Soeria Atmadja

Bupati Sumedang ke-29

Pangeran Adipati Aria Soeria Atmadja (11 Januari 1851 – 1 Juni 1921), adalah Bupati Sumedang ke-29 yang menjabat dari tahun 1883–1919. Ia adalah Bupati Sumedang terakhir yang mendapatkan gelar pangeran.[1] Lahir dengan nama asli Sadeli, Soeria menghabiskan masa kecilnya dengan belajar budi pekerti dan agama. Pada masa remajanya, ia mengambil magang dan belajar bahasa. Seusai magang, ia memulai kariernya sebagai kaliwon. Kemudian ia menjabat sebagai Wedana Ciawi. Setelah itu, ia menjabat sebagai Patih Sukapura.

Pangeran Adipati Aria
Soeria Atmadja
Bupati Sumedang ke-29
Masa jabatan
30 Desember 1882 – 5 Mei 1919
Gubernur JenderalFrederik s'Jacob
Otto van Rees
Cornelis Pijnacker Hordijk
Carel Herman Aart van der Wijck
Willem Rooseboom
Johannes Benedictus van Heutsz
Alexander Willem Frederik Idenburg
Johan Paul van Limburg Stirum
Sebelum
Pengganti
Aria Koesoemahdilaga
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Sadeli

(1851-01-11)11 Januari 1851
Sumedang, Hindia Belanda
Meninggal1 Juni 1921(1921-06-01) (umur 70)
Mekkah, Kerajaan Hijaz
Orang tua
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Pada 30 Desember 1882, Soeria diangkat sebagai Bupati Sumedang menggantikan ayahnya yang meninggal dunia dan dilantik pada tanggal 31 Januari 1883. Selama menjadi Bupati Sumedang, ia dikenal sebagai orang yang suka melakukan blusukan. Dalam masa kepemimpinannya, Sumedang mengalami kemajuan dibidang pertanian, peternakan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur dan kesenian. Karena prestasinya, ia mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda dan juga menjadi koordinator bupati di wilayah Priangan.

Soeria memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Bupati Sumedang pada tahun 1919 karena ingin pensiun. Seusai mengundurkan diri, ia menghabiskan waktunya di Sindang Taman. Pada tahun 1921, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ia meninggal dunia setibanya di Makkah dan dimakamkan di Jannatul Mu'alla. Karena prestasinya selama menjabat sebagai bupati, Pemerintah Hindia Belanda membuat lingga untuk mengenang ia.

Kehidupan awal dan keluarga

sunting
 
Keluarga Soeria Atmadja

Ia dilahirkan di Sumedang, 11 Januari 1851 dengan nama Raden Sadeli dan merupakan anak keempat dari pasangan Pangeran Aria Soeria Koesoemah Adinata, yang merupakan Bupati Sumedang, dan Raden Ajoe Ratnaningrat.[1][2] Ketika masih anak-anak, ayahnya mengajarkan ia tentang budi pekerti. Setelah berusia delapan tahun, Soeria belajar agama Islam kepada seorang ulama bernama K.H. Asyrofudin.[3] Kemudian, pada usia 14 tahun, ia melakukan magang sehingga fasih berbahasa asing yaitu Inggris, Prancis dan Belanda.[3] Selain itu, ia juga dikenal memiliki kepribadian pemalu terhadap perempuan.[4] Soeria menikah dengan Raden Ajoe Radja Ningroem yang juga merupakan cucu dari Raden Adipati Aria Adiwidjadja. Ia memiliki satu anak perempuan yaitu Raden Ajoe Djogdjainten Djoebaedah.[2][5]

Karier awal

sunting

Seusai menyelesaikan magang, Sadeli mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai kaliwon[a] pada tahun 1869. Dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai wedana di Ciawi pada tanggal 7 Februari 1871 dan menjabat selama empat tahun.[3] Saat menjadi Wedana Ciawi, Sadeli mengubah namanya menjadi Soeria Atmadja yang memiliki makna "keturunan Soeria yang agung". Pergantian nama ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan kesiapannya untuk mengemban tugas sebagai birokrat pemerintah dan membawa legitimasi bahwa ia adalah keturunan bupati-bupati Sumedang sebelumnya yang agung dan berwibawa.[7]

