Tebu Rakyat Intensifikasi

Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) adalah program intensifikasi penanaman tebu dalam rangka menunjang industri gula Indonesia pada masa Orde Baru, yang ditetapkan melalui Intruksi Presiden No.9 tahun 1975. Tujuan dari program ini adalah untuk: (1) meningkatkan pendapatan para petani; (2) memenuhi kebutuhan gula dalam negeri; (3) mengalihkan sistem sewa menjadi sistem budi daya tebu di lahan sendiri, sehingga para petani menjadi tuan di tanahnya sendiri.[1]

Dulu sebelum program TRI dicanangkan, pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa menyewa tanah milik petani untuk ditanami tebu sehingga para petani hanya menerima penghasilan sewa tanah per musim tanam saja, tanpa memperhitungkan hasil produksi. Tingkat sewa saat itu sudah jauh tertinggal inflasi, sehingga jumlah areal untuk disewakan pun berkurang. Keadaan ini dianggap dapat membahayakan perkembangan industri gula nasional di masa yang akan datang. Lonjakan harga gula di pasar dunia merupakan salah satu penyebab yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk menetapkan program TRI.[1]

Tujuan utama TRI, yaitu meningkatkan pendapatan para petani, tetapi justru masih jauh dari kenyataan. Bahkan kebanyakan petani tidak mau ikut program TRI, karena terus merugi bila dibandingkan dengan menanam padi atau palawija.[1]

Hambatan-hambatan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan program TRI, menurut pengamatan berbagai media massa antara lain:

  1. Budi daya tebu merupakan budi daya yang rumit, memerlukan prosedur yang panjang, serta masa tanam sampai panen memerlukan waktu 18 bulan.
  2. Bibit bermutu naiksulit diperoleh.
  3. Keterlambatan sering terjadi dalam pembayarankredit.
  4. Pabrik-pabrik gula sering terlambat melakukan penebangan, ditambah dengan antrian yang panjang menunggu giliran penggilingan sering menyebabkan rendemen (kadar gula dalam cairan tebu) turun.
  5. Permainan oknum-oknum pabrik gula dalam mengatur giliran penggilingan maupun dalam proses penimbangan.
  6. Adanya "tebu rakyat bebas" (non intensifikasi) yang sering "diselundupkan".
  7. Ketidaksesuaian antara harga jual yang ditetapkan dan biaya produksi yang cenderung terus meningkat.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Lumbatoruan, Magdalena (1992). Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. hlm. 402-403.