkan secara resmi oleh Paus Pius XI pada tanggal 31 Desember 1930. Ensiklik ini menekankan kesucian perkawinan, melarang umat Katolik Roma untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi buatan, dan menegaskan kembali larangan terhadap aborsi. Dokumen ini juga menjelaskan kekuasaan gereja atas masalah-masalah moral, dan menyarankan agar para pemerintahan sipil mengikuti jejak gereja dalam hal ini.

Topik-topik sunting

Kesucian pernikahan, penentangan terhadap egenetika sunting

Doktrin Katolik kuno menganggap pantang berhubungan seksual sepenuhnya sebagai tingkatan yang paling suci dari kehidupan manusia, dan pernikahan hanya diperbolehkan bagi mereka yang tidak memiliki keteguhan yang diminta oleh kehidupan berpantangan. Namun, ensiklik ini justru menekankan bahwa pernikahan adalah suatu hal yang suci, yang sama murninya dengan kondisi tetap perawan/perjaka dan tidak menikah.

Casti Connubii menetang keras hukum-hukum egenetika (perbaikan ciri-ciri fisik manusia melalui suatu intervensi manusia), yang sedang terkenal saat itu, yang melarang mereka yang dianggap tidak pantas untuk menikah dan memiliki keturunan:

Mereka yang bertindak seperti ini adalah orang-orang yang bersalah karena tidak dapat melihat fakta bahwa keluarga itu lebih suci daripada negara, dan bahwa manusia tidak berkembang biak untuk bumi dan waktu, tapi demi Surga dan keabadian.

Ensiklik ini juga menegaskan kembali penentangan Gereja terhadap perzinahan dan perceraian, dan mendukung posisi wanita sebagai pengurus rumah tangga (yang berseberangan dengan usulan gerakan feminis bahwa wanita memiliki karier sendiri).

Alat kontrasepsi sunting

Sebelum lahirnya ensiklik ini, sebagian umat Katolik percaya bahwa satu-satunya alasan sah untuk berhubungan seksual adalah sebagai suatu usaha untuk membuat keturunan.[1] Pada saat itu, tidak terdapat posisi resmi Gereja mengenai berbagai tujuan non-prokreasi dari hubungan badan. Casti Connubii beberapa kali mengulangi bahwa hubungan suami-istri secara hakiki berhubungan dengan proses prokreasi (penciptaan):

... penggunaan apapun dari ikatan perkawinan yang dilaksanakan dalam suatu bentuk dimana tindakan tersebut secara sengaja menggagalkan kemampuan alaminya untuk menciptakan kehidupan adalah suatu pelanggaran terhadap Hukum Tuhan dan Hukum Alam, dan mereka yang melakukan hal-hal tersebut terbebani dengan perasaan bersalah dari suatu dosa besar.

Walau demikan, Casti Connubii juga mengakui bahwa unsur persatuan dalam hubungan badan adalah suatu hal yang sah:

Dan tidak juga mereka yang dianggap bertindak melawan alam yang dalam ikatan pernikahan menggunakan hak-hak mereka dengan benar walau karena alasan-alasan alamiah akibat waktu maupun kekurangan-kekurangan tertentu, kehidupan yang baru tidak bisa diciptakan. Karena di dalam pernikahan sebagaimana juga di dalam penggunaan hak-hak pernikahan terdapat juga tujuan-tujuan sekunder, seperti sifat saling membantu, pembenihan sifat saling mencintai, dan pelampisan nafsu birahi yang mana suami-istri tidak dilarang untuk mempertimbangkannya sejauh mereka tetap mematuhi tujuan utama dari pernikahan mereka tersebut dan sepanjang sifat dasar hakiki dari tindakan tersebut dipertahankan.

'Alasan-alasan alamiah akibat waktu maupun kekurangan-kekurangan tertentu' secara luas diterima sebagai rujukan pada menopause dan ketidak-suburan. Alinea ini, oleh karena itu, berarti pasangan yang telah memasuki masa menopause dan pasangan yang tidak subur diperbolehkan secara moral melakukan hubungan badan, walaupun tidak ada kemungkinan memperoleh anak dari tindak tersebut.

'Alasan-alasan alamiah akibat waktu' diartikan juga oleh beberapa pihak sebagai masa datang bulan wanita.[2] Praktik-praktik untuk menghindari kehamilan dengan cara tidak melakukan hubungan seksual ketika sang wanita sedang subur (Keluarga Berencana Alami) pertama kali dibahas oleh Badan Pertobatan Apostolik pada tahun 1853 dan 1880, yang menyatakan bahwa praktik-prakter tersebut adalah sejalan dengan moralitas.[3] Namun, beberapa teolog Katolik terus bersikukuh bahwa praktik-praktik semacam itu sama saja dengan kontrasepsi dan, oleh karena itu, tidak bermoral, dan beberapa ahli sejarah menganggap dua pidato dari Paus Pius XII pada tahun 1951[4] sebagai penerimaan Gereja yang terbuka pertama mengenai keluarga berencana alami.[1] Pandangan gereja modern terhadap kontrasepsi dibahas lebih jauh di dalam ensiklik Paus Paulus VI Humanae Vitae tahun 1968, dan dalam seri kuliah Paus Yohanes Paulus II berjudul Teologi Tubuh Manusia.

Aborsi sunting

Ensiklik ini mengulangi kutukan pihak Gereja terhadap tindakan aborsi di semua situasi. Dokumen ini juga menarik hubungan antara pasangan yang menggunakan alat-alat kontrasepsi dengan pasangan yang melakukan aborsi:

... para orang-tua kejam yang berusaha untuk tetap tidak punya anak, dan kegagalan untuk meraih tujuan ini, tidaklah malu untuk membunuh hasil pembuahan mereka.

Pengaruh sunting

Casti Connubii dikenal atas posisi anti-kontrasepsinya. Tidak seperti beberapa denominasi besar Protestan, Gereja Katolik Roma terus bertahan pada penentangannya terhadap kontrasepsi buatan. Ensiklik ini, bersama-sama dengan Humanae Vitae, hadir untuk mewakili pendirian tersebut.

Bacaan selanjutnya sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Yalom, Marilyn (2001). A History of the Wife (edisi ke-First edition). New York: HarperCollins. hlm. pp. 297–8, 307. ISBN 0-06-019338-7. 
  2. ^ Kippley, John (1996). The Art of Natural Family Planning (edisi ke-4th Edition). Cincinnati, OH: The Couple to Couple League. hlm. 231. ISBN 0-926412-13-2. 
  3. ^ Pivarunas, Mark. A. (2002-02-18). "On the Question of Natural Family Planning". Religious Congregation of Mary Immaculate Queen (CMRI). Diakses tanggal 2007-06-03. 
    Harrison, Brian W. (2003). "Is Natural Family Planning a 'Heresy'?". Living Tradition. Roman Theological Forum (103). Diakses tanggal 2007-06-03. 
  4. ^ Moral Questions Affecting Married Life: Addresses given October 29, 1951 to the Italian Catholic Union of midwives Diarsipkan 2010-12-06 di Wayback Machine. and November 26, 1951 to the National Congress of the Family Front and the Association of Large Families, National Catholic Welfare Conference, Washington, DC.