Bedhaya Bontit merupakan yasan dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939)[1]. Diciptakan pada 1925, Bedhaya Bontit tidak memiliki kedudukan khusus atau peran dalam upacara sakral. Para penarinya juga tidak diharuskan menjalankan ritual khusus seperti saat akan menarikan tari bedhaya yang sakral di Keraton Yogyakarta. Penari yang sedang nggarap sari atau menstruasi pun diperbolehkan untuk menarikannya. Bedhaya Bontit tetap ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia tahun 2023 asal Daerah Istimewa Yogyakarta usulan Keraton Yogyakarta.[2]

Sejarah

sunting

Catatan mengenai Bedhaya Bontit dimuat dalam manuskrip “Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya Srimpi” dengan kode BS 09 : 12. Manuskrip tersebut kini disimpan di Perpustakaan Kawedanan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta.

Tari ini menukil epos Mahabharata dan menggambarkan pertarungan antara Raden Permadi (Raden Harjuna) dengan Raden Suryatmaja (Adipati Karna) di Pura Mandaraka memperebutkan Dewi Surtikanthi. Alkisah, Prabu Duryudana dari Kerajaan Ngastina meminang Dewi Surtikanthi, putri Prabu Salya dari negara Mandaraka. Dewi Surtikanthi bersedia dengan syarat ia dirias oleh Raden Permadi pada hari pernikahan. Syarat itu diluluskan.

Saat hendak merias Dewi Surtikanthi, Raden Permadi melihat gerak-gerik Raden Suryatmaja yang bersembunyi di sekitar mereka. Tahulah Raden Permadi bahwa Raden Suryatmaja menaruh hati pada sang putri. Mereka berdua akhirnya bertarung dan Raden Permadi lebih unggul, dalam versi lain berakhir seri. Namun, rupanya Dewi Surtikanthi memiliki perasaan yang sama terhadap Raden Suryatmaja. Keduanya lantas memohon Raden Permadi untuk meminta izin Prabu Salya agar mereka dapat mengikat janji. Berdasarkan kisah tersebut, Bedhaya Bontit juga dikenal sebagai Bedhaya Suryatmaja Krama.

Tata Busana

sunting

Busana penari Bedhaya Bontit utamanya terdiri dari kampuh dengan rias paes ageng. Namun, pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung tanggal 11 Juli 2022, para penari Bedhaya Bontit mengenakan busana gladhen yang sedikit berbeda dari biasanya, yakni sanggul tekuk dipadukan dengan kampuh latar hitam, nyamping dringin berwarna merah (diwiru), keris, sondher gendhala giri merah, ditambah aksesori subang dan cincin.

Iringan

sunting

Seperti pada umumnya, penamaan tari Bedhaya Bontit diambil dari nama gendhing utama yang mengiringi, yakni Gendhing Bontit Kendhangan Semang. Komposisi iringan yang biasa digunakan dalam bedhaya ini diawali dari Lagon Lasem Jugag Pelog Nem, Gendhing Gati Raja Pelog Nem untuk kapang-kapang maju, Lagon Lasem Jugag Pelog Nem, Kawin Sekar Ageng Kusumawicitra untuk mengawali gerak tari, Bawaswara Sekar Mijil Rara Manglung, Gendhing Bontit Kendhangan Semang, Gendhing Prabu Tama Ladrang Kendhangan Satunggal Ngelik, Bawaswara Sekar Gendhing Tarupala, Gendhing Ketawang Tarupala, Lagon Jugag Pelog Nem, Gendhing Gati Brangta Pelog Nem untuk kapang-kapang mundur, dan diakhiri Lagon Jugag Pelog Nem.

Gendhing Gati Raja dan Gati Brangta yang mengiringi Bedhaya Bontit menggunakan laras pelog pathet nem, yang juga jarang sekali digunakan. Hanya ada 6 Gendhing Gati yang menggunakan laras ini di Keraton Yogyakarta, yakni Gendhing Gati Raja, Gendhing Gati Brongto, Gendhing Gati Mardowo, Gendhing Gati Mardika, Gendhing Gati Bhinneka, dan Gendhing Gati Taruna. Gendhing Gati Raja memiliki kedudukan yang tinggi dan alunan yang bernuansa agung.

Rujukan

sunting
  1. ^ crew, kraton. "Bedhaya Bontit". kratonjogja.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-28. 
  2. ^ Mahany, Andry Trisandy (2024-05-27). "DIY Miliki WBTb Terbanyak, Cegah Kepunahan Dengan Aksi Nyata". Portaljogja (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-28.