Pada tanggal 29 November 1875, Soeria menjabat sebagai patih Kabupaten Sukapura. Selama menjabat sebagai patih di Sukapura, ia mewakafkan tanahnya di Tasikmalaya untuk pembangunan Masjid Agung Tasikmalaya dan Pesantren Cigalontang. Ia mendapatkan gelar rangga[b] pada tanggal 13 Maret 1879 karena kepeduliannya kepada pengembangan agama Islam dan prestasi-prestasi yang menonjol selama menjabat sebagai Patih Sukapura.[3][8]

Bupati Sumedang

sunting
 
Soeria bersama dengan keluarga dan pelayannya di rumah pribadinya

Sepeninggal Soeria Koesoemah Adinata, ada dua kandidat untuk jabatan Bupati Sumedang yaitu Raden Demang Somanagara dan Soeria. Dari kedua kandidat itu, Soeria dipilih sebagai Bupati Sumedang karena memenuhi syarat Pemerintah Hindia Belanda. Ia diangkat pada tanggal 30 Desember 1882 dan resmi dilantik menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 31 Januari 1883. Dengan menjadi bupati, ia mendapatkan gelar tumenggung.[9]

Soeria menjabat sebagai bupati Sumedang sampai dengan tanggal 5 Mei 1919 ketika ia memutuskan mengundurkan diri karena sudah tua. Jabatan bupati digantikan oleh adiknya, Aria Koesomahdilaga.[10][11] Selama menjadi bupati, Soeria Atmadja dikenal dengan kegiatan blusukan yang dilakukan olehnya ke daerah pelosok untuk mengetahui keadaan masyarakatnya. Kegiatan ini terinspirasi oleh patroli yang biasa dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Muhammad. [9]

Pada tanggal 31 Agustus 1898, Soeria mendapatkan promosi gelar dari tumenggung menjadi adipati. Selanjutnya, ia mendapatkan penghargaan songsong kuning (payung kuning)[c] pada tanggal 26 Agustus 1905 karena prestasinya yang membawa kemakmuran kepada rakyat Sumedang. Dengan memperoleh penghargaan songsong kuning, Soeria mendapatkan gelar jabatan tambahan yaitu aria pada 29 Agustus 1905. Pada tanggal 26 Agustus 1910, Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Soeria sebagai koordinator bupati-bupati di wilayah Parahyangan sehingga gelar kebangsawanannya dinaikkan dari raden ke pangeran. Seiiring dengan kenaikan gelarnya, Soeria kembali mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda berupa songsong emas (payung emas)[7]

Pembangunan

sunting

Pada tahun 1898, Soeria mendirikan Bank Priyayi di Sumedang untuk membantu masyarakat Sumedang yang terdampak dari praktik rentenir. Bank ini menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia.[8] Modal bank diperoleh dari pengumpulan sekian persen dari gaji pamong praja di Sumedang. Tiga tahun kemudian, Bank Priyayi berubah namanya menjadi Afdeeling Bank (Bank Daerah). Dalam operasionalnya, Bank Daerah memberikan kredit kepada anggotanya supaya tidak terkena jeratan rentenir. Pada tahun 1915, ia mendirikan bank desa untuk membantu petani kecil.[13]

Pada tahun 1908, ia membangun Jalan Cadas Pangeran bagian bawah yang menghubungkan Bandung dan Sumedang dan kantor telepon untuk mempermudah komunikasi.[8] Selain itu, ia juga membangun rumah asisten wedana di setiap Kawedanan dengan dana pribadinya.[14] Karena pada awal abad ke-20, masyarakat Sumedang memiliki ketertarikan terhadap olah raga balap kuda. Ia mengimpor kuda yang berasal dari Sumba ke Sumedang untuk keperluan transportasi dan kuda balap yang diikuti oleh Menak sehingga mendorongnya untuk membangun lapangan balap kuda.[15] Pada awal abad ke-20, Sumedang sering mengadakan acara balapan kuda.[15]

Untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban, pos-pos keamanan mulai dari tingkat desa hingga kawedanan dibangun. Setiap pos-pos keamanan wajib dilengkapi bambu yang berisikan air, pasir-pasir dan perlengkapan lainnya sebagai langkah antisipasi terjadinya kebakaran. Setiap minggunya, penjaga pos keamanan wajib melaporkan kegiatan-kegiatan pos keamanan pada rapat mingguan yang diawasi oleh Soeria.[16]Ada sekitar 138 pos yang dibangung pada tingkat desa.[11]

Pemerintahan

sunting

Pada masa kepemimpinannya, sekolah-sekolah mulai berdiri di Sumedang dan pada tahun 1907, sekolah desa dengan lama belajar tiga tahun mulai tersedia. Tujuh tahun berselang, sekolah lanjutan mulai ada di Sumedang untuk murid sekolah desa yang berprestasi dengan masa belajar yang sama. Pada tahun 1915, Hollandsch-Inlandsche School pertama di Sumedang didirikan dan berdiri di setiap kabupaten yang ada di Sumedang yang berjumlah hingga 20 sekolah.[17] Selain itu, ia suka memberikan hadiah kepada siswa yang berprestasi dan penghargaan kepada guru untuk menunjang kesejahteraan mereka.[18]

Untuk menghindari penyebaran wabah Pes yang pada masa itu terjadi di Indonesia, ia melakukan pemberantasan hama tikus. Kemudian, ia turut serta mengikuti rapat minggon (rapat mingguan) di tingkat kecamatan untuk menyamakan data yang ia miliki seperti data kelahiran, kematian dan penyakit menular.[11] Ia juga melakukan imunisasi cacar di desa-desa bagi anak-anak dan bayi yang dilakukan oleh Dokter Jawa, yaitu dokter yang lulus pendidikan kedokteran pada masa penjajahan Hindia Belanda.[19]Selain itu juga, ia mendirikan tempat pengobatan rakyat di Cipanas Conggeang.[14]

Pertanian dan lingkungan

sunting

Karena bentuk geografi Sumedang yang berbukit-bukit, longsor menjadi ancaman terhadap warga Sumedang.[20] Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Soeria mengadakan reboisasi di lahan-lahan gundul. serta membuat kebijakan atas hutan larangan/tertutup agar hutan tersebut dijaga kelestariannya.[16] Selain itu juga, Soeria meminta kepada rakyat Sumedang yang tinggal di pinggir jalan untuk menanam tanaman yang kayunya bisa digunakan untuk pembangunan jembatan dan bangunan yang akarnya juga diharapkan mampu menahan air agar terhindar dari erosi.[5] Kondisi Sumedang yang penuh dengan lereng gunung dan bukitnya curam membuatnya daerah ini kurang cocok untuk pertanian. Untuk mengatasi masalah tersebut, Soeria menginisiasikan pembangunan persawahan terasering di areal perbukitan. Persawahan terasering dibangun di seluruh Sumedang dan inisiasi tersebut meningkatkan hasil pertanian di Sumedang.[9] Metode terasering ini juga diharapkan dapat mengurangi erosi. Selain upaya konservasi tumbuhan, ia juga menghimbau masyarakat untuk melindungi luwak meningkatkan produksi tanaman aren.[5]Soeria juga membuat regulasi terkait ukuran lubang jala agar tidak digunakan untuk menangkap ikan-ikan berukuran kecil, melarang penggunaan racun serta mengatur waktu dan tempat untuk menangkap ikan sehingga dapat menjaga keberlangsungan produksi ikan air tawar..[8]

Selain itu juga, ia membagikan buku Mitra Nu Tani kepada kepala desa dan mentransformasi daerah yang sebelumnya penuh dengan alang-alang menjadi kebun kentang dan sayuran.[14] Soeria juga mengimpor bibit tanaman dari Indramayu dan bibit kelapa dari Jawa Tengah dan Bali guna meningkatkan hasil pertanian.Ia pun juga melakukan pembangunan irigasi, khususnya di daerah Ujungjaya[21] dan lumbung padi.[16]Untuk mencegah kegagalan panen, program pemberantasan hama tikus dilakukan.[11] Tidak hanya itu saja, ia juga memberikan tanah untuk berkebun dan sawah kepada rakyat Indramayu yang berimigrasi ke Sumedang karena paceklik.[14] Pada tahun 1886, Soeria melobi kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membebaskan beberapa desa miskin dari kewajiban menanam kopi dan permintaan tersebut dikabulkan.[21]

