Aruna Gnanadason adalah teolog feminis yang berasal dari India. Ia bekerja sebagai seorang kordinator Women's Programme within Unit III, Justice, Peace and Creation of the World Council of Churches.[1] Teologi feminis yang ia kembangkan di India adalah dalam konteks India melalui gambaran tradisi Shiva di India.[1]

Pemikiran sunting

Dalam tradisi Shiva di India, apabila Yang Mutlak dilihat sebagai laki-laki dan perempuan-Shiva dan Shakti- yang perempuan merupakan asas yang aktif, dinamis.[1] Shakti berarti tenaga, daya kekuatan dan kekuatan feminin. Kekuatan yang dimaksud lebih dari kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan kultural, bukan kekuatan mendominasi atau menindas.[1]

Pengalaman kehidupan yang tak bersuara, tak berwajah dan tak berdaya perempuan Asia yang mencari kekuatan yang teratur adalah spiritualitas.[1] Usaha perempuan untuk beristirahat melalui budaya diam dan mengubah kesakitan mereka ke dalam kekuatan politik merupakan pengalaman spiritual.[1] Usaha perempuan untuk menarik diri atau keluar dari keadaan tertekan, nyanyian mereka, dan cerita-cerita mereka tentang perjuangan dan pembebasan sangatlah spiritual.[1] Inilah spiritualitas yang mengatakan “Ya” pada kehidupan dan “Tidak” pada kematian.[1] Dalam persaudaraan perempuan, dalam solidaritas dengan semua orang lain yang tertindas, dalam kesederhanaan gaya hidup gerakan perempuan, dan dalam komitmen mereka untuk menyembuhkan ciptaan dan dunia yang terluka, perempuan-perempuan mengekspresikan spiritualitas feminis Asia.[1]

Di seluruh dunia, perempuan-perempuan mengakui bahwa untuk waktu yang lama mereka tinggal diam saat tubuh dan jiwa mereka menjadi target dari kekerasan.[2]Dunia mengekspresikan keberanian dan perlawanan untuk memberikan tanda-tanda pengharapan bagi mereka.[2] Akan tetapi, gereja di dunia ini hanya tinggal diam mengenai kekerasan melawan perempuan. Isu seperti ini sering ditindak sebagai marginal dan tidak diakui sebagai sebuah isu utama bagi kehidupan gereja dan kesaksian.[2]

Dua abad yang lalu, gerakan perempuan masuk ke dalam beberapa dimensi dan tingkat pengalaman kekerasan perempuan dalam masyarakat, misalnya di tempat kerja dan wilayah publik. Kebenaran memperlihatkan bahwa mereka harus diberi kuasa untuk mengakui bahwa mereka membutuhkan untuk tidak menanggung dengan diam pukulan dari masyarakat dehumanisasi bahwa secara sistematik harus mengampuni dan mengesahkan kekerasan.[2] Gerakan ini menciptakan ruang dan iklim bagi para perempuan agar dapat menceritakan kisah intimidasi fisik dan mental serta mengekspresikan kesakitannya.[2]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i (Inggris)Ursula King. 1990. Feminist Theology from the Third World. USA: Orbis Book. Hlm. 352.
  2. ^ a b c d e (Inggris)Aruna Gnanadason. 1993. No Longer A Secret. Geneva: WCC Publication. Hlm. 24.