Tandu atau pelangkin adalah alat transportasi jarak dekat yang menggunakan tenaga manusia. Tandu dapat mengangkut satu orang penumpang, berbentuk kotak dan dipikul oleh orang atau lebih. Orang yang menggunakan tandu biasanya adalah seorang bangsawan atau pemimpin.

Sebuah Tandu

Tandu biasanya berisi kursi atau tempat tidur yang dipikul oleh dua atau lebih laki-laki, kebanyakan tandu biasanya tertutup untuk perlindungan panas dan hujan. Tandu yang besar, misalnya dari kaisar Tiongkok, mungkin mirip kamar kecil yang dipikul oleh selusin atau lebih laki-laki. Penggunaan tandu ialah dengan cara dipikul di pundak.

Penggunaan Tandu di berbagai negara

sunting

Tandu telah digunakan dari zaman kuno. Pada Mesir zaman fir'aun dan pada dunia timur seperti India dan Tiongkok, penguasa dan dewa-dewa (dalam bentuk berhala) sering diangkut dengan tandu di depan umum seperti pada festival upacara negara atau agama. Instruksi untuk bagaimana membangun Tabut Perjanjian dalam Kitab Keluaran menyerupai tandu.

Di Romawi kuno, tandu disebut lectica atau "sella" sering dilakukan anggota keluarga kekaisaran, tetapi juga pejabat lain dan anggota lain dari elit kaya, jika tidak dipasang di punggung kuda. Tandu juga digunakan untuk mengangkut Paus Vatican pada abad pertengahan. Di Prancis dan Austria tandu bahkan dijadikan alat transportasi umum layaknya taxi pada tahun 1700 an.

Tandu di Indonesia

sunting
 
Di candi Penataran.

Dalam masyarakat Jawa, tandu biasa atau joli adalah kursi rotan dengan kanopi dan ditanggung di pundak pria, dan tersedia untuk disewa untuk setiap pelanggan.[1]

 
Seorang bangsawan di Bali diangkut dengan tandu, Februari 1597.

Sebagai penanda status, tandu mirip singgasana yang disepuh emas, atau jempana, awalnya disediakan untuk bangsawan semata-mata, dan kemudian dipilih oleh Belanda sebagai penanda status: semakin rumit suatu tandu, berarti pemiliknya memiliki status yang lebih tinggi. Tandu ini diangkut baik oleh bawahan setianya atau dengan budak.

 
Pengantin dalam tandu di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 1940-an

Secara historis, tandu seorang raja Jawa, pangeran, atau bangsawan dikenal sebagai jempana, versi yang lebih mirip singgasana disebut pangkem. Itu selalu menjadi bagian dari prosesi militer yang besar, dengan kanopi persegi warna kuning (warna untuk bangsawan Jawa). Para payung upacara diangkat di atas tandu, yang dilakukan oleh pembawa di belakang dan diapit oleh pengawal paling setia, biasanya sekitar 12 pria, dengan tombak, pedang, senapan lontak, keris dan berbagai pisau tersembunyi. Sebaliknya, kanopi dari tandu di Sumatra berbentuk oval dan terbungkus kain putih, mencerminkan perembesan budaya yang lebih besar oleh Islam.[2] Kadang-kadang, senjata atau pusaka, seperti keris atau tombak penting, diberi tandu sendiri.

Dalam budaya Hindu di Bali sampai sat ini tradisi menggunakan tandu-tandu untuk patung yang baik, senjata atau pusaka terus berlanjut, terutama untuk pemakaman, dan dalam ritual lebih rumit, tandu digunakan untuk menanggung jenazah, dan selanjutnya dikremasi bersama dengan orang yang meninggal.

Penggunaan tandu tetap di era modern dalam kebiasaan memakai menerima peti mati yang bermartabat di sebuah pemakaman atau upacara peringatan, meskipun peti mati yang berat dapat dengan mudah diangkut pada kendaraan.

Catatan Kaki

sunting
  1. ^ Tomlin, Jacob Missionary Journals and Letters: Written During Eleven Years' Residence and Travels Amongst the Chinese, Siamese, Javanese, Khassias, and Other Eastern Nations Nisbet: 1844: 384 pages, pp 251
  2. ^ Locher-Scholten, Elsbeth; Jackson, Beverley (2004). Sumatran sultanate and colonial state: Jambi and the rise of Dutch imperialism, 1830–1907. SEAP Publications. ISBN 0-87727-736-2.