H. Adjim Arijadi, B.Sc (7 Juli 1940 – 1 Januari 2016) adalah sastrawan dan budayawan Indonesia. Ia bergelar Datuk Mangku Adat Kesultanan Banjar dan menjabat sekretaris Lembaga Budaya Banjar.[1] Ia dikenal juga sebagai Bapak Teater Modern Kalsel.[2]

Datu Mangku Adat
Adjim Arijadi
B.Sc
Lahir(1940-07-07)7 Juli 1940
Mali-Mali, Hindia Belanda
(kini Kabupaten Banjar)
Meninggal1 Januari 2016(2016-01-01) (umur 75)
Banjarmasin
KebangsaanIndonesia
AlmamaterAkademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) Yogyakarta
Tahun aktif1963 - 2015
OrganisasiYayasan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan
Dikenal atasSeniman, Sastrawan, Budayawan
GelarBapak Teater Modern Kalsel

Datu Mangku Adat

Datu Ilalang
PasanganHj. Ely Rahmi, S.Sos, MM
AnakHijromi Arijadi Putera ; Ikhwana Putera Arijadi
Orang tuaH. Arsyad Hj. Kumala

HAJI ADJIM ARIJADI, putera ke-6 dari 10 bersaudara. Putera Pambakal jaman Kolonial Belanda di kampung Mali-Mali, sekarang masuk Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Lahir pada 07 Juli 1940. Ikut sengsara di jaman Jepang,berlanjut di jaman Revolusi fisik hingga dijaman Orde Lama.

Dimasa Orde Baru mulai mandiri dengan memantapkan hati di dunia seni sampai saat ini. Entah kapan berhenti, mungkin sampai mati. Bakat seni memang sejak dini, sejak sekolah di sekolah Guru B (tahun 1956 / 1957), senang menggambar dan berpuisi dan berlakon di atas panggung. Awalnya dalam sandiwara Ken Arok Ken Dedes (1957) berkembang menggeluti Teater, Sastra dan Seni Rupa.

Mendirikan Sanggar Seni Pelajar Islam Indonesia dan Himpunan Seni Budaya Islam di Banjarmasin 1958 – 1962. Lalu mendirikan Sanggar Antasari Yogyakarta 1963 – 1966, di samping Studi Teater dan ikut – ikutan melukis dan bersastra, dalam Studi Grup Drama Yogyakarta W. S. Rendra dan di Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) Yogyakarta.

Proaktif dalam seni pemeranan, penyutra- daraan dan penulisan karya sastra (Puisi, Naskah Teater, Koreografi dan Scenario terekspose di mana – mana dan entah berapa tidaklah tercatat, tidak tertata dengan rapi. Sebab karya seni bukan untuk di minati sendiri tapi untuk di konsumsi oleh orang lain termasuk karya pemeranan, penyutradaraan dan lukisan. Ada juga dalam berkompetisi sempat meraih dalam perpuisian, penulisan naskah lakon, akting pemeranan, penyutradaraan, penyajian teater dan gelar sastra walau tingkatnya Regional dan Nasioanl tetap terdata dalam piagam penghargaan.

Begitulah Haji Adjim Arijadi yang beribadah Haji tahun 1998, yang mendirikan dan mempertanggung jawabkan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan di Banjarmasin sejak 1967 sampai sekarang dan ikut mendirikan serta menjadi sekretaris seumur hidup Majelis Paripurna Lembaga Budaya Banjar Kalimantan Selatan sejak tahun 1997 sampai hari kematian. Pernah juga menerima Hadiah Seni dari Gubernur Kdh Tk.I Kalimantan Selatan tahun 1974.

Cukup lama menatap kebohongan dan kelicikan dalam perpolitikan di Tanah Air, lewat Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Golongan Karya.

Akhirnya meyakini kebenaran dan keadilan abadi hanya lewat kesenian.

Riwayat sunting

 

Nama H. Adjim Arijadi lebih mengemuka identitas kesenimanannya dibanding identitas kesastrawanannya. Dikatakan demikian, karena H. Adjim Arijadi banyak menggumuli sastra lakon sekaligus seni pemeranan dan sutradara teater, film, sinetron, seni lukis, seni kriya dan seni pertunjukan umumnya, disamping sastra.

