Suku Sawang

suku bangsa di Indonesia

Suku Sawang adalah kelompok etnis yang hidupnya berpindah-pindah di laut kawasan pantai pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di Pulau Bangka, mereka menyebar di daerah Lepar Pongok dan Pangkalan Baru, sedangkan di Pulau Belitung mereka menyebar di daerah Membalong dan beberapa daerah lainnya. Suku Sekak di Pulau Bangka sering juga disebut dengan orang Sakai atau orang Mapur karena sebagian besar kehidupannya dihabiskan di laut. Hal inilah yang membuat mereka terkadang disebut dengan Orang Laut. Di sisi lain, suku Sawang di Pulau Belitung dikenal sebagai Ameng Sewang.[1]

Bahasa yang dipakai oleh suku Sawang adalah bahasa Sekak. Bahasa Sekak termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu, namun dialek bahasa Sekak sangat berbeda dengan dialek bahasa suku bangsa asli lain di daerah tersebut. Komunitas masyarakat Sawang di Pulau Bangka oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dikategorikan sebagai komunitas adat. Di sisi lain, Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkategorisasikan komunitas masyarakat Sawang sebagai komunitas adat.[2]

Kehidupan di atas perahu menyebabkan mereka sangat tergantung pada keadaan alam. Apabila keadaan laut sedang tidak memungkinkan, maka mereka akan tinggal di rumah perahu. Mereka menetap sementara di pemukiman yang dibangun di tepi pantai. Biasanya, mereka tinggal di darat hanya untuk beberapa saat saja. Waktu yang singkat itu menyebabkan mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan suku bangsa lainnya. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mereka pada waktu itu digolongkan sebagai “masyarakat terasing”.

Asal-usul

Pengembara laut di perairan Bangka dan Belitung pada umumnya dipanggil atau disebut dengan Orang Laut, namun banyak juga yang menyebutnya dengan sebutan Sekak, Sekat, Sika, dan Sekah. Arti dari nama tersebut tidak dapat dijelaskan. Riedel berpendapat jika nama tersebut diduga berkaitan dengan sekat atau pantai muara di sungai-sungai di Melayu sangatlah tidak meyakinkan. Hal tersebut kemungkinan hanya “pembelokan” atau “pemlesetan” dari nama Sekana(k), suatu nama dari manusia perahu perompak yang berasal dari Lingga. Mereka adalah orang-orang keturunan panglima yang menguasai Jahore, yang selama puluhan tahun dilecehkan di perairan Pantai Bangka. Setelah melakukan pembajakan di perairan Kepulauan Riau-Lingga, mereka diusir dan pergi ke Pulau Bangka untuk melanjutkan hidup dan tinggal menetap di perahu-perahu kecil.[3]

Apabila anggapan mengenai asal-usul nama sekah tersebut benar, maka hal tersebut dapat bermakna bahwa Orang Laut telah berbaur dengan orang Sekana. Suku Sekah sendiri memang memiliki reputasi yang sangat buruk di awal abad ke-19 akibat pembajakan yang dilakukan bersama dengan orang Rayat dari Lingga. Kegiatan yang dilakukan seperti bajak laut Lingga tersebut dibiayai dan didorong oleh seorang tokoh lokal Melayu Belitung.[4]

Salah satu versi mengenai asal-usul suku Sawang menyebutkan bahwa orang Sekak yang berdiam di Pulau Bangka merupakan keturunan Orang Laut, yang berasal dari pulau-pulau kecil yang sekarang termasuk ke dalam wilayah negara Malaysia. Dalam pengembaraannya sebagai nelayan nomaden, Orang Laut kemudian menetap di Kubung, Kecamatan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka. Keturunan dari Orang Laut inilah yang kemudian dikenal sebagai orang Sekak.[5]

Versi lain dari sejarah lisan mengenai asal-usul suku Sawang mengatakan bahwa kata sawang berasal dari nama pohon yang sering disebut dengan pohon bukat atau pohon sawang. Dengan buah sawang serta ilmu gaib yang dimiliki oleh nenek moyang mereka, maka orang Sawang mampu membunuh para perompak atau bajak laut yang disebut dengan Lanun. Lanun yang juga sering disebut dengan Ilanun merupakan warga asli Kepulauan Laluna di Filipina bagian selatan. Mereka adalah perompak laut yang sangat ditakuti oleh padagang yang melintas di perairan Asia Tenggara. Setelah orang Sawang mampu membunuh para perompak, maka orang-orang Lanun yang masih hidup menyatakan menyerah dan mengajak berdamai dengan orang Sawang. Mereka pun menjalin hubungan perkawinan dan anak-anak hasil perkawinan antara orang Sawang dengan Lanun lantas tersebar di berbagai kepulauan di Nusantara dan Filipina. Tradisi orang Sawang yang mengembara di laut dan tidak pernah terikat dengan tempat bermukim secara permanen telah menyebabkan terjadinya persebaran yang luas anak keturunan orang Sawang dan Lanun. Persebaran mereka diduga ada di sekitar Kepulauan Sulu, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung, bahkan sebagian dari warga masyarakat Melayu Belitung merupakan keturunan dari orang Sawang dan Lanun.[6]

