Sin Chae-ho adalah seorang sejarawan dan pejuang kemerdekaan Korea.

Patung Sin Chae-ho di Seoul.

Sin Chae-ho lahir di Daedeok, Chungcheong pada tanggal 7 November 1880. Keluarganya merupakan petani yang hidup sederhana. Ayah Sin meninggal saat ia masih berusia 7 tahun dan keluarga itu dihadapkan pada kesulitan-kesulitan keuangan. Ia mendapat pendidikan dari sang kakek yang mengajarkannya ajaran-ajaran klasik sampai ia berusia 18 tahun. Sejak kecil Sin menyukai tulis-menulis. Orang tuanya mengusahakan sebaik mungkin pendidikan yang layak baginya. Pada usia 18 tahun masuk Akademi Seonggyungwan. Namun, karena khawatir akan masa depan negaranya yang semakin lama akan jatuh ke tangan Jepang, Sin bergabung dengan Asosiasi Kemerdekaan untuk memperjuangkan dan mempertahankan nasionalisme Korea. Tahun 1905, ia lulus dari Seonggyungwan. Ia lalu menjadi penulis editorial Surat Kabar Hwangseong. Dari posisi ini ia dapat menyebarkan berita dan semangat nasionalisme kepada bangsanya.

Ia menulis dan menerbitkan berbagai tulisan tentang sejarah Korea dan tokoh-tokoh pemimpin yang terkenal pada masa lalu seperti Biografi Laksamana Yi Sun-sin, Biografi Jenderal Ulji Mundeok, Joseon Sanggosa ("Sejarah Korea Kuno" dan sebagainya. Tujuannya menulis tentang sejarah ialah agar rakyat Korea dapat mengenal kekuatan bangsanya di masa lalu. Banyak orang yang kemudian merasa terinspirasi akan tokoh-tokoh sejarah tersebut. Ketika Jepang menganeksasi Korea pada tahun 1910, Sin mulai dicari-cari oleh kolonialis Jepang, membuatnya harus lari ke Tiongkok untuk bersembunyi.

Di Shanghai, ia melanjutkan penelitiannya tentang sejarah dan perjuangan kemerdekaan Korea. Setelah terjadinya Peristiwa Satu Maret 1919, ia bergabung dengan tokoh perjuangan lainnya di Tiongkok dan bekerja selama 2 tahun, memberi saran dan dukungan bagi terbentuknya surat kabar perjuangan Korea di Tiongkok, Surat Kabar Kemerdekaan. Karena berbeda paham dengan beberapa tokoh, ia memutuskan untuk pergi ke Beijing dan menyusun Sejarah Korea Kuno. Ia mendapat penghasilan dari menulis artikel untuk surat kabar lokal. Ia bertemu dengan sejarawan dan sarjana lain dari Korea. Pada tahun 1922, ia mulai serius menekuni ajaran Buddhisme dan memutuskan untuk menjadi biksu. Pada tahun 1923, ia menulis "Deklarasi Revolusioner Korea" yang berisi pesan bahwa rakyat Korea harus bangkit memperjuangkan kemerdekaan dan memboikot Jepang. Ia ditangkap pada tahun 1928 dan dihukum 10 tahun penjara. Ia meninggal pada tahun 1936 di Tiongkok.