Barga Wastra merupakan surat kabar yang terbit pertama kali pada 5 Desember 1918 di Cirebon. Koran ini lahir dari konflik internal dari koran sebelumnya, Pesisir Oetara. Pusat konflik berada pada sikap dan perbedaan menyikapi pembuangan tokoh penyuluh gerakan sosialis/komunis di Indonesia, yakni Sneevliet.[1]

Koran ini menyapa pembaca tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu dengan harga langganan sebesar f 0,60 dan selanjutnya dalam satu bulan berkisar f 1. Para pembaca dapat mulai berlangganan mulai 1 Januari 1919 paling sedikit tiga bulan dengan pembayaran dilakukan di muka.[1]

Nama Barga Wastra sendiri diambil dari salah satu nama ksatria dalam pewayangan yang bernama Brata Sena. Si Brata Sena ini digambarkan sebagai ksatria yang gagah berani, tidak melupakan kebenaran, dan memandang manusia sama rata. Ia juga diibaratkan buah manggis yang berwarna hitam tapi putih isi, demikian juga setiap bagian mempunyai titik sendiri-sendiri yang menjadi simbol sebuah prinsip.[1]

Kantor koran ini berada di Kebon Djeruk Baroe No. 10. Duduk sebagai pemimpin redaksinya yaitu Adalah Tajib, dan dia cukup mampu membawa Barga Wastra menjadi surat kabar daerah yang memiliki wakil redaksi di beberapa kota, di antaranya Cirebon (Sarpie); Majalengka (S. Dellot dan Juffrie); Bandung (Goenawan Soerja), dan Palembang (Bratanata).[1]

Berita-berita yang dimuatnya pun menggelitik dan tajam. Dengan segala kekurangan, Barga Wastra mencoba menghadirkan sebuah haluan baru yang mampu membawa wajah dan fenomena baru bagi pembaca.[1]

Haluan yang dimaksud adalah haluan yang disepakati oleh kaum muda. Antara lain: (1) mencari perdamaian dan kerukunan di antara segala bangsa di Hindia; (2) meneguhkan tali persahabatan dan persaudaraan di antara beberapa golongan; (3) mengupayakan kesejahteraan dan keselamatan di antara penduduk negeri; (4) menyokong gerak kemajuan rakyat baik hal pengetahuannya maupun penghidupannya; (5) menyebarkan perkabaran yang berguna dan beralasan kebenaran; (6) menjunjung tinggi laku yang utama, adat yang sopan dan hati yang keindonesiaan; dan (7) melempar, menumpas serta membasmi laku buruk, adat geladak dan hati kebinatangan.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f Seabad Pers kebangsaan, 1907–2007 (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: I:Boekoe. 2007. hlm. 142–144. ISBN 978-979-1436-02-1. OCLC 289071007.