Ariesta Widya (lahir 12 April 1938) adalah seorang guru. Nama aslinya adalah Agustinus Mulyono Widyatama akan tetapi lebiih dikenal dengan nama samaran Ariesta Widya.

Riwayat Hidup

sunting

Ariesta Widya adalah anak dari pasangan Duryat Martoprawiro dan Rumini. Ayahnya adalah pemeluk Katholik yang taat sehingga Ariesta pun terbentuk sebagai pribadi katholik yang taat.[1] Ayahnya berprofesi sebagai guru sama seperti dirinya. Profesi ini diawalinya dengan menjadi guru di sebuah SLTP di Tual (Maluku) selama 3 tahun. Setelah mengikuti belajar di IKIP Negeri Manado pada tahun 1961-1964 dengan mengambil jurusan bahasa Indonesia dan mendapat gelar sarjana muda, ia kemudian mengajar di SMP Katholik Langgur (1964-1967). Pada tahun 1967, ia kembali ke Jawa dan mengajar di SMP Negeri Ungaran hingga 1970. Pada tahun 1970-1985 ia mengajar di PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) di Semarang, dan pada tahun 1985 ia menjadi guru SMA Negeri 5 Semarang hingga pensiun (1995). Meskipun sudah pensiun namun ia masih diminta untuk mengajar di SMA Masehi Semarang sampai sekarang.

Karir Kepengarangan

sunting

Sementara itu, profesinya sebagai pengarang Jawa telah ia rintis sejak 1957, seangkatan dengan St. esmaniasita, T.S. Argarini, Muryalelana, Basuki Rahmat, dan Ismail (Liamsi). Tulisan pertamanya berupa cerpen berjudul "Kasep" yang dimuat dalam Kekasihku. Setelah karya pertama muncul, kemudian mengalir juga guritan-guritannya. Namun pada 1961-1967 ia absen karena lingkungan kerja sebagai guru di Manado idak mendukung, ia kembali menulis setelah kembali ke Ungaran. Tema-tema cerpen Ariesta Widya bervariasi mulai dari persoalan sekitar lingkungan pedesaan, pesisir, hingga persoalan di berbagai daerah yang ia kunjungi. Pengalaman selama menetap di Manado memberikan motivasi untuk menciptakan berbagai eksperimen terutama bahasa Jawa. Bahasa jawa harus berkembang terutama di era kemerdekaan, Oleh karena itu bahasa Jawa dari Yogyakarta dan Surakarta tidak boleh menjadi pedoman yang statis . Hal ini memotivasinya untuk menyatukan bahasa Jawa dengan kondisi masyarakat yang terus berubah. Menurut Muryalelana, bahasa dalam karya Ariesta sangat menarik, memiliki daya hidup, dinamis karena ia mengangkat tema atau masalah yang benar-benar ada dalam masyarakat. Ada 3 latar pokok yang diakrabi oleh Ariesta, yaitu pedesaan, pegunungan dan pesisiran, karena menurut Ariesta ketiga daerah tersebut sangat kaya dengan panorama dan permasalahan yang menarik.

Menurut Mulyalalena, sebagian cerpen Ariesta juga diramu dengan latar politik karena ia juga aktif sebagai anggota GMKI yang merupakan gerakan bernuansa kristen, sehingga karya-karyanya menunjukkan tanda-tanda religius yang bisa di identifikasi dengan kata seperti gereja, lonceng gereja, pohon terang, nayala lilin, dan sebagainya. Dalam bersastra Jawa, Ariesta lebih suka menulis cerpen (cerkak) dengan alasan lebih udah diterima pembaca dan juga bisa dikembangkan menjadi cerbung dan novel. Karya-karya Ariesta bisa dijumpai di Jaka Lodhang, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Praba, Pustaka Candra, dan lain-lain. Sejumlah cerpen yang dianggap penting diantaranya, "Cemara Lima", (Praba 1959), "Kasep" (Kekasihku, 1959), Kontrak (Dharma Nyata, 1971), "Ing Antarane Ombak-Ombak" (dalam antologi Dewan Kesenian Surabaya, 1973), "Garis Pepesthen" (Panjebar Semangat, 1976), "Tuntut Gedhang" (Panjebar Semangat, 1978), "Ketanggor" (Panjebar Semangat, 1979), "Ing antarane Swara Mesin" (Pankebar semangat, 1981), " Kopi Landa" (parikesit, 1984), dan "Buron" (anjebar Semangat, 1991).

Karya cerbung yang telah dipublikasikan diantaranya, "Rembulan Kalangan" (Panjebar Semangat, 1983-1984), "Ruji-ruji Becak Biru" (Pustaka candra, 1989), "dalan parapatan" (Pustaka Candra, 1987-1988), dan "Kembang Segagang" (Praba, ....). Selain itu ia juga menerbitkan buku yaitu Di Balik Tembok

Referensi

sunting
  1. ^ Priyo., Prabowo, Dhanu (2010). Ensiklopedi sastra Jawa. Kementerian Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta. ISBN 9789791852357. OCLC 801810329.