Teori ketergantungan

Teori Ketergantungan atau dikenal teori depedensi (bahasa inggris: dependency theory) adalah salah satu teori yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut Negara Dunia Ketiga.[1] Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara–negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara–negara lain, di mana negara–negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja.[1] Aspek penting dalam kajian sosiologi adalah adanya pola ketergantungan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya dalam kehidupan berbangsa di dunia.[2] Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran.[3] Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili "suara negara-negara pinggiran" untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju.[3]

Peta negara-negara yang memiliki hubungan ketergantungan di dunia

Sejarah

sunting

Awal mula teori ketergantungan (dependency theory) dikembangkan pada akhir tahun 1950-an oleh Raul Presibich (Direktur Economic Commission for Latin America, ECLA).[3] Dalam hal ini Raul Presbich dan rekannya bimbang terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju yang tumbuh pesat, namun tidak serta merta memberikan perkembangan yang sama kepada pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin.[3] Bahkan dalam kajiannya mereka mendapati aktivitas ekonomi di negara-negara yang lebih kaya sering kali membawa kepada masalah-masalah ekonomi di negara-negara miskin.[3]

Lahirnya teori dependensi juga merupakan merupakan jawaban atas krisis teori Marx ortodoks di Amerika Latin.[3] Menurut Marxsis ortodoks, Amerika Latin harus melihat tahap revolusi industri "borjuis" sebelum melampaui revolusi sosialisasi proletar.[3] Namum demikian revolusi Republik Rakyat Tiongkok tahun 1949 dan Revolusi Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajak pada kaum cedikiawan bahwa negara dunia ketiga tidak harus selalu mengikuti tahap-tahap perkembangan tersebut.[3] Tertarik pada model pembangunan RRC dan Kuba, banyak intelktual radikal di Amerika latin berpendapat bahwa negara-negara di Amerika Latin dapat saja berlangsung menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.[3]

Teori dependensi ini segera menyebar dengan cepat dibelahan Amerika Utara pada akhir tahun 1960-an oleh Andre Gunder Frank, yang kebetulan berada di Amerika Utara pada tahun 1960-an.[4] Di Amerika Serikat teori ini memperoleh sambutan hangat, karena kedatangannya hampir bersamaan waktunya dengan lahirnya kelompok intelektual muda radikal, yang tumbuh dan berkembang subur pada massa revolusi kampus dilampung barat, akibat pengaruh kegiatan protes antiperang, gerakan kebebasan wanita, dan menyebarnya kerusuhan rasial pada pertengan tahun 1960 yang diikuti oleh inflasi kronis, develuasi mata uang dollar Amerika dan perasaan kehilangan kepercayaan diri pada masa awal tahun 1970-an, menyebab hilangnya kenyakinan landasan moral Teori modernisasi.[4]

Warisan pemikiran

sunting

Raul Prebisch

sunting

Prebisch mengkritik keusangan konsep pembagian kerja secara internasional yaitu Internasional Division of Labor (IDL).[1] IDL lah menurut Presbich yang menjadi sebab utama munculnya masalah pembangunan di Amerika Latin.[1] Adanya teori pembagian kerja secara internasional (IDL), yang didasarkan pada teori keunggulan komparatif, membuat negara-negara di dunia melakukan spesialisasi produksinya.[1] Oleh karena itu, negara-negara di dunia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara center/pusat yang menghasilkan barang industri dan negara-negara pheriphery/pinggiran yang memproduksi hasil-hasil pertanian.[1] Keduanya saling melakukan perdagangan, dan menurut teori ini, seharusnya menunjukan hal yang sebaliknya.[1] Negara-negara center yang melakukan spesilisasi pada industri menjadi kaya, sedangkan negara pengirian (pheriphery) tetap saja miskin.[1] Padahal seharusnya kedua negara sama kaya karena perdagangannya saling menguntungkan.[1]

