Bambang Sumantri adalah seorang kesatria yang hebat dalam tokoh wayang yang memiliki paras tampan dan senjata pemusnah angkara murka, Cakrabaskara.[1] Bambang Sumantri atau sering juga disebut Raden Suwanda adalah anak sulung dari Begawan Suwandagni di pertapaan Ardisekar.[1] Resi Suwandagni masih saudara sepupu dengan Ramaparasu putra dari Resi Jamadagni.[1] Bambang Sumantri memiliki seorang adik yang wajahnya menyerupai raksasa, Bambang Sukrasana namanya.[1]

Sumantri Mengabdi

sunting

Pada suatu malam Sumantri menghadap Resi Suwandagni untuk memohon diri.[2] Ia hendak pergi melamar pekerjaan ke negeri Maespati.[2] Ia tidak mau membawa adiknya ikut serta karena malu terhadap wajah Sukrasana.[2] Sumantri diterima oleh Harjuna Sasrabahu asalkan dapat merebut putri dari negeri Magada.[2] Dengan gagah berani Sumantri berhasil menyisihkan semua lawannya dalam sayembara merebut Dewi Citrawati.[2] Setelah ia berhasil dalam benaknya muncul pikiran untuk memiliki Dewi Citrawati.[2] Sebenarnya Ia diberi tugas oleh Harjuna Sasrabahu untuk membawa Dewi Citrawati tetapi ia malah ingin menjadikan Dewi Citrawati sebagai istrinya.[2]

Akhirnya terjadi perselisihan antara Sumantri dan Harjuna Sasrabahu.[2] Tantangan Sumantri diterima oleh Harjuna Sasrabahu dengan senang hati.[2] Terjadilah peperangan yang seru dan dahsyat karena masing-masing adalah inkarnasi dari Batara Wisnu.[2] Sumantri mengangkat dan melepaskan Cakrabaskara ke arah Harjuna Sasrabahu. Cakrabaskara menyala, gemuruh suaranya membelah angkasa dan mengejutkan hati Harjuna Sasrabahu.[2] Karena terkejut hatinya, Harjuna Sasrabahu kemudian ber-triwikrama atau mengubah dirinya menjadi raksasa bermuka seribu.[2]

Sumantri berhasil diringkus dan diinjak di bawah telapak kakinya.[2] Sambil menangis, Sumantri meminta ampun atas kelancangan dan kesalahannya.[2] Harjuna Sasrabahu mau menerima maafnya tetapi dengan syarat yang lebih berat.[2] Sumantri diperintahkan untuk membangun taman Sriwedari.[2] Dalam kesedihan ini datanglah Sukrasana menyusul Sumantri.[2] Sukrasana bersedia membantu Sumantri asalkan ia diperbolehkan ikut kakaknya ke mana pun Sumantri berada.[2] Sumantri menyetujui tawaran Sukrasana.[2] Dengan kesaktiannya, Sukrasana berhasil memutar taman Sriwedari dan dipindahkan ke negeri Maespati.[2] Atas jasanya itu, Sumantri berterima kasih kepada adiknya tetapi dengan pesan agar Sukrasana bersembunyi dan tidak menemuinya di tempat umum.[2]

Pada suatu hari Citrawati bersama pengiringnya di kala sedang bersukaria di taman Sriwedari.[2] Tiba-tiba mereka lari ketakutan karena melihat raksasa kerdil berada di taman.[2] Citrawati kemudian mengadukannya kepada Harjuna Sasrabahu. Sumantri yang telah bergelar Patih Suwanda segera datang memeriksa taman.[2] Ternyata raksasa itu adalah Sukrasana dan Sumantri mengancam agar Sukrasana pergi dengan senjata Cakrabaskara.[2] Namun sial, senjata Sumantri lepas dari tangannya dan tewaslah Sukrasana.[2]

Nilai Filosofi

sunting

Kisah Sumantri dan Sukrasana adalah pencerminan dari jiwa dan raga.[3] Situasi menjadi tidak adil ketika jiwa yang mencari keluhuran malah sewenang-wenang terhadap sesama.[4][5] Pengabdian jiwa manusia yang akan berbakti dan menjunjung nama Tuhan tidak dapat bersama-sama dengan badan jasmaninya.[4] Hal ini tidak berarti menyampingkan jasmani tetapi setelah jiwa manusia diterima oleh Tuhan atau Manunggaling Kawula Gusti, jasmani tidak dapat ikut serta.[6] Maka dalam kisah ini Sukrasana harus menyingkir sebagai perwujudan jasmani artinya kebutuhan duniawi harus disisihkan terlebih dahulu.[4]

Rujukan

sunting
  1. ^ a b c d Kamajaya. "Tokoh Tripama 1: Bambang Sumantri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-24. Diakses tanggal 24 April 2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Ir.Sri Mulyono (1976). Wayang dan Karakter Manusia:Harjunasasra dan Ramayana. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 49-51. 
  3. ^ Ir.Sri Mulyono (1976). Wayang dan Karakter Manusia:Harjunasasra dan Ramayana. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 60. 
  4. ^ a b c Heniy Astiyanto, SH (2006). Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Yogyakarta: Warta Pustaka. hlm. 365. 
  5. ^ Hazim Amir (1991). Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm. 112-113. 
  6. ^ Ir.Sri Mulyono (1982). Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung. hlm. 32.