Wayang Kulit Betawi

Wayang Kulit Betawi merupakan jenis pertunjukan wayang yang berkembang di sekitar kawasan Jakarta dan sekitarnya. Wayang ini masih memiliki keterkaitan dengan wayang kulit Jawa[1] terutama Banyumas.[2] Dalam daftar Penetapan Warisan Takbenda Indonesia yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Wayang Kulit Betawi dikategorikan sebagai seni pertunjukkan yang memiliki status terancam punah.[1]

Sejarah sunting

Sejarah munculnya Wayang Kulit Betawi memiliki tiga pendapat berbeda. Pendapat pertama mmengacu pada kedatangan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram pada 1627 dan 1629. Kedatangan Sultan Agung ke Betawi bertujuan untuk menyerang Belanda. Di wilayah Betawi, pasukan Sultan Agung kemudian menjadikan sebuah rumah sebagai pos peristirahatan tentara Mataram. Setiap malam, seorang tentara Mataram menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh dan peristiwa dalam dunia pewayangan.[1] Kegagalan dalam mengusir Belanda, kemudian membuat banyak pasukan Mataram tidak kembali dan akhirnya menetap di sekitaran Batavia. Sisa-sisa pasukan inilah yang kemudian dianggap memunculkan Wayang Kulit Betawi.[3]

Pendapat kedua beranggapan bahwa munculnya Wayang Kulit Betawi berasal dari orang-orang Carbon yang tidak mau kembali ke daerah asalnya. Mereka merupakan orang-orang yang melakukan kerja paksa untuk mengeruk kali Ciliwung dan parit-parit yang dipenuhi oleh material tanah longsor yang berasal dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Material tersebut dihasilkan akibat gempa bumi dahsyat yang terjadi pada 5 dan 29 Januari 1699.[3]

Pendapat ketiga menyatakan bahwa wayang kulit Betawi berkembang dikarenakan adanya orang-orang Banyumas yang bertransmigrasi ke daerah Kerawang atas perintah Sultan Agung pada tahun 1632[3] (versi lain menyebutkan tahun 1633[2]). Mereka ditugaskan untuk menanam padi untuk kebutuhan pangan. Pada masa pemerintahan Sultan Amangkurat 1 terjadi pertempuran yang mengakibatkan banyak penduduk menyinkir ke wilayah Barat di sekitar Cikeas dan Cileungsi (Kali Bekasi).[3] Para penduduk inilah yang kemudian dianggap menyebarkan dan mengembangkan Wayang Kulit Betawi.

Nama Lain Wayang Betawi sunting

Ada beberapa pengamat yang menjuluki Wayang Betawi dengan sebutan Wayang Tambun. Istilah itu mereka gunakan berdasarkan sejarah penyebaran kesenian Betawi. Wayang kulit Betawi, merupakan salah satu kesenian tradisional Betawi yang berkembang di daerah pinggiran kota Jakarta, yang saat ini dikenal dengan daerah Botabek, khususnya di daerah Tambun, Bekasi, maka Wayang Betawi disebut juga Wayang Tambun.[4]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penetapan Warisan Tak Benda Indonesia 2018. Diakses melalui https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/dashboard/media/Buku%20Penetapan%20WBTb%202018.pdf?utm_source=Misi+1&utm_campaign=d3fcefc15d-EMAIL_CAMPAIGN_2019_02_16_02_34&utm_medium=email&utm_term=0_36dc46f689-d3fcefc15d-301506445 pada 6 Maret 2019.
  2. ^ a b Mu'jizah, Mu'jizah (2015-06-29). "Teks, Konteks, Dan Pola Kebertahanan Wayang Kulit Betawi". ATAVISME. 18 (1): 91–105. doi:10.24257/atavisme.v18i1.35.91-105. ISSN 2503-5215. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-08. Diakses tanggal 2019-03-06. 
  3. ^ a b c d "Wayang Kulit Betawi – Lembaga Kebudayaan Betawi" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-06. Diakses tanggal 2019-03-06. 
  4. ^ "Ini Die Wayang Kulit Punye Betawi". Disunting oleh Vey si Sendal Jepit. 2019-06-14. Diakses tanggal 2022-05-25.