Analisis Raul Prebisch terhadap kemiskinan negara pingiran

  • Terjadi penurunan nilai tukar komoditas pertanian terhadap komoditas barang industri.[5] Barang industri semakin mahal dibanding hasil pertanian, akibatnya terjadi defisit pada neraca perdagangan negara pertanian bila berdagang dengan negara industri.[5]
  • Negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri, sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspor ke sana (memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke pusat).[5]
  • Kebutuhan akan bahan mentah dapat dikurangi dengan penemuan teknologi lama yang bisa membuat bahan mentah sintetis, akibatnya memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat.[5]
  • Kemakmuran meningkat di negara industri menyebabkan kuatnya politik kaum buruh. Sehingga upah buruh meningkat dan akan menaikan harga jual barang industri, sementara harga barang hasil pertanian relatif tetap.[5]

Solusi yang ditawarkan Raul Prebisch

Presbich berpendapat negara-negara yang terbelakang harus melakukan industrialisasi, bila mau membangun dirinya, industrialisasi ini dimulai dengan Industri Substitusi Impor (ISI).[5] ISI dilakukan dengan cara memproduksi sendiri kebutuhan barang-barang industri yang tadinya di impor untuk mengurangi bahkan menghilangkan penyedian devisa negara untuk membayar impor barang tersebut.[5] Pemerintah berperan untuk memberikan proteksi terhadap industri baru.[5] Ekspor bahan mentah tetap dilakukan untuk membeli barang-barang modal (mesin-mesin industri), yang diharapkan dapat mempercepat indrustrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.[5] Bagi Presbich campur tangan pemerintah merupakan sesuatu yang sangat penting untuk membebaskan negara-negara pinggiran dari rantai keterbelakangannya.[5]

Neo-Marxisme

sunting

Teori depedensi juga memiliki warisan pemikiran dari Neo-Marxisme keberhasilan dari revolusi Tiongkok dan Kuba ketika itu telah mebantu tersebarnya perpaduan baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika latin yang menyebabkan generasi baru dan dengan lantang menyebut dirinya sebagai Neo-Marxisme.[1]

Beberapa pendapat Neo-Marxisme:[1]

  • Neo-Marxisme melihat imprealisme dari sudut pandangan negara pinggiran. Dengan lebih memberikan perhatian pada akibat imperialisme pada negara-negara dunia ketiga.[1]
  • Neo-Marxisme percaya, bahwa negara dunia ketiga telah matang untuk melakukan revolusi sosialis.[1]
  • Neo-Marxisme lebih tertarik pada arah revolusi Tiongkok dan Kuba, ia berharap banyak pada kekuatan revolusioner potensial dari para petani pedesaan dan perang gerilya tentara rakyat.[1]

Paul Baran

sunting

Paul baran adalah seorang pemikir Marxisme yang menolak pandangan Marx tentang pembangunan dinegara-negara dunia ketiga.[5] Bila Marx mengatakan bahwa sentuhan negara-negara kapitalis maju kepada negara-negara pra-kapitalis yang terbelakang akan membangunkan negara-negara yang terakhir ini untuk berkembang, seperti negara-negara kapitalis di Eropa.[5] Baran berpendapat lain, baginya, sentuhan ini akan mengakibatkan negara-negara kapitalis tersebut terhambat kemajuannya dan akan terus hidup dalam keterbelakangan.[5] Dengan pendapatnya yang berbeda dengan Marx, Baran menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran, berbeda dengan perkembangan kapitalisme di negara-negara pusat.[5] Di negara pinggiran sistem kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme.[5] Orang yang dihinggapi penyakit ini tetap kerdil dan tidak bisa besar.[5] Menurut baran kapitalisme di negara-negara pusat bisa berkembang karena adanya tiga prasyarat:

  • Meningkatnya produksi diikuti dengan tercabutnya masarakat petani di pedesaan.[5]
  • Meningkatnya produksi komoditas da terjadinya pembagian kerja mengakibatkan sebagian orang menjadi buruh yang menjual tenaga kerjanya sehingga sulit menjadi kaya, dan sebagian lagi menjadi majikan yang bisa mengumpulkan harta.[5]
  • Mengumpulnya harta di tangan para pedagang dan tuan tanah.[5]

