Öri Moro’ö adalah öri (gabungan beberapa kampung) yang pernah berdiri di Pulau Nias. Wilayahnya sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Nias Barat. Masyarakat Öri Moro'ö berdomisili di Kecamatan Mandrehe, Kecamatan Mandrehe Utara, Kecamatan Mandrehe Barat, dan Kecamatan Moro'ö. Sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani karet, kakao/coklat, dan sawah. Moro’ö merupakan nama sungai besar yang ada di Nias.[1]

Etimologi sunting

Moro’ö merupakan nama sungai besar yang ada di Nias Barat. Ada dua versi informasi mengenai asal-usul kata Moro’ö. Versi pertama, Moro’ö merupakan padanan dari dua kata moroi = dari, atau ö = makanan. Sungai Moro’ö berarti Sungai dari Makanan. Versi kedua, Sungai Moro’ö baru diberi nama saat 5 puak itu berpisah. Ketika 5 puak ini berpisah, mereka mengadakan pesta besar. Air sisa makanan mereka mengalir ke sungai dekat kediaman mereka di Luha Mangonia (sekarang masuk dalam wilayah kampung Hiligoe). Oleh karena itu, mereka menamai sungai itu Moro’ö yang berarti Idanö (Sungai) Moroi (dari) atau Ö (makanan).

Pembentukan dan Struktur Pemerintahan sunting

Ada lima orang nenek moyang Moro’ö, yakni: (1) Sondrani Balugu Uku Gulö, (2) Manofugabua Zebua, (3) Fahandrona Hanakha Hia, (4) Falakhi Denawa Waruwu, dan (5) Balugu Burusa Zai. Öri Moro'ö memiliki 5 nenek moyang, maka Moro’ö dijuluki Si Lima Ina (5 puak marga): Gulö, Zebua, Hia, Waruwu, dan Zai. Kelima nenek moyang Öri Moro'ö pada awalnya bermukim di satu kampung Luha Mangonia. Kemudian, mereka membagi wilayah kerajaan masing-masing.[2]

Kelima nenek moyang Moro’ö sepakat untuk menentukan kedudukan dan struktur organisasi adat di antara mereka. Langkah pertama adalah mereka menentukan aturan penentuan kedudukan, yakni menombak seekor babi. Jika tombak mengenai rahang bawah sebelah kanan (simbi kambölö) dialah yang berhak menjadi raja atau pemimpin yang disebut tuhe. Penombak yang mengenai simbi sebelah kiri dia berhak menjadi wakil yang disebut tambalina. Penombak yang mengenai tulang punggung dekat leher babi (söri) berhak menjadi nomor tiga (sangotölu) dalam kedudukan adat. Penombak yang mengenai samping kanan babi berhak menjadi nomor empat (sango’öfa) dalam kedudukan adat; sedangkan penombak yang mengenai samping kiri babi dia berkedudukan nomor lima (sangolima) dalam struktur adat.

Langkah kedua adalah mereka membawa seekor babi di tepi Sungai Moro’ö. Babi itu mereka sembelih menjadi lima bagian. Babi sembelihan itu mereka gantung untuk ditombak. Hasilnya, Sondrani Balugu Uku Gulö berhak menjadi raja (tuhe), Manofugabua Zebua berhak menjadi wakil (tambalina), Fahandrona Hanakha Hia berhak menjadi sangotölu, Falakhi Denawa Waruwu berhak menjadi sango’öfa, dan Balugu Burusa Zai berhak menjadi sangolima.

Pada waktu Si Lima Ina berperang melawan musuh untuk memperebutkan tanah perbatasan, hanyalah Falakhi Denawa Waruwu yang berani menerima tombak 9 ruas (9 roiroi) dari Balugu Sondrani Uku Gulö untuk digunakan sebagai alat perang melawan Öri Lahömi. Karenanya, dia diangkat sebagai panglima perang Öri Moro'ö. Menurut tokoh adat Öri Moro'ö Tageli Gulö, Falakhi memiliki kekebalan tubuh. Ia mampu duduk di atas tombak tanpa terluka. Si Lima Ina berhasil memenangi perang tersebut sehingga mereka menyebut diri sebagai Moroiö yang berarti beruas-ruas. Dengan kata lain, istilah Moro’ö ada kaitannya dengan tombak 9 ruas (9 roi-roi) yang digunakan Falakhi Waruwu untuk memerangi musuh.

Penelitian sunting

Penelitian pertama mengenai perkawinan adat di Öri Moro'ö diterbitkan pada tahun 2015 dengan judul "Böwö dalam Perkawinan Adat Öri Moro'ö Nias Barat".

Fondrakö sunting

Menurut peneliti Öri Moro'ö Pastor Postinus Gulö, Fondrakö Tekhemböwö Öri Moro'ö disahkan antara tahun 1360-1465. Tata aturan perkawinan serta besar-kecilnya böwö di Öri Moro’ö diatur di dalam Fondrakö Si Lima Ina yang lebih dikenal dengan istilah Tekhemböwö. Istilah Tekhemböwö merupakan gabungan dari kata tekhe = hasil musyawarah dan böwö = jujuran/maskawin. Tekhemböwö berarti jujuran/maskawin yang sudah disepakati tetua adat secara bersama-sama. Patung Tekhemböwö didirikan sebagai saksi sejarah dari kesepakatan bersama-sama tersebut.

Tokoh sunting

Bupati Nias Barat pertama (2011-2016) adalah putra Öri Moro'ö, yakni Adrianus Aroziduhu Gulö.

Referensi sunting

  1. ^ Hammerle, Johannes M. (2008). Tuturan Tiga Sosok Nias. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. hlm. 3. 
  2. ^ Gulö, Postinus, Böwö dalam Perkawinan Adat Öri Moro'ö Nias Barat (Bandung: Unpar Press, 2015), hlm. 9-10; ISBN 978-602-6980-04-5