Air Terjun Sedudo

salah satu sungai di dunia

Air Terjun Sedudo adalah sebuah air terjun dan objek wisata yang terletak di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 30 km arah selatan ibu kota kabupaten Nganjuk. Berada pada ketinggian 1.438 meter dpl, ketinggian air terjun ini sekitar 105 meter. Tempat wisata ini memiliki fasilitas yang cukup baik, dan jalur transportasi yang mudah diakses.[1]

Air Terjun Sedudo
Air terjun
LokasiDesa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Ketinggian1.438 m (4.718 ft)
Tinggi total105 m (344 ft)

Masyarakat setempat masih mempercayai, air terjun in memiliki kekuatan supra natural. Lokasi wisata alam ini ramai dikunjungi orang pada bulan Sura (kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit, pada bulan itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.[2]

Setiap Tahun Baru Jawa, air terjun Sedudo dipergunakan untuk upacara ritual, yaitu memandikan arca dalam upacara Parna Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda. Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro.[1]

Tradisi yang tak kalah penting yaitu adalah Jamasan Pusaka, di mana biasanya dilakukan di kantor Desa Ngliman. Jamasan Pusaka dilaksanakan dengan mencuci pusaka-pusaka seperti keris, tombak dan pusaka-pusaka peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya.

Asal Usul Air Terjun Sedudo

sunting

Pada saat zaman kerajaan Kediri, sang raja memiliki seorang putri yang menderita penyakit aneh, seperti cacar namun sangat menjijikan bagi yang melihatnya. Akhirnya putri sang raja tersebut disuruh berobat kesebuah pendepokan yang terletak didaerah Pace. Pemilik pendepokan tersebut sekaligus teman sang raja diminta untuk menyembuhkan dan menyembunyikan identitas sang putri dari rakyat sekitar. Akhirnya setiap pagi hari putri sang raja dimandikan di Air Terjun Roro Kuning.

Waktu berjalan penyakit putri berangsur-angsur sembuh, paras cantiknya terlihat kembali. Kemudian anak dari pemilik pendepokan tersebut mengetahui siapa si putri ini. Bahwa sang putri merupakan putri raja Kediri yang sedang berobat dipendepokan ayahnya ini. Akhirnya kedua anak pemilik pendepokan mengejar hati putri kerajaan Kediri itu.

Dan pada akhirnya ketiga insan tersebut merajut cinta, namun cerita berulah bermulai ketika si putri tersebut sembuh dari penyakitnya. Akhirnya sang raja dari kerajaan itu menjodohkan putrinya dengan pilihan sang ayah (raja Kediri). Lalu kedua anak dari pemilik pendepokan tersebut patah hati berat. Akhirnya berbulan-bulan kedua anak tersebut mengurung diri dikamar. Hingga suatu ketika mereka keluar kamar dengan sikap yang berubah total. Yang dulunya begitu ramah dengan masyarakat, kini kedua anak tersebut tidak memiliki sopan santun terhadap orang lain semenjak peristiwa tersebut.

Kerena sikap yang dimiliki kedua anaknya, akhirnya membuat pemilik pendepokan tersebut yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Ia mengutus kedua anak tersebut untuk bersemadi untuk melupakan jalinan kasih dengan putri sang raja Kediri. Sebelum melakukan semadi kedua anak tersebut mengucapkan janji/ikrar sang adik tidak akan pernah sopan santun lagi kepada orang lain, sedangkan sang kakak akan selalu hidup melajang.

Sang kakak bertapa disebuah air terjun tertinggi, maka dari itu air terjun tersebut dinamakan Sedudo yang berarti "sing ora mendudo" (yang melajang). Sedangkan sang adik bertapa di air terjun Singokromo yang artinya "Sing Ora Kromo" (tidak memiliki sopan & santun). Lokasi air terjun singokromo berada dibawah air terjun Sedudo.

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b Padmasana, Galih Fajar (Oktober 2016). "Dampak Sosial Ekonomi Pengembangan Objek Wisata Alam Air Terjun Sedudo Kecamatan Sawahan Kabupaten Nganjuk (1992-1997)". AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Volume 4 (No. 3): 1171–1184. 
  2. ^ Leyliana, Ana; Setiawan, Bagus Wahyu (April 2022). "Nilai Sosial Budaya Upacara Ritual Siraman Air Terjun Sedudo di Kabupaten Nganjuk". Citra Ilmu. Vol. 35 (Edisi 18): 9–16. 

Lihat pula

sunting