Bentuk-bentuk Ketergantungan

sunting

Dos Santos menguraikan ada 3 bentuk ketergantungan:[1][5]

1). Ketergantungan Kolonial

  • Terjadi penjajahan dari negara pusat ke negara pinggiran.[1][5]
  • Kegiatan ekonominya adalah ekspor barang-barang yang dibutuhkan negara pusat.[1][5]
  • Hubungan penjajah – penduduk sekitar bersifat eksploitatif negara pusat.[1][5]
  • Para penjajah memonopoli tanah, pertambangan, tenaga kerja.[1][5]

2). Ketergantungan Finansial

  • Negara pinggiran secara politis merdeka, tetapi kenyataannya masih dikuasai oleh kekuatan-kekuatan finansial dari negara pusat.[1][5]
  • Seperti pada ketergantungan kolonial, negara pinggiran masih mengeksport bahan mentah bagi kebutuhan industri negara pusat.[1][5]
  • Negara pusat menanamkan modalnya pada pengusaha lokal di negara pinggiran untuk menghasilkan bahan baku tersebut..[5]

3). Ketergantungan Teknologis-Industrial

  • Bentuk ketergantungan baru.[1][5]
  • Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk negara pusat.[1][5]
  • Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.[1][5]

Kritik

sunting
  • Metode pengkajian, mereka mengkritik bahwa teori depedensi bukan merupakan karya ilmiah, melainkan lebih merupakan pamflet politik.[1] Teori modernisasi mengatakan bahwa, teori depedensi memberi penjelasan dan analisis ilmiah tentang persoalan yang ada di negara dunia ketiga.[1]
  • Kategori teoretis, teori depedensi telah secara berlebihan menekankan pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hampir melupakan dinamika internal, misalnya peranan sosial dan negara.[1] Analisis perebutan kekuasaan politik juga tidak ditemukan dalam kategori teoretis.[1] Hal ini terjadi karena teori depedensi menganggap bahwa kaum industralis di negara dunia ketiga hanya merupakan borjusi gembel (lumpen bourgeoisie) yang tergantung pada modal asing.[1] Disisi lain teori dependensi menganggap pemerintah sebagai komite administrasi dari modal asing dan negara-negara imperialis.[1]
  • Implikasi kebijakan, teori depedensi berpendapat bahwa selama hubungan pertukaran yang tidak seimbang ini tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional, maka ketergantungan dan keterbelakangan negara dunia ketiga tetap tidak terselesaikan.[1] Dalam hal ini para berada pada posisi sebaliknya.[1] Mereka berpendapat bahwa ketergantungan dan pembangunan dapat saja terwujud secara bersama, dan bahkan lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa situasi ketergantungan tidak harus membawa keterbelekangan.[1] Para pengekritik juga menganggap bahwa rumusan kebijaksanaan yang diajukan oleh teori depedensi tidak dapat menjelaskan secara detail dan jelasbagaimana negara dunia ketiga itu bertindak.[1]

Pranala luar

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah Dr. Murodi, MA & Wati Nilamsari, M.Si. Buku Ajar Sosiologi Pembangunan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, 2007. hal 11,
  2. ^ Prof. Dr. H. Syamsyir salam, MS & Amir fadilah, S.sos, M.Si sosiologi pembangunan pengantar studi pembangunan lintas sektoral. Jakarat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta_UIN perss. Hal 16.
  3. ^ a b c d e f g h i Suwasono dan so. 2000. Perubahan social dan pembangunan LP3ES Jakarta. hal 90
  4. ^ a b (Inggris)Daniel Chirot Changing Fashion in The Study of Social and Politic Change, dalam Suwarsono dan so (2000). Jakarta: LP3ES hal 91.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Arief Budiman. 2000. Teori pembangunan dunia ketiga. Gramedia. Jakarta. Hal. 46-48