Untuk menunjang perkembangan pertanian, Soeria mendirikan sekolah tani bernama Landbouwschool Bojongseungit pada tahun 1913 di atas tanah seluas 4,3 ha yang diwakafkannya. Seusai sekolah tani ini diresmikan, Soeria mendonasikan uangnya sejumlah ƒ3000 sebagai modal awal sekolah. Ia juga menyuruh siswa sekolah pertanian untuk menanam tanaman yang hasilnya dibeli olehnya. Setelah dibeli, ia membagikan bibit tanaman tersebut kepada masyarakat.[8][22] Sekolah tani ini sekarang bernama Universitas Winaya Mukti Sumedang.[16]

Karena pupuk dari kotoran sapi dinilai cukup baik digunakan sebagai pupuk, ia mendatangkan sapi dari Madura dan Benggala ke Sumedang. Karena usaha ini, peternakan di Sumedang mengalami perkembangan terpesat kedua di daerah Priangan setelah Kabupaten Bandung sehingga para petani lebih memilih sapi dibandingkan kerbau sebagai hewan kerja mereka.[13] Selain itu, ia juga mengimpor sapi ongole dari Sumba untuk meningkatkan sektor peternakan.[23] Sapi ongole dibagikan kepada warga desa yang terpilih dan digunakan tidak hanya sebagai hewan ternak saja, tetapi juga untuk membajak sawah. Karena kebijakan impor ini, jumlah hewan ternak di Sumedang meningkat dari 1000 hewan pada 1883 menjadi 5400 pada 1918.[24]Ia menjadi salah satu pendiri organisasi yang bernama Asosiasi untuk Pengembangan Peternakan di Hindia Belanda pada tanggal 28 Mei 1906.[25]Pemerintah Hindia Belanda juga menunjuk Soeria dan Raden Mas Tumenggung Ario Koesoemodipoetro, Bupati Panarukan, sebagai anggota komite investigasi penyebab turunnya kesejahteraan di Pulau Jawa dan Madura pada bulan November 1902.[26]

Aktivitas lain

sunting

Soeria menaruh perhatian kepada tari tayub, gamelan degung dan seni suara. Sebagai bentuk ketertarikannya kepada seni musik, Soeria menulis lagu berjudul Lagu Sonteng. Lagu ini tidak boleh dimainkan oleh sembarang orang dan apabila ada seseorang yang berani memainkannya, ia dipercaya akan kesurupan. Selama masa kepemimpinnanya, setiap hari minggu pukul 8 pagi, gamelan degung buhun dimainkan.[17][27] Soeria juga berkontribusi terhadap perkembangan tahu sumedang. Pada sebuah kunjungan kerja ke Tegalkalong, ia mencium aroma bau sedap dari sebuah toko kecil milik Ong Boen Keng. Ia langsung menghampiri toko tersebut dan menemukan aroma sedap itu berasal dari tahu yang sedang digoreng oleh Ong. Soeria mencicipi tahu tersebut dan mengatakan tahunya akan laku keras karena enak. Sejak kunjungannya, tahu Sumedang yang dikenal dengan nama "Tahu Bungkeng" mengalami peningkatan penjualan dan menjadi semakin populer.[28]

Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang. Selama pengasingannya di Sumedang, Soeria memercayai Ahmad Sanusi untuk merawat Cut Nyak Dien ia tinggal bersama Sanusi selama satu tahun. Disamping itu juga, ia juga menanggung segala keperluan Cut Nyak Dien karena menolak pemberian dari pemerintah.[29]