Karakteristik

Suku Sawang menjadi terkenal ketika Andrea Hirata dalam buku novelnya yang berjudul "Laskar Pelangi" menyebutkan tentang keberadaan orang Sawang di Belitung Timur serta mendeskripsikan tentang karakteristik fisik dan perilaku sosial dari suku Sawang. Warna kulit orang Sawang pada umumnya cokelat dan relatif lebih gelap apabila dibandingkan dengan orang Bangka dan Belitung pada umumnya. Bisa dikatakan warna kulit orang Sawang terlihat legam karena terlalu banyak terpapar sinar matahari. Rambut mereka lurus dan sebagian yang lain bergelombang dan kaku seperti mayang mengurai. Selain itu, badan mereka juga terlihat kekar dan tegap.[7]

Generasi kedua dan ketiga dari suku Sawang yang tinggal di darat sudah sulit dibedakan dengan masyarakat Bangka dan Belitung pada umumnya karena banyak sekali terjadi perkawinan dengan warga suku bangsa lain yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Perkawinan antara suku Sawang dengan orang dari suku lain merupakan sesuatu yang biasa terjadi pada umumnya.

Program pemukiman

Di Bangka Belitung, setidaknya ada lima komunitas adat, yaitu: Orang Lom, Sekak, Sawang, Jering, dan Kedalek. Orang Lom bermukim di Mapur dan Air Abik Kecamatan Belinyu, Jering dan Kedalek di Kecamatan Kelapa merupakan komunitas adat yang memilih kawasan hutan pedalaman sebagai tempat hunian. Orang Lom pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, sedangkan orang Sekak di Tanjung Gunung serta orang Sawang di Belitung adalah komunitas adat yang berdomisili di kawasan pesisir dan berprofesi sebagai nelayan. Orang Sekak maupun orang Sawang terkenal sebagai pelaut. Oleh karena itu, mereka juga sering disebut dengan suku Laut atau Orang Laut.[8]

Sebagian komunitas orang Sawang di Pulau Belitung telah dimukimkan di darat pada masa pemerintahan Hindia-Belanda ketika mereka menjadi buruh pabrik timah NV Gemeenschapelyke Mynbow Maatschappy Blinton. Mereka dibuatkan perumahan petak di wilayah Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Pada tahun 1970, pemerintah melakukan program pemukiman bagi orang Sawang yang masih hidup nomaden di laut. Mereka dimukimkan di Kampung Laut, Kelurahan Jeru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Program pemerintah untuk merumahkan suku Sawang di Belitung itu diduga sebagai upaya terselubung untuk mengislamkan komunitas adat Sawang karena pada waktu dibangun pemukiman orang Sawang di Kelurahan Pal Satu pada tahun 1970-an di Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan pada tahun 1985 juga dibangunkan pula mushola dan orang-orang Sawang yang mengucapkan kalimat syahadat juga diberikan hadiah seperangkat peralatan sholat.[9]

Upaya merumahkan suku Sawang tersebut juga berakibat tercabutnya orang Sawang dari akar budayanya karena selama ratusan tahun nenek moyang mereka membangun budaya bahari sebagai pedoman hidup dan kerangka adaptasi mereka hidup di laut. Masyarakat Sawang di Pulau Belitung menghadapi permasalahan yang kompleks, yaitu: beban diskriminasi yeng memiliki sejarah panjang. Setelah mereka dimukimkan di darat, suku Sawang menjadi semakin terasing dengan kehidupan budaya, sistem ekonomi, dan sistem religi mereka sendiri. Selain itu, identitas kultural mereka sebagai Orang Laut juga semakin memudar ketika kehidupan sehari-hari mereka tidak ada hubungannya dengan laut.

Referensi

  1. ^ Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 752. 
  2. ^ Subhan, A. (2013). Tiga Persoalan dan Urgensi Pemberdayaan Masyarakat Adat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Belitung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur. hlm. 14. 
  3. ^ De Baning Djoekoet Singa En Baning Senam Njeroepak Amang; Twee Volksverhalen in Het Dialekt Der Orang Lawoet of Orang Sekah van Belitoeng. 1811. 
  4. ^ Sopher, D.E. (1977). The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia. Singapura: National Museum Singapore. hlm. 124. 
  5. ^ Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 753. 
  6. ^ Purwana, B.H.S. (2013). Laporan Inventarisasi Komunitas Adat Sawang di Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 20–24. 
  7. ^ Hirata, Andrea (2005). Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka. hlm. 86. 
  8. ^ Subhan, A. (2013). Tiga Persoalan dan Urgensi Pemberdayaan Masyarakat Adat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Belitung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur. hlm. 3. 
  9. ^ Guna, A. (2014). Jelajah Sejarah Kota Gantong. Manggar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur. hlm. 20–29.