Bangka Mbule-mbule

Bangka Mbule-mbule adalah tradisi tahunan berupa melarung sesajen ke laut yang diarak oleh perahu-perahu nelayan dan berasal dari kabupaten Wakatobi. Tradisi ini awalnya bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur usai panen jagung, namun sekarang ritual ini bermaksan sebagai tradisi tolak bala, kesialan atau kutukan yang disebabkan roh jahat yang ditandai dengan menghanyutkan perahu ke laut di ujung perjalanan ritual.[1]

Sesajen yang dilarung berupa sejumlah hasil bumi seperti jagung, ubi, telur,[1] daun sirih, pinang [2] dan orang-orangan berjumlah dua buah sebagai simbol roh jahat yang sebelumnya telah diarak keliling kampung.[3]

Sesajen yang dilarung adalah harapan permohonan kepada penguasa alam laut agar memberikan rejeki pada nelayan saat melaut sekaligus menjauhkan dari marabahaya ganasnya gelombang laut perairan laut Wakatobi.[2]

Sejarah sunting

Masyarakat mempercayai bahwa terdapat roh-roh jahat yang dapat mencelakakan manusia dan untuk menghindari hal tersebut perlu diadakan sebuah acara adat yang dapat memberikan suasana damai dan tenang. Sehingga diadakanlah tradisi Bangka Mbule-mbule yang biasanya dilaksanakan pada bulan ke-7 pada saat masyarakat panen padi.

Pemilihan bulan ke-7 tersebut juga dikarenakan masyarakat dan tokoh adat (Syara) sekitar percaya bahwa pada bulan tersebut adalah waktu yang baik dalam memberi sedekah kepada alam dan roh-roh yang yang menggangggu masyarakat sekitar.

Awalnya tradisi Bangka Mbule-mbule merupakan ritual tradisional masyarakat Mandati Selatan, kecamatan Wangi-Wangi, yang dilakukan sekali dalam setahun atau dalam empat tahun sekali jika ada bencana alam, gagal panen, ketidakstabilan, dan gangguan lain.[4] Tradisi ini akan dilakukan apabila sedang musim paceklik ikan dan kondisi cuaca buruk di laut sehingga nelayan penangkap ikan tidak bisa melaut.[2]

Selain itu juga dikarenakan masalah seperti musim kemarau panjang, te koranga mbea’e o hoto nei (gagal panen), o hama’o na bha’ehembulata ikoranga (banyaknya panen terserang hama) dan kelelei (ternak sering mati), maka Bangka mbule-mbule berfungsi sebagai media ritual yang bisa menghubungkan antara manusia dengan te onitu mbeaka iita (mahkluk halus) agar untuk tidak mengganggu kehidupan masyarakat yang ada di desa Mandati.

Prosesi sunting

Untuk menentukan waktu pelaksanaan maka diadakan musyawarah yang dilakukan oleh tokoh adat yang ada di desa Mandati. Adapun hal yang diputuskan adalah waktu kegiatan, hari keberapa pihak adat dan masyarakat akan bersama-sama ke hutan untuk mencari kayu yang akan dijadikan sebagai sampan/perahu dalam ritual itu (Koli-kolino) dan proses untuk membawa/menghanyutkan Bangka Mbule-mbule itu ke laut. Setelah sepakat maka tokoh adat akan menginformasikan kepada masyarakat tentang kapan waktu dari Bangka Mbule-mbule itu akan dilaksanakan.

Pelaksanaan tradisi Bangka Mbule-mbule akan dilakukan dalam satu minggu, dimulai dari proses pengambilan kayu untuk perahu (koli-kolino), membuat dan meniup terompet (Te Heka Pupu’a) sampai dengan proses membawa hasil-hasil tani (Te Kuku) hingga hari dimana Bangka Mbule-mbule itu akan dibawa dan di tenggelamkan ke laut. Adapun prosesinya adalah sebagai berikut: [5]

Teala’a U Kau Ako Parefangi’a U Koli-kolino sunting

(Pengambilan kayu untuk pembuatan perahu/sampan)

Pengambilan kayu untuk koli-kolino (perahu) akan dilakukan oleh pihak dari Tokoh adat yang ditunjuk. Mereka bersama masyarakat pergi ke hutan untuk mencari jenis kayu Kau Kalele atau Kau Kumiri. Setelah ditemukan maka dari tokoh adat akan menangani prosesi penebangan pohon dan membacakan doa.

Setelah perahu selesai dibuat maka tokoh adat bersama warga akan mengangkat perahu tersebut ke rumah salah satu tokoh adat (pangalasa). Saat proses membawa perahu itu dari hutan, tidak boleh menurunkan perahu itu sebelum sampai di rumah tokoh adat yang dipercayakan mengurus ritual tersebut. Nanti setelah tiba dihalaman depan rumah tokoh adat (Pangalasa) baru perahu itu bisa diturunkan.

