Tari Moyo

salah satu tarian di Indonesia

Tari Moyo atau disebut juga sebagai tari elang merupakan salah satu seni tari tradisional yang berasal dari pulau Nias, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Secara etimologi, Moyo dalam bahasa Nias berarti burung elang. Hewan unggas tersebut adalah ilham bagi masyarakat nias dalam menciptakan gerakan tarian ini yang menggambarkan seekor burung elang yang mengepakkan sayapnya, tanpa mengenal lelah, menaklukkan sesuatu yang bermakna bagi sesamanya dan dirinya sendiri. Pada dasarnya tari moyo menceritakan tentang sukacita seorang ibu atas kepulangan anaknya dari peperangan. Tarian ini juga melambangkan keuletan dan semangat secara bersama dalam mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan.[1]

Gambar Tari Moyo

Di Kepulauan Nias sendiri, setiap daerah memiliki versi Tari Moyo yang berbeda-beda, mulai dari asal-usul, ragam gerak, hingga musik pengiringnya.[2]

Tari Moyo dalam pandangan Antropologi merupakan suatu bentuk ekspresi diri yang didefinisikan sebagai praktik kultural sekaligus sebagai ritual sosial. Tari Moyo memiliki fungsinya tersendiri baik secara kultural maupun secara sosial. Selain itu, Tari Moyo tidak hanya memiliki unsur estetika semata, tetapi juga ada unsur sosiologis dan aspek sejarah yang melatarbelakanginya. Tari Moyo memiliki sifat tekstual atau memiliki bentuk secara fisik yang dapat dilihat, didengar, dan dialami oleh indera serta ditelaah atau dianalisis berdasarkan konsep pemahamannya. Sebuah pertunjukan merupakan perpaduan antara berbagai aspek penting yang menunjang seperti lakon, pemain, busana, iringan, tempat pentas dan penonton. Dalam perspektif ini, pertunjukan Tari Moyo juga memiliki beberapa unsur pendukung yang dapat dijabarkan antara lain; pelaku pertunjukan, tata busana dan tata rias, setting atau waktu dan tempat pertunjukan, pola lantai, serta gerak tari dan instrumen pengiring. Kesemua hal ini merupakan faktor yang mendukung keberhasilan pertunjukan Tari Moyo, yang merupakan bagian dari Technology of Enchantment.[2]

Tari moyo merupakan tarian yang istimewa, oleh karena itu tarian ini dulunya ditampilkan dalam acara-acara tertentu, seperti penyambutan saat panglima kembali dari berperang, dalam acara-acara kerajaan untuk menghibur para raja dan ratu serta menyambut para tamu-tamu raja dan dimainkan oleh gadis-gadis asli nias. Selain itu, tarian ini juga ditampilkan pada pesta adat perkawinan. Pada pesta adat perkawinan masyarakat nias. Tari moyo (tari elang) yang ditampilkan pada pesta adat perkawinan selalu dimainkan secara beriringan dengan urutan yang pertama adalah Lompat Batu. Kemudian dilanjutkan dengan Tari Perang yang bersambungan dengan Tari Moyo dan diakhiri dengan Tari Fogaele. Setelah itu, para penari membawakan persembahan sirih kepada pengantin dan para tamu yang datang.[3]

Tarian ini mengalami transformasi dari tarian yang khusus ditujukan kepada bangsawan menjadi sebuah kesenian rakyat. Terbukti, tarian ini kini dipelajari oleh kaum perempuan secara terbuka, tidak lagi tergantung pada status sosial yang mereka miliki. Tarian ini diterapkan menjadi salah satu kegiatan ekstrakukurikuler di sekolah, sebagai penerapan dari konsep muatan lokal sekolah. Transformasi formalitas seni budaya kaum bangsawan menjadi kesenian rakyat merupakan bentuk difusi budaya yang muncul karena adanya perubahan nilai-nilai budaya dan tradisi yang ada pada masyarakat.[2]

Perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat akibat hilangnya pemerintahan adat yang digantikan dengan pemerintahan desa oleh pemerintah, serta hilangnya kepercayaan leluhur karena tergantikan dengan agama yang diakui secara nasional mengakibatkan Tari Moyo yang tadinya hanya ditarikan untuk kalangan bangsawan kini sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat.[2]

