Sramana (Dewanagari: श्रमण; ,IASTŚramaṇa,Pali: समण samaṇa) adalah gerakan keagamaan dari India yang tidak berbasis Weda, mirip namun berbeda dengan Brahmanisme. Tradisi Sramana mengantarkan kemunculan Yoga,[1] Jainisme, Buddhisme,[2] dan beberapa mazhab nastika dalam agama Hindu seperti Carwaka dan Ajiwika, dan juga konsep populer seperti saṃsāra (siklus kelahiran dan kematian) dan moksa (kebebasan dari siklus tersebut) dalam agama-agama India.[3][note 1]

Etimologi

sunting

Kata Samaṇa dalam bahasa Pali dan Śramaṇa dalam bahasa Sanskerta mengacu kepada tradisi pertapaan yang berasal dari zaman pertengahan milenium ke-1 SM.[4] Gerakan ini individual, berbasis pengalaman, tradisi dengan bentuk bebas, dan tidak bergantung kepada masyarakat awam; bersaing dengan para pendeta brahmana—bertolak belakang dengan Sramana—yang lebih menekankan penguasaan kitab suci dan pelaksanaan ritual.[4]

Kata Samaṇa dan Śramaṇa diduga berawal dari akar kata śram, artinya "mengerahkan upaya, tenaga, atau bersitegang". Maka "Śramaṇa" artinya "orang yang bekerja keras" atau "tenaga kerja" dalam bahasa Sanskerta dan Pali.[5] Tradisi Śramaṇa lebih tepat digunakan dengan istilah parivrajaka, artinya pengelana tuna wisma.[6] Sejarah rohaniwan pengelana pada masa India Kuno agak sulit dilacak. Istilah 'parivrajaka' mungkin dapat diterapkan bagi seluruh rohaniwan yang berkelana di India.[7]

Gerakan Sramana

sunting

Beberapa gerakan Sramana diketahui pernah ada di India, bahkan sebelum abad ke-6 SM, dan dipengaruhi oleh tradisi astika ataupun nastika dalam filsafat India.

Gerakan Sramana mulai naik pamor pada masa Mahavira dan Buddha Gautama, ketika ritualisme Weda telah menjadi tradisi dominan di beberapa wilayah India. Sramana mengadopsi cara-cara alternatif yang mengganti upacara-upacara Weda untuk mencapai kebebasan hidup dan meninggalkan kehidupan berumah tangga. Gerakan ini biasanya mengadakan tiga macam aktivitas: kecermatan, meditasi, dan teori-teori yang terkait. Sebagai otoritas spiritual, Sramana merupakan varian bagi otoritas brahmana tradisional. Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah Sramana muncul dalam kitab-kitab Brahmana sebagai ordo keagamaan di luar tradisi Weda (contohnya Astika).

Mahāvīra, Jina ke-24, dan Buddha Gautama merupakan pemimpin bagi kelompok-kelompok Sramana. Menurut sastra Jaina dan pustaka Pali agama Buddha, ada pemuka Sramana lainnya pada masa tersebut.[8][note 2] Dalam Mahāparinibbāna Sutta (DN 16), seorang Sramana bernama Subhadda menyatakan:

...para petapa tersebut, para samaṇa dan brahmana yang memiliki kelompok dan pengikut, yang merupakan guru, pendiri mazhab-mazhab yang masyhur dan tenar, dan dipandang sebagai orang suci oleh masyarakat, seperti Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambalī, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhaputta, dan Nigaṇṭha Nātaputta...[9]

Nigaṇṭha Nātaputta (Pāli; Skt.: Nirgrantha Jñātaputra) menyebut nama Mahāvīra.[note 3] Dengan memperhatikan nama-nama guru yang tersebut di atas sebagaimana dicantumkan dalam kitab Pali, sastra Jaina hanya menyebutkan Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, dan Sañjaya Belaṭṭhaputta.[10][note 4]

Beberapa brahmana bergabung dengan gerakan Sramana, seperti Cānakya dan Śāriputra.[11] Agak mirip pula, sebuah kelompok yang terdiri dari sebelas brahmana mengakui Jainisme dari Mahavira, dan menjadi murid-muridnya atau Ganadhara.[12][note 5]

Gagasan Sramana untuk berkelana mulai berubah mula-mula pada agama Buddha. Para bhikṣu mulai tinggal dalam asrama (Pali, Skt. vihāra), mulanya selama musim hujan, tetapi akhirnya tinggal permanen. Pada Jainisme, tradisi berkelana juga berkurang, tetapi diperbarui lagi pada abad ke-19.

Catatan

sunting
  1. ^ Flood & Olivelle: "The second half of the first millennium BCE was the period that created many of the ideological and institutional elements that characterize later Indian religions. The renouncer tradition played a central role during this formative period of Indian religious history....Some of the fundamental values and beliefs that we generally associate with Indian religions in general and Hinduism in particular were in part the creation of the renouncer tradition. These include the two pillars of Indian theologies: samsara - the belief that life in this world is one of suffering and subject to repeated deaths and births (rebirth); moksa/nirvana - the goal of human existence....."[3]
  2. ^ Some of terms are common between Jainism and Buddhism, including:
       • Symbols: caitya, stūpa, dharmacakra
       • Terms: arihant (Jainism)/arhat (Buddhism), nirvāṇa, saṅgha, ācārya, Jina etc.
    The term pudgala is used by both but with completely different meanings.
  3. ^ In the Buddhist Pāli literature, these non-Buddhist ascetic leaders – including Mahavira – are also referred to as Titthiyas of Tīrthakas.
  4. ^ The Pali Canon is the only source for Ajita Kesakambalī and Pakudha Kaccāyana.
  5. ^ "Mahavira, it is said, proceeded to a place in the neighbourhood where a big yagna was being organized by a brahman, Somilacharya, and preached his first sermon denouncing the sacrifice and converting eleven learned Brahmins assembled there who became his chief disciples called ganadharas."[12]

Referensi

sunting
  1. ^ Samuel 2008, hlm. 8.
  2. ^ Svarghese, Alexander P. 2008. India: History, Religion, Vision And Contribution To The World. p. 259-60.
  3. ^ a b Flood, Gavin. Olivelle, Patrick. 2003. The Blackwell Companion to Hinduism. Malden: Blackwell. pg. 273-4.
  4. ^ a b James G. Lochtefeld (2002). The Illustrated Encyclopedia of Hinduism: N-Z, Volume 2 of The Illustrated Encyclopedia of Hinduism. The Rosen Publishing Group. hlm. 639. ISBN 0-8239-2287-1, 9780823922871 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-19. Diakses tanggal 2014-03-16. 
  6. ^ Mu Soeng (2000). Diamond Sutra: transforming the way we perceive the world. Wisdom Publications. hlm. 8. ISBN 0-86171-160-2, 9780861711604 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-18. Diakses tanggal 2014-03-16. 
  7. ^ Pranabananda Jash (1991). History of the Parivrājaka, Issue 24 of Heritage of ancient India. Ramanand Vidya Bhawan. hlm. 1.  line feed character di |title= pada posisi 29 (bantuan)
  8. ^ Gethin (1998), p. 11
  9. ^ Walshe (1995), p. 268
  10. ^ Bhaskar (1972), n. 49
  11. ^ Gethin (1998), pp. 10–11, 13
  12. ^ a b Padmanabh S Jaini, Collected papers on Buddhist studies. Motilal Banarsidass 2001, P.64