Ketika disodori surat permintaan wawancara kesastrawanannya, mulanya H. Adjim Arijadi seperti enggan disebut sebagai sastrawan. Tetapi, setelah mengacu kepada buku terbitan Balai Bahasa Banjarmasin, Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan, H. Adjim Arijadi termasuk salah satunya, dan dianggap sebagai sastrawan yang beraktivitas sejak zaman Orde Lama.

Bagi H. Adjim Arijadi, karya bukan sekadar diapresiasi di kalangan sastrawan semata, tapi harus disosialisasikan seluas mungkin. Puisi, prosa atau sastra lakon harus dipresentasikan, harus dihadapkan pada banyak orang. Aktivitas seni pertunjukan seperti inilah yang membuat nama H. Adjim Arijadi jarang dilibatkan dalam forum kesusastraan.

Ia lebih memilih beban yang berat, dengan mengkoordinir produksi pergelaran, daripada membacakan karyanya sendiri dan untuk kepuasan batin sendiri. Beban seni pertunjukan menyangkut tanggung jawab terhadap banyak orang, sekaligus mengatur strategi finansial, teknis, artistik, pertimbangan situasi dan kondisi; memilih dan memilah karya yang akan digelar, menginterpretasikannya, casting, menyutradarai, mengarahkan tukang-tukang seni di balik stage, lalu ber-jibaku, maluruk isi kantong pribadi untuk membiayai masyarakat yang menonton.

Karena sikap ber-jibaku inilah barangkali yang membuat perkawinannya sering gagal, setelah isterinya Hajjah Samberah (yang lama bermukim di Saudi Arabia, meninggal dan sempat memperoleh seorang puteri dan seorang putera), lalu H. Adjim Arijadi mengawini puteri dalam Benteng Keraton Yogyakarta, yang penyair, cerpenis dan teaterwati, Dra Suwastinah, Md (memperoleh dua putera, Nahdi dan Muzammiel, dan seorang puteri, Niken Sawitri). Perkawinannya dengan Hajjah Suwastinah yang berlangsung kurang lebih 10 tahun membuat isterinya jemu tinggal di Banjarmasin (dengan lingkungan yang kurang menghargai kesenian dan kesenimanan). Pilihan domisili inilah yang menimbulkan keretakan hubungan H. Adjim Arijadi dengan isterinya.

Atas restu orang tua, H. Adjim Arijadi menyunting puteri belahan Kalimantan Tengah-Martapura, Dra. Hajjah Helda Elly Setiawati, dan memperoleh dua puteri, Eldinar Raina (Yeyen) dan Shinta Ellusiana (Ade). Perkawinan inipun kandas setelah berjalan kurang lebih 17 tahun. H. Adjim Arijadi kemudian mendapatkan puteri berdarah Awayan, Kabupaten Balangan, yakni Hajjah Elly Rahmi S.Sos yang PNS, memperoleh dua anak (Hijromi A. Arijadi, Ikhwana Putera A. Arijadi) yang setia pada suami sekaligus aktif berkesenian. Sang isteri sudah mendapat kepercayaan H. Adjim Arijadi menangani produksi dan penyutradaraan teater. Suami-isteri ini punya tekad yang sama, haram manyarah, waja sampai kaputing.

Begitulah H. Adjim Arijadi dalam menyikapi hidup sebagai seniman. Kecenderungan Adjim pada puisi karena lingkungannya sangat mendukung, punya guru seperti “Penyair Burung Merak”, W.S. Rendra, akrab dengan Taufik Ismail, Sapardi Joko Damono, Kirdjo Mulyo, Darmanto Jt, Yasso Winarto, Andre Hardjatna, Umbu Landu Peranggi, Arifin C. Noer, Umar Khayam, Nasyah Jamin, Putu Wijaya, Kasim Ahmad, Dindon WS, Slamet Raharjo, Rudolf Puspa dan lain-lain.

Itu saat H. Adjim Arijadi bergabung dengan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) di Yogyakarta dan bergabung dalam barisan Manifes Kebudayaan H.B. Jassin, Arif Budiman, W.S. Rendra, Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad, berperang melawan komunisme.

H. Adjim Arijadi mengawali karir menulis setelah mengasuh rubrik Duta Budaya SKH Duta Masyarakat (Yogyakarta, bersama cerpenis Suwastinah Md, 1966), ketika rakyat (bersama KAPPI-KAMMI) memperjuangkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), sebelum Orde Baru menumbangkan Orde Lama.

