Bakaua atau berkaur adalah sebuah tradisi berkenaan dengan pertanian yang terdapat di beberapa daerah Minangkabau. Tradisi ini semacam ritual tolak bala yang dilakukan sebelum atau bersamaan dengan kegiatan turun ke sawah atau proses awal mengerjakan sawah.[1] Bakua dilakukan dengan memanjat doa bersama-sama pada Allah SWT sambil berkeliling kampung dan membakar kemenyan. Masyarakat percaya Allah SWT akan melindungi mereka dari segala marabahaya dan bencana.[2][3]

Bakaua di Sijunjung

Saat ini, tradisi bakaua perlahan mulai hilang di tengah masyarakat. Beberapa daerah yang masih melakukan tradisi bakaua yakni daerah Solok, Sijunjung, dan Tanah Datar.[1][4][5][6]

Jenis sunting

Secara garis besarnya bakaua dibagi atas dua bagian, yakni bakaua ketek dan bakaua gadang. Pada dasarnya pembagian ini terletak pada besar kecilnya bentuk acara yang dilakukan. Bakaua ketek dilakukan dengan acara sederhana tidak membutuhkan biaya yang cukup besar, sedangkan bakaua gadang dilakukan dengan menyembelih sapi (manggoroh) sebagai bentuk jamuan. Bakaua ketek hanya dihadiri anggota keluarga, sedangkan bakaua gadang dapat dihadiri setiap masyarakat yang ada nagari. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada bakaua gadang banyak orang yang datang.[1]

Penyelenggara sunting

Dalam bakaua, seluruh petani sepakat turun ke sawah secara serentak. Sebelumnya, para petani berembuk terlebih dahulu mengenai waktu penyelenggaraan. Tidak ada sangsi bagi petani yang tidak ikut bakaua. Sebab petani yang menggarap sawah, di luar hari yang telah ditentukan, baik mendahului atau menyusul, mereka akan rugi sendiri karena padi yang dulu terbit atau belakangan, akan menjadi santapan hama seperti burung, tikus dan pianggang.[7]

Acara bakaua biasanya dipimpin oleh "orang siak" atau pemuka keagamaaan yang ada di nagari. Orang siak yang dipilih yaitunya melalui kesepakatan bersama. Tugasnya adalah memimpin warga berdoa pada Allah. Mereka berdoa pada Allah agar tanaman padi dapat tumbuh subur serta agar masyarakat dapat hidup rukun dan damai terhindar dari bala bencana.[1]

Pakaian yang dikenakan peserta disesuaikan dengan tempat pelaksanaannya. Pada acara bakaua ketek yang tempatnya berada di lokasi kegiatan, maka pakaian kaum laki-Iaki ikut dalam acara bakaua memakai pakaian kerja biasa, sedangkan orang siaknya tetap memakai pakaian keagamaan, baik dalam acara bakaua ketek maupun acara bakaua gadang. Sementara itu, dalam acara bakaua gadang pakaian bagi kaum laki-laki disesuaikan dengan status sosialnya di tengah-tengah masyarakat, sekiranya ia seorang penghulu maka pakaiannya haruslah pakaian penghulu. Bagi kaum perempuan, terutama ipa bisan, tetap memakai baju kuruang basiba berwama hitam.[1]

Kondisi saat ini sunting

Dalam perjalannnya tradisi bakaua gadang sudah jarang ditemui, karena banyak faktor yang menyebabkan tradisi ini mulai dilupakan masyarakat, karena masa turun ke sawah tidak serentak, sedangkan bakaua ketek masih ada dilakukan oleh masyarakat seiring dengan acara tolak bala.[1]

Catatan kaki sunting

Rujukan sunting

Daftar pustaka sunting

Pranala luar sunting