Telapak tangan menurut Islam

Telapak tangan menurut Islam adalah salah satu bagian tubuh manusia yang penting dalam kegiatan bersuci dalam Islam utamanya untuk wudu dan tayamum. Tindakan yang dilarang dalam Islam mengenai penggunaan telapak tangan ialah berjabat tangan dengan lawan jenis. Dalam fikih perempuan, telapak tangan menjadi salah satu bagian tubuh yang tidak termasuk sebagai aurat. Dalam peminangan, telapak tangan perempuan juga dapat diperlihatkan kepada laki-laki yang meminang dengan tujuan untuk mengetahui kesuburan dari perempuan yang dipinang.

Sunnah

sunting

Taharah

sunting

Telapak tangan merupakan salah satu bagian tubuh yang dibasuh ketika berwudu. Pembasuhannya dalam sunnah dilakukan sebanyak tiga kali. Ketentuan ini berdasarkan hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dan Imam Nasa'i dari Aus bi al-Tsaqfi. Dalam hadis ini, Aus bi al-Tsaqfi melihat Muhammad membilas telapak tangannya sebanyak tiga kali ketika berwudu.[1] Telapak tangan kemudian digunakan untuk mengambil air yang akan dipakai sebagian untuk berkumur dan sebagaian dihirupkan ke rongga hidung sedalam-dalamnya untuk kemudian dikeluarkan.[2] Dalam wudu, kedua telapak tangan digunakan pula untuk mengusap kepala bagian depan dengan air. Kedua telapak tangan juga digunakan untuk mengusap bagian luar dan dalam telinga setelah pengusapan kepala.[3]  

Tayamum

sunting

Telapak tangan digunakan khusus untuk tayamum menurut hadis periwayatan Ad-Daruquthni. Muhammad menyampaikan caranya dengan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah. Lalu kedua telapak tangan ditiup. Lalu wajah dan kedua tangan diberi sapuan dengan batasan untuk tangan cukup pada kedua telapak tangan saja.[4]   

Larangan

sunting

Jabat tangan dengan lawan jenis

sunting

Sebagian ulama memberikan status haram atas jabat tangan dengan lawan jenis. Larangan ini didasarkan oleh sebuah hadis dari Aisyah yang menyatakan bahwa Muhammad tidak pernah mengadakan baiat dengan perempuan dengan menyentuh telapak tangan. Baiat dilakukab atas perempuan hanya melalui perkataan saja.[5]

Penampakan

sunting

Pengecualian aurat

sunting

Telapak tangan merupakan salah satu bagian tubuh muslimah yang dapat ditampakkan selain wajah menurut salah satu hadis.[6] Sedangkan bagian tubuh lainnya harus ditutupi menggunakan pakaian karena termasuk aurat. Aturan ini mulai berlaku bagi wanita muslimah yang telah mengalami haid. Ketetapannya berdasarkan perkataan Muhammad kepada Asma’ binti Abu Bakar yang disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud.[7] Laki-laki dibolehkan hanya memandang bagian wajah dan telapak tangan perempuan saja. Sementara bagian tubuh lainnya terlarang untuk dipandang.[8]

Perbedaan pendapat terjadi oleh para fukaha mengenai batas aurat pada telapak tangan, muka dan telapak kaki. Pendapat yang dihasilkan ada empat macam. Pertama, pendapat bahwa hanya muka dan telapak tangan yang tidak termasuk aurat bagi wanita. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Syafi'i dan Imam Maliki.  Lalu pendapat kedua menyatakan bahwa yang tidak termasuk aurat bukan hanya muka dan telapak tangan. Bagian lain yang bukan aurat ialah telapak kaki. Pendapat kedua ini dinyatakan oleh Imam Hanafi. Pendapat ketiga menyatakan bahwa hanya muka yang bukan merupakan aurat bagi wanita. Sementara telapak kaki dan telapak tangan merupakan aurat. Pendapat ketiga dikemukakan oleh sebagian pengikut Mazhab Hambali.[9] Sedangkan pendapat keempat menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita merupakan aurat tanpa ada pengecualian. Pendapat keempat didukung oleh seorang tabi'in bernama Abu Bakar bin Abdurrahman dan salah satu riwayat dari Imam Hambali.[10] Perbedaan yang terjadi di antara para fukaha merupakan akibat dari penafsiran yang berbeda atas Surah An-Nur ayat 31.[10]

Peminangan

sunting

Dalam peminangan, terdapat tiga pendapat yang menyatakan bagian tubuh perempuan yang dapat dilihat oleh laki-laki yang meminang. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dapat dilihat hanya muka dan telapak tangan.[11] Tujuan melihat muka untuk mengetahui kecantikan dari perempuan yang dipinang. Sedangkan melihat telapak tangan untuk mengetahui tingkat kesuburan badan dari perempuan yang dipinang.[12] Pendapat kedua menyatakan bahwa bagian tubuh yang dapat dilihat adalah seluruh bagian badan dalam batas artian lahiriah. Pendapat ketiga menyatakan bahwa bagian tubuh perempuan yang dapat dilihat ketika dipinang sesuai dengan norma kepatutan dan kewajaran. Norma ini dilandasi oleh etika dalam ajaran Islam dan rasa saling menghormati.[11]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Najed 2018, hlm. 35-36.
  2. ^ Najed 2018, hlm. 43.
  3. ^ Najed 2018, hlm. 44.
  4. ^ Najed 2018, hlm. 52.
  5. ^ Najed 2018, hlm. 164.
  6. ^ Hikmatullah dan Hifni, M. (2021). Zulaikha, ed. Hukum Islam dalam Formulasi Hukum Indonesia (PDF). Serang: Penerbit A-Empat. hlm. 93. ISBN 978-623-6289-11-2. 
  7. ^ Bakhtiar, Nurhasanah (Februari 2018). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PDF). Sleman: Aswaja Pressindo. hlm. 139. ISBN 978-602-18663-1-3. 
  8. ^ Najed 2018, hlm. 153.
  9. ^ Nuraini dan Dhiauddin 2013, hlm. 2-3.
  10. ^ a b Nuraini dan Dhiauddin 2013, hlm. 3.
  11. ^ a b Sanjaya, U. H., dan FAqih, A. R. (Maret 2017). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (PDF). Yogyakarta: Gama Media. hlm. 33. ISBN 978-979-8242-92-2. 
  12. ^ Jamaluddin dan Amalia, N. (2016). Faisal, ed. Buku Ajar Hukum Perkawinan (PDF). Lhokseumawe: Unimal Press. hlm. 47. ISBN 978-602-1373-44-6. 

Daftar pustaka

sunting