Situs Gunung Selendang


Situs Gunung Selendang adalah situs penguburan kubur tempayan (tajau) yang terdiri atas tulang belulang manusia, seperti bagian tungkai, fragmen pinggul, rahang, gigi, tengkorak, dan tulang berukuran lain yang sulit untuk dikenali. Situs ini ditemukan secara tidak sengaja pada bulan Mei tahun 2009, yaitu pada saat dilakukan pengerukan Bukit Selendang untuk mengurangi longsoran tanah ke jalan aspal dan guna membuka lahan pemukiman.[1]

Gunung Selendang berada di Bukit Selendang, Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Situs ini berada di pinggir jalan raya Sanga-Sanga, Samarinda dengan kontur tanah yang tidak rata. Terdapat 53 kubur tempayan terbuat dari bahan stoneware.[1]

Sejarah awal

sunting

Penguburan tajau sekitar abad 17-18 Masehi. Usia penguburan tajau sudah mencapai usia 300 tahun. Masa 300 tahun lalu memang merupakan masa Kerajaan Kutai Kartanegara yang bertempat di Tenggarong, di tepi Sungai Mahakam. Pada masa itu, Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan satu kerajaan besar berdaulat yang ada di bumi Kalimantan Timur.

Adat dan tradisi Suku Dayak saat itu melakukan penguburan dengan menggunakan wadah tajau yang besar yang mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat Kutai Kartanegara di pinggiran. saat itu belum memeluk agama Islam. Tradisi budaya ini suda ada sejak nenek moyang mereka sebelum memeluk agama Islam, yaitu tradisi penguburan dengan menggunakan tajau sebagai wadah kuburnya.

Menurut Adham (1981), yang menyatukan beberapa naskah cerita tutur yang berisi kisah asal usul raja-raja Kutai menyebutkan; ada salah satu peristiwa mengenai penanganan jenazah sejumlah tokoh sejarah yang melibatkan benda produksi dari Cina, yaitu tajau. Saat itu Paduka Nira meninggal dan jenazahnya dimasukkan ke dalam tajau. Raja-raja berikutnya diceritakan bahwa pada saat meninggal selalu jenazahnya dimasukkan ke tajau dan ditaruh di candi. Hal tersebut terus berlangsung sampai dengan kedatangan mubaligh dari Sulawesi Selatan yang asalnya dari Sumatera Barat yaitu Datuk Tunggang Parangan dan Datuk Ri Bandang. Penguburan menggunakan tajau masih ada hingga abad ke-16. Tidak menutup kemungkinan bahwa meskipun raja sudah memeluk agama Islam, masih tada anggota yang tetap hidup dengan memeluk kepercayaan lama.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda Wilayah Kerja Kalimantan (2015). Profil Cagar Budaya Kalimantan. Samarinda: BPCB Samarinda. hlm. 1.