Pensiun dan kematian

sunting
 
Pangeran Soeria Atmadja di dalam kereta untuk naik haji

Setelah tidak lagi menjadi bupati, Soeria memilih untuk menghabiskan masa pensiunnya di Sindang Taman dan mendapatkan uang pensiun tahunan sebesar ƒ5400 dari pemerintah.[5][30] Pada bulan Maret 1920, koran De Preangerbode melaporkan bahwa Soeria mendirikan koperasi beras yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Sumedang.[31] Selain itu juga, ia mengirimkan surat kepada Johan Paul van Limburg Stirum yang mengungkapkan kekesalannya terhadap pergerakan Sarekat Islam yang menurutnya berkelakuan melewati batas dan menggunakan nama Islam untuk menipu orang lain. Ia juga mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang memperbolehkan H.O.S Tjokroaminoto menjadi anggota Volksraad.[32] Pada tahun 1921, Soeria merilis sebuah buku yang berjudul Ditiung Memeh Hujan.[33] Di dalam bukunya, ia menyarankan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan pelatihan senjata kepada rakyat agar mereka bisa dilibatkan dalam usaha mempertahankan negara dari serangan luar.[34]

Pada bulan Februari 1921, ia bersama dengan istri dikabarkan akan menunaikan ibadah haji. Ia berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 7 April.[32] Ia tiba di Jeddah dengan kondisi kesehatan yang memburuk dan tinggal di Konsul Belanda selama tiga hari. Setelah itu, ia pergi menuju ke Makkah dengan mobil. Ia tiba Makkah pada malam hari dengan kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Ia meninggal dunia pada tanggal 1 Juni.[35] Kabar kematian Soeria baru diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 7 Juni 1921. Kemudian pemerintah menyampaikan informasi kematian Soeria kepada keluarganya.[32] Jasadnya dimakamkan di Ma’la. Meninggalnya Soeria di Makkah membuatnya mendapatkan julukan Pangeran Makkah.[36]

Penghargaan

sunting
 
Peresmian monumen untuk mengenang Pangeran Soeria Atmadja oleh Dirk Fock

Soeria mendapatkan beberapa penghargaan selama masa pemerintahannya sebagai bupati, seperti De Groote Goulden Star diberikan pada 21 Agustus 1891, Orde van Oranje Nassau (perwira) pada 27 Agustus 1903 dan Orde van den Nederlandschen Leeuw (kesatria) pada 17 September 1918.[7] Masyarakat Sumedang juga menjuluki Soeria sebagai pangeran sempurna.[37]

Untuk mengenang jasa Soeria, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah monumen berbentuk lingga di tengah kota Sumedang. Monumen tersebut diresmikan pada tanggal 25 April 1922 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock.[36] Pemerintah kota Bandung juga mengubah nama yang terletak di bagian selatan kota yaitu Jalan Grooten Tegallegaweg menjadi Jalan Pangeran Sumedangweg pada tanggal 23 Agustus 1922. Perubahan nama jalan tersebut mengundang reaksi protes dari Partai ISDV dan Sarekat Islam. Mereka menganggap perubahan nama jalan ini sebagai bentuk penghinaan mengingat Bandung Selatan adalah kawasan pendukung SI dan Soeria menentang gerakan tersebut. Meskipun begitu, nama Pangeran Sumedangweg tetap dipertahankan hingga tahun 1950 ketika pemerintah kota memutuskan untuk mengubah nama Jalan Pangeran Sumedangweg menjadi Jalan Telaga.[32] Pada tahun 2024, diadakan haul untuk mengenang seratus tahun lima kematian Pangeran Soeria Atmadja.[38]