Teparefangi’a U Boneka U mia-mia Onituno sunting

(Membuat boneka orang-orangan sebagai simbol jahat)

Setelah tiba dan disimpan dihalaman depan rumah tokoh adat (Pangalasa) maka saat itu juga boneka orang-orangan yang terdiri dari sepasang perempuan dan laki-laki yang menjadi simbol jahat dalam ritual tersebut akan dibuat oleh tokoh adat dan masyarakat sekitar.

Boneka laki-laki atau La Beressa dibuat dengan mengenakan pakaian yang di lapisi dengan sarung layaknya orang zaman dulu yang akan berlayar sambil memegang parang (kabhali) dan dayung (bhose) sedangkan boneka perempuan atau Wa Leha akan dihias secantik mungkin sambil memegang kipas (kambero). Bahan dalam pembuatan boneka ini biasanya terbuat dari sapu ijuk dan bambu.

Te Heka Pupu’a sunting

(Membuat dan meniup terompet)

Setelah pembuatan boneka orang-orangan selesai, berikutnya masyarakat akan membuat dan meniup terompet (te heka pupu’a) yang terbuat dari daun kelapa muda atau tua. Cara membuat terompet (Kapupu) adalah dililit-litit sampai membentuk terompet. Te Heka Pupu’a adalah salah satu alat yang digunakan untuk memberitahu onitu u togo (mahkluk halus) bahwa tradisi Bangka Mbule-mbule segera di laksanakan.

Menurut kepercayaan dulu, pembuatan terompet adalah salah satu bentuk komunikasi dengan roh-roh jahat yang tinggal di lingkungan masyarakat sekitar bahwa akan dibuatkan perahu untuk tumpangan mereka. Namun untuk keperluan promosi pariwisata, pihak pemerintah memodifikasi hal ini bahwa pembuatan terompet (Kapu-pu’a) hanya sebatas meramaikan suasana dalam penyelenggaraan tradisi Bangka Mbule-mbule.

Proses pembuatan kapupu berakhir saat Bangka mbule-mbule akan dibawa kelaut dikarenakan kapupu akan dibuang besama bangka Mbule-mbule itu. Setelah selesai, seluruh masyarakat akan dihimbau untuk tidak lagi meniup kapupu karena dipercaya ketika masih meniup terompet maka segala hal-hal buruk yang telah dibuang/dihanyutkan akan kembali lagi.

Te bhawa’a U kuku sunting

(Membawa Hasil-hasil Tani)

Setelah sampan/perahu (Koli-kolino) selesa dibuat maka masyarakat akan membawa hasil-hasil tani berupa jagung, kelapa, talas, beras, tebu, umbi-umbian dan sebagainya ke rumah tokoh adat (pangalasa) yang mengurus keberlangsungan acara tersebut dan diniatkan hasil-hasil tani tersebut sebagai simbol untuk membuang hal-hal buruk yang menimpa mereka.

Hasil-hasil tani (Te Kuku) yang dibawa haruslah makanan mentah yang belum dimasak dan tidak langsung disimpan dalam perahu, melainkan disimpan di rumah tokoh adat (Pangalasa).

Te Tapo’ahu’a Ke Lensia’a U Kuku sunting

(Memasak bersama dan menuang/Menyimpan Hasil-hasil tani di dalam perahu)

Malam sebelum pelarungan sesaji, masyarakat akan memasak bersama-sama di rumah ataupun di halaman depan tempat Bangka Mbule-mbule itu digelar. Kemudian paginya, hasil-hasil tani (Te Kuku) yang dibawa oleh masyarakat akan di tuang dan disimpan dalam perahu. Sekitar jam 12 ke atas hasil-hasil tani itu akan dituang oleh ibu-ibu (Syara Wowine) sambil dibacakan doa dan dengan tata cara tertentu.

Te Bhasa’a Nuthoa Bala Ke Tendeano Kua Oinanto’Oge sunting

(Pembacaan doa tolak bala dan membawanya ke bundaran Oinan to’Oge)

Setelah semua hasil-hasil tani (te kuku) selesai disimpan ke dalam perahu, berikutnya masyarakat akan menggelar doa tolak bala bersama tokoh adat di Mandati. Pembacaan doa tolak bala biasanya terdapat lifo yang diletakkan di depan masyarakat dan tokoh adat (Syara). Lifo adalah makanan khas Wangi-wangi di talang yang terdiri dari lempe (lapa-lapa), susuru (cucur), sanggara (pisang goreng), toloba (kue bolu), lempe hole (lapa-lapa goreng), gora’u (telur), gule (kue putar), epu-epu, bhae pulu meha (beras kentan merah) dan bhae pulu mohute (beras kentan putih).

Ketika doa tolak bala selesai dibaca, masyarakat yang dipimpin oleh Syara akan membawa sebuah wadah yang di dalamnya diisi air kemudian masing-masing masyarakat yang hadir akan mencelupkan tangan mereka kedalam wadah tersebut. Wadah tersebut berfungsi untuk menghindarkan masyarakat dari musibah dan pengaruh roh-roh jahat. Hal ini didasarkan kepada kepercayaan masyarakat bahwa ketika prosesi tersebut berlangsung mahkluk halus juga turut hadir.

