Transignifikasi adalah sebuah gagasan yang timbul dari ikhtiar para teolog Gereja Katolik, terutama Edward Schillebeeckx, untuk lebih memahami misteri kehadiran nyata Kristus dalam perayaan Misa dari sudut pandang falsafah baru mengenai sifat realitas yang lebih bersesuaian dengan ilmu fisika mutakhir.

Uraian sunting

Menurut konsep transignifikasi, tubuh dan darah Kristus bukan hadir secara jasmaniah dalam Ekaristi, melainkan hadir secara sungguh-sungguh dan objektif, sementara unsur-unsurnya tetap sama, pada saat konsekrasi, dengan demikian signifikansi nyata dari tubuh dan darah Kristus pun hadir sebagai sakramen.

Oleh karena itu konsep transignifikasi tidak saja berbeda dari keyakinan mengenai adanya perubahan jasmaniah atau kimiawi pada unsur-unsur sakramen Ekaristi, tetapi juga berbeda dari ajaran Gereja Katolik Roma bahwa perubahan yang ada hanyalah perubahan realitas asasi tetapi tidak ada perubahan jasmaniah atau kimiawi pada unsur-unsur tersebut (lihat transubstansiasi).

Konsep transignifikasi didasarkan pada gagasan bahwa ada dua macam kehadiran, lokal dan pribadi. Yesus hadir dalam Misa secara pribadi tetapi tidak secara lokal. Seseorang dapat hadir secara lokal, misalnya ketika mengendarai bus, tetapi pikirannya dapat saja melayang jauh ke tempat lain sehingga menjadikannya tidak hadir secara pribadi.

Konsep ini menggunakan gagasan-gagasan yang berasal dari ruang lingkup ilmu linguistika, yakni strukturalisme yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, dan juga gagasan-gagasan semiotika, untuk menjabarkan proses perubahan unsur-unsur roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi.[1] Menurut gagasan-gagasan ini, setiap tanda yang bermakna terdiri atas penanda dan petanda, dua entitas berlainan yang saling melengkapi namun tak terpisahkan, kedua-duanya ditentukan oleh realitas psikologisnya. Dalam kerangka pemikiran ini, Sakramen Ekaristi, yakni hakikat (substansi) tubuh dan darah Kristus, yang tampak dalam tampilan tercerapnya (aksiden) masing-masing, yakni roti dan anggur, akan lebih tepat ditafsirkan sebagai petanda (konsep yang bermakna) tubuh dan darah Kristus yang tampak dalam penanda (kesan-kesan yang dapat dicerap dan diinsafi) roti dan anggur.

Salah satu alasan yang mendasari peralihan ke tafsir baru ini adalah ikhtiar untuk memperjelas sifat yang agak kabur dari konsep "hakikat", serta untuk memodernkan dan memperdalam makna yang sesungguhnya terkandung dalam istilah hakikat itu.

Teori ini telah ditolak oleh Magisterium Gereja Katolik Roma, khususnya oleh Paus Paulus VI dengan ensiklik Mysterium Fidei pada 1965.[2] Akan tetapi teori ini dianggap mirip dengan ajaran gereja Anglikan yang dirumuskan oleh Thomas Cranmer dalam Buku Doa Umat, Pasal Agama, Nomor 28.[3]

Lihat pula sunting

Rujukan sunting