Ulat sagu bentuknya berwarna putih dan terlihat gemuk. Bagi masyarakat Papua khususnya yang tinggal di kawasan pesisir, ulat sagu merupakan menu makanan favorit. Ulat sagu merupakan kuliner favorit sejak masa prasejarah, temuan arkeologi berupa pecahan gerabah di situs-situs di Kawasan Danau Sentani membuktikan bahwa manusia pada masa prasejarah.[1]

Manfaat

sunting

Pohon sagu menghasilkan tepung sagu, jamur sagu, dan ulat sagu. Bagian-bagian dari pohon sagu dapat dimanfaatkan untuk konstruksi rumah, yaitu kulit batangnya untuk lantai, daun untuk atap dan pelepah untuk dinding rumah. Selain itu, kulit batang pohon sagu yang kering dapat dijadikan sebagai kayu bakar. Duri sagu yang juga tajam dimanfaatkan sebagai alat untuk membuat tato tradisional. Ulat sagu sendiri dijadikan makanan. Ulat sagu didapatkan dari batang pohon sagu yang tua dan biasanya sudah tumbang. Bagian dalam batang pohon sagu ini penuh dengan zat tepung yang menjadi makanan ulat sagu. Ulat sagu dipercaya mengandung banyak manfaat. Karena mengandung protein tinggi, bebas kolesterol, dan dapat membantu mengurangi hama pada tanaman kelapa.[1]

Kandungan

sunting

Ulat sagu adalah larva kumbang penggerek Rhynchophorus ferrugineus, ulat sagu memiliki kandungan protein tetapi sebagian besar adalah lemak. Ulat sagu menjadi menu tambahan bagi masyarakat pesisir Papua. 100 gr ulat sagu mengandung 181 kalori dengan 6,1 gr protein dan 13,1 gr lemak.[1]

Metamorfosis

sunting

Sang kumbang betina biasanya meletakkan telur-telur dibagian luka batang pohon atau luka bekas gerakan tanduk kumbang lainnya. Telur kumbang merah kelapa tersebut kemudian menetaskan larva, larva ini lalu tumbuh menjadi ulat sebelum mencapai bentuk sempurnanya menjadi kumbang dewasa. Ulat yang tumbuh di pohon sagu ini berukuran seperti ibu jari dan berwarna putih. Siklus hidup dari ulat sagu terdiri atas stadium imago dan stadium larva. Stadium imago berlangsung selama 3–6 bulan. Jumlah telur bisa mencapai 500 butir. Ukuran panjang telur 2,5 mm dengan lebar 1 mm.[2]

Telur menetas setelah 3 hari dan masuk stadium larva. Periode larva berlangsung selama 2,5–6 bulan (tergantung temperatur dan kelembapan). Setelah dewasa larva akan berhenti makan, kemudian akan mencari tempat lindung yang dingin dan lembap untuk persiapan membentuk pupa atau kepompong. Dua minggu hidup dalam kepompong, lalu bertukar rupa menjadi bentuk dewasa selama 3 minggu dan masih tinggal di dalamnya. Pada fase terakhir, akan berubah warna menjadi merah cokelat dan bagian tubuhnya telah memperlihatkan tubuh kumbang dewasa. Sebelum mencapai fase kepompong menuju kumbang dewasa, biasanya ulat sudah diambil untuk dikonsumsi.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Farhan, Afif Farhan, Afif. "Mengapa Orang Papua Makan Ulat Sagu?". detikTravel. Diakses tanggal 2020-03-28. 
  2. ^ a b "Ulat Sagu, Penghuni Pohon Sagu yang Lezat Rasanya". Greeners.Co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-28.