Tari Moyo disebut sebagai perpindahan skema yang sifatnya fundamental antara produksi seni dengan proses sosial. Perubahan yang terjadi sekarang ini adalah bahwa Tari Moyo tidak lagi ditujukan sebagai bagian dari ritual masyarakat, kepercayaan sudah beralih dari penyembahan terhadap leluhur menjadi agama Kristen dan Katolik. Tari Moyo memiliki nilai pendidikan sosial yang dapat dikembangkan sebagai sarana pembentukan karakter yang kuat, diantaranya: 1. Menumbuhkan rasa kebersamaan 2. Rasa ikut memiliki 3. Rasa tanggungjawab 4. Kekompakan 5. Rasa keterikatan dan rasa sayang Hasil penelitian Sari ini menegaskan bahwa tarian kini tidak lagi dilakukan untuk kesenangan, untuk kepuasan, mengisi waktu luang, mengekspresikan diri, dan hal-hal lain yang sifatnya personal, tetapi juga dapat diarahkan untuk pembangunan karakter serta nilai-nilai luhur bagi generasi muda yang menghadirkan lebih banyak manfaat dari sebelumnya.[2]

Tari Moyo memiliki cerita asal-usul yang bervariasi di setiap daerah. Dari berbagai versi yang ada, muncul pula beragam pemaknaan dari masyarakat terhadap tarian tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa tarian merupakan suatu fenomena sosiohistoris, yang banyak dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu serta struktur kekuasaan yang memerintah pada saat itu.

Nilai moral yang yang dapat diambil adalah bahwa seseorang dapat melampaui semua batasan yang dimiliki ketika melindungi sesuatu yang sangat dicintai, baik itu anak-anak, keluarga, maupun orang tuanya, selain itu tarian ini juga dapat diartikan sebagai simbolisasi kebebasan, sebagaimana burung Elang yang sedang terbang bebas dengan mengepakkan ke dua sayapnya. Adapun versi lain di Nias Selatan.

Tari Moyo dimaknai sebagai suatu optimisme, kewibawaan, dan penghargaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan. Itu sebabnya pada versi ini Tari Moyo ditarikan pada saat penyambutan prajurit yang pulang berperang ataupun pada saat upacara fanaro bato atau pemberian penghormatan kepada para pahlawan. Sementara versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengajarkan untuk tidak pernah menyerah dalam pencarian yang sedang dilakukan, sebagaimana seorang putri yang berubah menjadi elang demi mencari kekasih yang tak kunjung kembali. Setiap rumpun marga memiliki memori kolektif tersendiri tentang leluhurnya, dan mereka menceritakan sejarah tentang leluhurnya secara turun-temurun dengan versi mereka sendiri

Gerakan

sunting

Dalam tarian moyo (tarian elang) terdapat beberapa ragam gerakan yaitu gerak kepak sayap (mamologo afi), gerak berhadapan (fataho), gerak berselisih (faonda), gerak lingkaran (sieligo), gerak berkomunikasi (fahuhuo), lalu kembali (mangawei). Tari moyo ini ditampilkan dengan iringan musik menggunakan alat musik tradisional genderang serta gong khas Nias dan nyanyian dengan lantunan syair. Irama yang dimainkan diawali dengan tempo pelan kemudian cepat yang sesuai dengan gerakan penari serta syair yang dilantunkan.[4]

Syair-syair (hoho) yang dilantunkan berisi tentang nasehat, hikayat, kisah-kisah leluhur dan keadaan desa serta fo’ere (doa) yang dilantunkan sebagai persembahan kepada leluhur di masa lalu.[2]

Tata Busana

sunting

Di Nias Selatan, penari perempuan menggunakan busana berwarna kuning dan selempang warna merah, lengkap dengan aksesoris dari kepala sampai ke kaki. Sementara untuk daerah lain, biasanya mengenakan pakaian dengan warna kombinasi merah, hitam dan putih. Busana yang dikenakan dalam tarian ini mengacu pada busana yang dikenakan oleh kaum bangsawan perempuan (inada si’ulu) di masa lalu, mulai dari pakaian yang menutupi tubuh dari atas sampai ke mata kaki, warna kuning emas yang melambangkan kemuliaan, perhiasan berupa kalung (kala mbagi), anting (fondruru), serta kain tenun yang digunakan sebagai selempang[2]

Referensi

sunting
  1. ^ Ruri., Erlangga,. Sumatera Utara. Bekasi. ISBN 9786021593172. OCLC 883615710. 
  2. ^ a b c d e f g Putra, Dharma Kelana (2020-06-30). "TARI MOYO PADA MASYARAKAT NIAS SELATAN". Sejarah dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya. 14 (1): 116–126. doi:10.17977/um020v14i12020p116-126. ISSN 2503-1147. 
  3. ^ "Nilai Pendidikan Sosial Dalam Tari Moyo (Tari Elang) Pada Masyarakat Nias Di Kota Medan". Universitas Negeri Medan. 2017. 
  4. ^ "Tari Moyo Suku Nias Tarian Burung Elang Dari Sumatera Utara". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-07.