Selanjutnya para laki-laki akan mengangkat perahu Bangka Mbule-mbule itu yang telah diisi hasil tani dan dibawa ke bundaran atau persimpangan jalan yang sudah ditetapkan sebelumnya, diiringi dengan memukul-mukulkan gendang dan kapupu dari kulit kerang [6]sebagai pemberi kabar kepada roh-roh jahat yang ada, bahwa Bangka Mbule-mbule akan segera di berangkatkan. Salah satu tokoh adat baik perempuan (Syara Wowine) atau laki-laki (Syara Mo’ane) akan mengumandangkan kalimat tertentu.

Te ato’ a U Ana-ana Onituno sunting

(Membawa boneka-boneka kecil ke dalam perahu)

Dalam tradisi Bangka Mbule-mbule terdapat proses membawa boneka-boneka kecil yang terbuat dari batang pisang atau boneka dari pasar dan menyimpannya kedalam perahu yang telah disimpan di persimpangan jalan (Oinan to’oge). Boneka kecil ini adalah pemaknaan hal-hal buruk dari rumah masing-masing warga desa Mandati yang akan di buang. Boneka-boneka kecil itu dibekali dengan kuku (hasil tani) dan uang yang di simpan di dalam kantong-kantong kecil. Besarnya uang yang dibekali tergantung dari kemampuan warga.

Te Ato’a Ke Kabhi’ anomo Kua Mafi sunting

(Membawa/membuang Perahu ke laut)

Menjelang jam 3 atau jam 4 sore perahu yang disimpan di bundaran (Oinanto’oge) akan diangkat kembali diiringi dengan tabuhan gendang sebagai pertanda perahu akan segera di berangkatkan. Masyarakat yang mengangkat perahu akan memutar Bangka Mbule-mbule itu ke kiri 9 kali dan ke kanan 8 kali. Setelah itu, tokoh adat setempat akan memimpin proses membawa perahu itu ke laut dan ditenggelamkan di laut yang dianggap cukup dalam.

Tahap Penutup sunting

Setelah Bangka Mbule-mbule itu dibuang kelaut, acara akan dilanjutkan dengan membaca doa keselamatan dan menyantap lifo bersama. Setelah itu seluruh masyarakat akan bersama-sama ke halaman rumah untuk makan bersama

Perubahan tradisi sunting

Perubahan tradisi Bangka Mbule-Mbule ketika terjadi modernisasi sekitar tahun 1980-an [6] dan mempengaruhi pemilihan perlengkapan, seperti: [5]

  1. Boneka (laki-laki dan perempuan) yang semula menggunakan mbalo loka (pelopak pisang) berubah menggunakan boneka modern.
  2. Tempat untuk membawa (kuku) hasil tani, pada zaman dulu hasil tani akan dimasukkan ke dalam Humbu-humbu’a (Anyaman tempat menyimpan hasil tani yang terbuat dari daun kelapa). Sekarang akibat kesibukan masyarakat, hasil tani masyarakat hanya dimasukkan ke kantong plastik karena lebih praktis.
  3. Beras yang digunakan saat ini adalah beras yang dibeli di pasar dan bukan beras hasil menanam sendiri.
  4. Waktu pelaksanaan yang mengikuti kalender pariwisata dari pemerintah dikarenakan Bangka Mbule-mbule difokuskan untuk promosi, sehingga tidak mengikuti penanggalan zaman dahulu.

Referensi sunting

  1. ^ a b "Mengintip Ritual Bangka Mbule-mbule Wakatobi". Suarakendari.com. 2022-03-25. Diakses tanggal 2022-08-21. 
  2. ^ a b c "Nelayan Wakatobi Jalani Tradisi 'Bangka Mbule-mbule'". Republika Online. 2013-08-15. Diakses tanggal 2022-08-21. 
  3. ^ antaranews.com (1970-01-01). "Ritual Bangka Mbule-Mbule". Antara News. Diakses tanggal 2022-08-21. 
  4. ^ RRI 2022, LPP. "Tradisi Bangka Mbule-mbule Masyarakat Wakatobi". rri.co.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-21. 
  5. ^ a b Husli (2016). Pelestarian Budaya Tradisi Bangka Mbule-mbule Sebagai Ikon Pariwisata (Studi Kasus pada Masyarakat Mandati di Kabupaten Wakatobi). Kendari: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidika Universitas Halu Oleo.  line feed character di |title= pada posisi 71 (bantuan)
  6. ^ a b Biru, Asyana; Hadara, Ali (2016). "TRADISI BANGKA MBULE-MBULE PADA MASYARAKAT MANDATI DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI (1986-2013)". Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah. 1 (2): 20–30.