Karya tulis

sunting
  • Ditiung Méméh Hujan (Sedia Payung Sebelum Hujan). 1921

Catatan

sunting
  1. ^ Kaliwon adalah pemimpin daerah pedesaan yang jabatannya dibawah bupati.[6]
  2. ^ Rangga adalah gelar bagi seorang birokrat yang memiliki jabatan di bawah bupati.[7]
  3. ^ Songsong kuning atau juga dikenal sebagai payung kuning adalah sebuah payung agung yang diberikan kepada Pemerintah Hindia Belanda sebagai simbol penghargaan kepada bupati-bupati yang berprestasi[12]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 88.
  2. ^ a b Luong, Thi Minh Ngoc (2012). The local elite in transformation during the period of ethical policy ca. 1900-1942 (Master). Leiden University. hlm. 20.
  3. ^ a b c d Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 89.
  4. ^ Lubis 2008, hlm. 309.
  5. ^ a b c d Nugraha 2018, hlm. 113.
  6. ^ Putri, Vanya Karunia Mulia; Nailufar, Nibras Nada. "Skema Struktur Birokrasi Pemerintahan Kerajaan Mataram". kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 3 Februari 2025.
  7. ^ a b c d Nugraha 2018, hlm. 112.
  8. ^ a b c d e Nugraha 2018, hlm. 114.
  9. ^ a b c Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 90.
  10. ^ "De Pangeran van Soemedang overleden". De Preangerbode. 10 Juni 1921. Diakses tanggal 3 Februari 2025.
  11. ^ a b c d Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 94.
  12. ^ Pemerintah Kabupaten Sumedang, Pemerintah Kabupaten Sumedang. "Songsong Kuning Atau Payung Jene". virtualtour.sumedangkab.go.id. Pemerintah Kabupaten Sumedang. Diakses tanggal 19 Maret 2025.
  13. ^ a b Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 92.
  14. ^ a b c d Lubis 1998, hlm. 363.
  15. ^ a b Lubis 2008, hlm. 48.
  16. ^ a b c d Lasmiyati 2014, hlm. 228.
  17. ^ a b Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 93.
  18. ^ Lubis 2008, hlm. 23-24.
  19. ^ Lubis 1998, hlm. 133.
  20. ^ Lubis 2008, hlm. 80.
  21. ^ a b Handayani, Wiyanarti & Yulifar 2019, hlm. 91.
  22. ^ Lubis 2008, hlm. 25.
  23. ^ "De Indië Weerbaar-week ie Soemedang". Het Vaderland. 15 November 1918. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  24. ^ "De Indië Weerbaarweek in Soemedang II". De Locomotief. 17 Juli 1918. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  25. ^ "Vereeniging tot bevordering van veeteelt". De Locomotief. 28 May 1906. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  26. ^ "OFFICIEELE BRICHTEN.Benoemd". De Preanger-bode. 4 November 1902. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  27. ^ Lubis 2008, hlm. 42.
  28. ^ Surya, Helmi. "Pangeran Mekkah dan Tahu Sumedang". sumedang.pikiran-rakyat.com. Pikiran Rakyat. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  29. ^ Azis, Nur (15 Agustus 2021). "Menelisik Silsilah Juru Kunci Makam Cut Nyak Dien di Sumedang". news.detik.com. Detik. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  30. ^ "Een dubbele plechtigheid". De Locomotief. 7 Mei 1919. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  31. ^ "Immer nog werkzaam". De Preanger-bode. 5 March 1920. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  32. ^ a b c d Al-Zahra, Naufal (22 Agustus 2023). "Ketika Priyayi Sumedang Menentang Sarekat Islam". Jejak Islam. Jejak Islam. Diakses tanggal 18 April 2025.
  33. ^ Inimah Sumedang, Inimah Sumedang. "Bupati Sumedang: Sekilas Tentang Pangeran Aria Soeria Atmadja". inimahsumedang.com/. Inimah Sumedang. Diakses tanggal 15 Mei 2023.
  34. ^ Lubis 1998, hlm. 292.
  35. ^ Koloniale Monumenten, Koloniale Monumenten. "Soeria Atmadja, Sumedang, 1922". kolonialemonumenten.nl. Koloniale Monumenten. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  36. ^ a b Lasmiyati 2014, hlm. 236.
  37. ^ "De Regents-zetels in de Preanger". Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië. 21 October 1919. Diakses tanggal 1 Februari 2025.
  38. ^ "Sonia Sugian Sambangi Karaton Sumedang Larang dalam acara Haul Pangeran Mekah ke-105". Koran SINAR PAGI. 2024-06-01. Diakses tanggal 2025-04-30.

Bibliografi

sunting

Jurnal

sunting