Sejak di Yogyakarta (1963-1966), H. Adjim Arijadi telah menulis sastra lakon dan puisi. Puisinya tersebar di beberapa koran dan mingguan, tapi tidak dalam bentuk antologi. Waktu itu, ia memakai nama puteri pertamanya, Noor Arijani.

Naskah sastra lakon yang ditulisnya, antara lain, Haram Manyarah, Alam yang Diputihkan, Bapa Purba, Alam Roh Kalimantan, Pangeran Banjar; dan sosialisasi para Pahlawan Banjar lewat Haram Manyarah, Demang Lehman (yang kemudian dipentaskan di Yogyakarta, kota-kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi, dan lain-lain).

Maksud H. Adjim Arijadi untuk mengabdi di Provinsi Kalimantan Selatan, akhirnya terhalang. Diam-diam, ia pergi ke Jakarta, lalu ke Yogya. Di tahun peralihan ini, ia kembali menggerakkan Sanggar Antasari (yang sempat beku ketika ditinggalkannya berbulan-bulan), dan mengangkat sastra lakon, Bapa Purba, Alam yang Diputihkan, Pangeran Banjar, Alam Rokh Kalimantan dan parade drama pahlawan, yang diikuti seniman dari beberapa provinsi (yang berdomisili di Kota Gudeg).

Ia juga mengadakan kegiatan baca puisi angkatan 66 karya Taufik Ismail (yang menentang rezim Orde Lama), bersama penyair Kalimantan Selatan, almarhum Sabri Hermantejo, H. A. Taudiq Effendy (Menpan di Kabinet Pembangunan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), almarhum Thamrin Jakfar, Gusti Hassan Aman (mantan Gubernur Kalimantan Selatan), Maksum Zaeladri (anggota DPR RI zaman Orba), Abi Maswan, Masri A. Gani, Gazali Ahmad Basuni, Suwastinah Md, Fauzi Anwar, Nordin, Buchari Muslim, Azwar AN, Jalil, Herman, M. Noor dan seniman Nusantara lainnya.

Setelah keadaan mengijinkan, ia kembali ke Banjarmasin (1967), memboyong isterinya, Suwastinah A. Arijadi, dan mengangkat lakon Domba-Domba Revolusi B. Sularto (bersama Anang Adenansi, Rustam Effendi Karel, Said Alwi, Kasful Anwar, Johar Hamid, Taufik Effendy, Hayatumnisa, Gapuri Arsyad, M. Ideris Saleh, dan lain-lain).

Karena konflik yang kurang berarti, bersama Sutra Ali Ariffin, M. Ideris Saleh, Gapuri Arsyad, H.M. Alkhaf dan Suwastinah A. Arijadi, 1 Nopember 1967 ia mendeklarasikan berdirinya Kelompok Studi Seni Sanggar Budaya Banjarmasin (KSSSBB), yang diresmikan Gubernur Kalimantan Selatan, Kolonel H. Aberani Sulaiman dan Walikota Banjarmasin. Sebelumnya, dibentuk sebuah yayasan, Nomor 5, akta Notaris Bakhtiar (5 Mei 1967) dengan nama Yayasan Sanggar Budaya Kalsel.

KSSSBB membuat program pelestarian dan pengembangan seni tradisional dan seni modern, mengelola seni sastra, seni tater dan film, seni tari, seni musik dan seni rupa.

Untuk bidang seni sastra, H. Adjim Arijadi dan anggota Sanggar Budaya melakukan apresiasi sastra di kalangan pelajar, mahasisiwa dan umum, melalui penerbitan Buletin Sastra Bulanan Kaganangan, deklamasi, gelar sastra dan penerbitan antologi puisi. Dalam antologi Air Bah (1979) dan Jejak Berlari (1970, Penerbit Yayasan Sanggar Budaya Kalsel), H. Adjim Arijadi memasukkan beberapa puisinya, sementara karya sastra lakon tidak terhitung banyaknya.

Dalam usia senja, H. Adjim Arijadi yang sudah menjalankan ibadah haji (1998) masih produktif menciptakan karya puisi dan sastra lakon yang selalu dipresentasikan dan disutradarainya.

Naskah sastra lakon Demang Lehman (1966, pernah dipentaskan ulang di Yogyakarta), berlanjut di TVRI Jakarta, lalu di Forum Festival Teater Tingkat Nasional (1986) di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), yang meraih penyaji dan sastra lakon terbaik. Demang Lehman puluhan kali dipentaskan di Banjarmasin (1968-2002), di Yogyakarta (1990) dan dalam Temu Teater Kawasan Timur Indonesia (Katimuri) di Surabaya (2002).

