Budi daya padi

kegiatan membudidayakan padi

Budi daya padi adalah serangkaian proses pertanian yang mencakup penanaman, perawatan, dan panen tanaman padi (Oryza spp.) untuk menghasilkan beras sebagai sumber pangan utama di banyak negara. Proses ini melibatkan pengelolaan lahan, pemilihan varietas unggul, serta teknik pertanian yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan produksi, mulai dari peladangan sampai pengairan irigasi seperti sawah. Berdasarkan temuan arkeologis, jejak budi daya padi Oryza sativa japonica telah ditemukan di lembah Sungai Yangtze, Tiongkok Selatan, sejak sekitar 6.000 SM.[1] Sementara itu, penelitian genetik terbaru menunjukkan bahwa domestikasi padi japonica kemungkinan terjadi lebih awal, sekitar 9.000 tahun yang lalu.[1] Selama periode pendinginan global sekitar 4.200 tahun lalu, padi ini mengalami diversifikasi dan menyebar luas ke Asia Timur serta wilayah tropis Nusantara.[1]

Seorang petani dari Kamboja sedang bercocok tanam padi.

Sejarah

sunting
 
Panen padi huma di Hindia-Belanda tahun 1915

Pendinginan global pada periode Holosen menyebabkan kekeringan yang berdampak pada kemunduran peradaban di Mesopotamia, Mesir, dan Lembah Yangtze di Tiongkok.[1] Kondisi ini mendorong migrasi manusia ke berbagai wilayah, termasuk ke utara menuju Korea dan Jepang serta ke selatan menuju Asia Tenggara.[1] Migrasi ini tidak hanya membawa tanaman padi, tetapi juga berbagai serealia seperti jawawut.[1] Pergerakan manusia ini menjadi salah satu asal-usul penyebaran kebudayaan Austronesia yang meluas ke Kepulauan Asia Tenggara, Oseania, hingga Madagaskar.[1] Sebagai pelaut ulung, bangsa Austronesia mampu menjelajahi lautan luas, menjadikan rumpun bahasa mereka sebagai yang paling tersebar luas sebelum era kolonialisme abad ke-16, membentang dari Pulau Paskah di Samudera Pasifik hingga Madagaskar di Samudera Hindia.[1]

Di Nusantara, jejak budi daya padi dapat ditelusuri melalui persebaran kosakata terkait, seperti huma, alu, dan padi.[1][2] Istilah huma atau ladang kering menandai kedatangan awal padi ke wilayah Nusantara, yang pada tahap awal lebih banyak dibudidayakan dengan sistem peladangan di dataran tinggi, bukan di sawah.[1] Pada periode ini, varietas padi yang umum ditanam adalah japonica dan javanica.[1]

Berbeda dengan sistem sawah yang lebih berorientasi pada monokultur dengan penanaman satu jenis tanaman dalam satu lahan, sistem peladangan lebih beragam. Sawah baru berkembang dengan kedatangan pengaruh India yang membawa varietas Oryza sativa indica, serta teknologi seperti bajak, kapas, dan roda pemintal untuk menenun.[1] Budi daya padi sawah mulai menyebar ke Sumatra seiring dengan berkembangnya permukiman Hindu sekitar abad ke-2. Varietas indica lebih dominan di dataran rendah Jawa dan Bali, sedangkan javanica tetap bertahan di daerah pedalaman dan dataran tinggi. Hingga kini, beberapa komunitas adat, seperti Masyarakat Adat Kanekes (Baduy), masih mempertahankan pola bertanam padi ladang atau huma.[1]

Metode Budi Daya Padi di Nusantara

sunting

Huma merupakan metode budi daya padi di ladang kering tanpa sistem pengairan atau irigasi.[1][3] Teknik peladangan tradisional digunakan oleh berbagai komunitas adat di Indonesia, terutama di wilayah dengan ekosistem hutan. Sistem ini sering dikaitkan dengan masyarakat adat sepert Baduy di Banten, namun, huma juga dikenal oleh masyarakat adat di Sumatra dan Kalimantan.[1] Dalam praktiknya, huma tidak hanya menjadi tempat menanam padi atau tanaman pangan lainnya, tetapi juga bagian dari siklus ekologis yang menjaga keseimbangan lingkungan dengan adanya sistem pengistirahatan lahan yang disebut reuma untuk mengembalikan tanah bekas garapan kembali menjadi hutan.[3]

Sawah adalah lahan pertanian yang secara khusus digunakan untuk menanam padi dengan sistem pengairan yang terkontrol. Untuk mendukung pertumbuhan padi, sawah harus mampu menahan genangan air dalam periode tertentu selama siklus pertumbuhan tanaman. Air yang digunakan dalam sistem sawah dapat berasal dari irigasi mata air, sungai, atau curah hujan. Sawah yang mengandalkan curah hujan disebut sawah tadah hujan, sementara sawah yang mendapat pasokan air dari sistem irigasi disebut sawah irigasi. Pada lahan yang memiliki kemiringan tinggi, sawah biasanya dicetak dalam bentuk terasering atau sengkedan, seperti yang banyak ditemukan di daerah pegunungan di Jawa dan Bali untuk menahan air sekaligus membantu mencegah erosi serta mempertahankan kesuburan tanah.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Arif, Ahmad (2021). Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024814809. 
  2. ^ Blust, Robert (1976). "Austronesian Culture History: Some Linguistic Inferences and Their Relations to the Archaeological Record". World Archaeology. 8 (1): 19–43. 
  3. ^ a b Ghaida, Nanda (2022). Puisi Sunda dalam Tradisi Huma (PDF). Kantor Bahasa Provinsi Banten.