Puisi-puisi H.Adjim Arijadi tersebar dan berserakan, dibandingkan sastra lakonnya yang sebahagian besar masih tersimpan dan terpelihara oleh mantan-mantan aktor-aktris yang disutradarainya.

Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama: Malam Tadarus Puisi (Taman Budaya Kalsel, 1996), Terminal, Antologi Puisi Al-Banjari (1994), Festival Puisi Kalimantan (Penerbit HIMSI Kalsel, 1992), Dengar Bicara Kami (Penerbit HIMSI Banjarmasin, 1984), Panorama (Penerbit DKD Kalsel, 1974) dan Antologi Puisi Arsyad Al-Banjari (B.P. Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Banjarmasin).

Selain itu, puisinya juga dimuat dalam antologi bersama sastrawan Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Berantai (Kotabaru, 2006), Antologi Puisi H. Adjim Arijadi, Kapalku Lautku (2006), antologi puisi bersama, Malam Puisi Kemerdekaan (2006), juga tersebar di Duta Budaya (Yogyakarta), Pelopor (Yogyakarta), Masa Kini (Yogyakarta), Media Masyarakat (Banjarmasin), Banjarmasin Post, Suara Kalimantan (Banjarmasin), dan ribuan bait pantun berbahasa Banjar, Batapung Tawar (2006). Dari ratusan karya sastra lakonnya, ada naskah yang sering dipentaskan praktisi teater generasi baru, antara lain Haram Manyarah (1963), Demang Lehman (1964), Laki-Laki di Rumah Itu (1964), Bulan Emas di Jendela Kakek (1967), Titik Embun di Sahara (1970), Batu Intan (1971), Matahari Malam (1974), Luka-Luka (1975), Istana Kertas Putih (1979), Masjid (1979), Halilintar Perang Banjar (1982), Sampah Negeri (1982), Terbelenggu (1983), Sembilu Haram Manyarah (1983), Bumi Kereta (1988), Seruni (1989), Pesta Jodoh, Engken Barajut (1990), Kosong-Kosong (1995), Langkah-Langkah Pahlawan Kita (1997), Pratala Kala Markara (2000), Kicaka di Negara (2002), dan Perang Banjar Hampir Berakhir (1980). Itulah sastra lakon H. Adjim Arijadi yang setiap tahun dipergelarkan praktisi teater generasi baru di Kalimantan Selatan.

Dalam menggelarkan sastra lakon, H. Adjim Arijadi tidak hanya mementaskan karyanya sendiri. Banyak naskah sastrawan nasional dan internasional yang dipentaskannya, antara lain, The Candle Stick (Victor Hugo), Hallo Out There (William Saroyan), Musuh Masyarakat (Hendrik Ibsen), Inspektur Jendral (Nikolai Gogol), Perkawinan (Nigolai Gogol), Murder Mysteri (Chun Swee), Lawan Catur (Kennet Arthur), Pagi Bening (Serafin Alvarez), dan Kereta Kencana (Engene Ionesco). Selain itu, juga karya-karya William Shakespeare, Hamlet, Macbeth, Romeo and Yuliet, The Tempest; karya Anton Chekov, Orang-orang Kasar, Pinangan, Tuan Kondektur, karya Sopocles, Eurepedes; karya N. Riantiarno, Bom Waktu, Opera Kecoa, Suksesi, dan Konglomerat Burisrawa. Juga, karya Ariffin C.Noor, Kapai-kapai, Tengul, Mega-Mega, dan Tolong, Gerr, Wah (Putu Wijaya); Bung Besar (Misbach Yusa Biran), dan lain-lain.

Dalam usianya yang senja (sejak tahun 2000 hingga 2007), dalam usia 67 tahun, H. Adjim Arijadi tetap tegar bergumul dengan sastra lakon, termasuk menggarap sinetron Lambung Mangkurat, Junjung Buih, Dr. Hayati (enam episode); beberapa sinetron lepas, dan sastra lakon teater semi kolosal Alegoris (2000), dan Pratala Kara Markara (2000). Di samping itu, juga pentas happening art, Banyu Ludah yang Dituhaakan (2001), Luka-Luka (Mataram, Nusa Tenggara Barat, 2001), Demang Lehman (Temu Teater Kawasan Timur Indonesia ke-3 di Surabaya, 2002), Saruni dalam Festival Cak Durasim di Surabaya (2002), Perkawinan (Nikolai Gogol) pada Temu Teater Kalimantan IV di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (2003), Saruni dalam Pekan Teater di Amuntai, Saruni dalam Aruh Teater di Kandangan, Saruni di Kota Banjarmasin (untuk studi banding mahasiswa Unlam, Banjarmasin). Pada Temu Teater Kalimantan 2006, sehabis menggarap sinetron Lambung Mangkurat, Junjung Buih, dan sebagai ketua pelaksana Temu Teater Kalimantan yang mempresentasikan 20-an karya dari 20 komunitas, Kelompok Studi Seni Sanggar Budaya masih mampu menggelarkan Lambung Mangkurat di Negara Dipa dengan keapikannya.

Karya sunting

 
Adjim Arijadi

Pendidikan formal yang pernah ia tempuh yaitu SR, SGB, SGA dan Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) Yogyakarta. Ia mulai menulis puisi, cerpen, esai, naskah drama, dan naskah sinetron sejak tahun 1966. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Duta Masyarakat Yogyakarta (pengasuh rubrik Duta Budaya), SKH Pelopor Yogyakarta, SKH Masa Kini Yogyakarta, SKH Suara Kalimantan Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post, SKM Media Masyarakat, Majalah Bandarmasih Banjarmasin, dan SKH Radar Banjarmasin. Antologi puisinya yang sudah terbit antara lain Kapal Lautku (Banjarmasin, 2006). Antologi puisi bersama yang ikut memuat puisi-puisinya antara lain:

  • Jejak Berlari (Banjarmasin, 1972)
  • Air Bah (Banjarmasin, 1972)
  • Panorama (Banjarmasin, 1974)
  • Dengar Bicara Kami (Banjarmasin, 1984)
  • Terimal (Banjarmasin, 1984)
  • Festival Puisi Kalimantan (Tajuddin Noor Ganie, Banjarmasin, 1992)
  • Ritus Kata dan Ritus Warna (Yogyakarta, 1994)
  • Jendela Tanah Air (Banjarmasin, 1995)
  • Tadarus Puisi (Banjarmasin, 1996)
  • Sajak Sajak Kemerdekaan (Banjarmasin, 2006)
  • Seribu Sungai Paris Barantai (Kotabaru, 2006)

Pada tanggal 1 November 1967, ia dan kawan-kawannya mendirikan Kelompok Studi Seni Sanggar Budaya Banjarmasin. Selain menjadi ketua, ia juga menjadi penulis naskah drama, dan pelatih drama di Sanggar Budaya Banjarmasin. Sehubungan dengan prestasi, reputasi, dan dedikasinya yang luar biasa di bidang seni drama ini, maka pada tahun 1974, ia menerima hadiah seni bidang drama dari Gubernur Kalsel Soebardjo Soerjosaro. Naskah dramanya yang sudah dipentaskan di berbagai pangung pertunjukan selama kurun waktu 1963-2007 antara lain:

  • Haram Manyarah (1963)
  • Demang Lehman (1964)
  • Laki-laki di Rumah Itu (1964)
  • Bulan Emas di Jendela Kakek (1967)
  • Titik Embun di Sahara (1970)
  • Batu Intan (1971)
  • Matahari Malam (1974)
  • Luka Luka (1975)
  • Istana Kertas Putih (1979)
  • Masjid (1979)
  • Perang Banjar Hampir Berakhir (1980)
  • Halilintar Perang Banjar (1980)
  • Sampah Negeri (1982)
  • Terbelenggu (1983)
  • Sembilu Haram Manyarah (1983)
  • Bumi Kereta (1988)
  • Saruni (1989)
  • Pesta Jodoh (1990)
  • Engken Barajut (1990)
  • Kosong Kosong (1995)
  • Langkah Langkah Pahlawan Kita (1997)
  • Pratala Kara Markara (2000)
  • Kicaka di Negara (2002)

Naskah sinetron garapannya yang sudah ditayangkan di TVRI Banjarmasin dan TVRI Jakarta antara lain:

  • Lambung mangkurat (6 episode)
  • Junjung Buih (6 episode)
  • Dokter Hayati (6 episode)

Referensi sunting

  1. ^ Gelar SBY Tak Politis - kalsel.antarnews.com, diakses 30 Maret 2014.
  2. ^ Sempurnakan Naskah Lewat Latihan - kalteng.tribunnews.com, diakses 30 Maret 2014.