Sima atau lahan perdikan berarti sebidang lahan produktif (sawah, kebun, atau bahkan desa) yang memiliki status bebas pajak yang dihadiahkan oleh penguasa setempat kepada warga wilayah itu. Praktik pemberian status sima biasa dilakukan penguasa di Jawa sejak masa Kerajaan Medang (Mataram Hindu) sampai dengan masa kekuasaan raja-raja pecahan Kesultanan Mataram. Istilah "sima" berasal dari bahasa Jawa Kuno, sīma, sebagai pinjaman dari kata Sansekerta, sīman, yang artinya "perbatasan", "batas" (cf. Old-Javanese - English Dictionary). Kata "perdikan" digunakan pada periode Klasik Islam, berasal dari kata marḍika (atau mardhika menurut Ejaan Latin bahasa Jawa) yang berarti "bebas", sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno dengan arti sama, yang akhirnya juga merupakan pinjaman dari bahasa Sanskerta, maharddhika (महर्द्धिक), yang artinya "sangat berkuasa", "sangat sejahtera" (cf. entri pada Wiktionary).

Status tanah di Jawa pada masa kerajaan adalah milik kerajaan, dan warga yang menghuni dan bekerja diwajibkan membayar pajak secara rutin untuk diberikan kepada kerajaan. Atas jasa atau tugas tertentu, suatu daerah mendapatkan perkecualian. Status sima merupakan bentuk perkecualian tersebut. Berdasarkan banyak prasasti dan dokumen legal kerajaan, biasanya sima diperuntukkan bagi pendirian dan pemeliharaan bangunan suci yang berdiri di bidang lahan sima[1]. Para petugas pemungut pajak (mangilala drawya haji) tidak boleh melakukan tugasnya di wilayah tersebut, bahkan ada ancaman hukuman. Pembebasan kewajiban pembayaran pajak kepada warganya ini tidak tanpa kompensasi. Biasanya pembebasan pajak akan disertai dengan pembagian hasil bumi yang dihasilkan oleh sima tersebut. Pembagian hasil ini salah satunya adalah sepertiga untuk kerajaan, sepertiga untuk pemeliharaan bangunan suci, dan sepertiga untuk warga setempat.

Penetapan tanah menjadi sima merupakan peristiwa yang penting di dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno, sehingga prasasti dituliskan dan diadakan upacara disertai pemberian hadiah (pasêkpasêk) kepada orang-orang penting yang hadir di upacara tersebut dan juga hiburan serta hidangan besar. Status sima berarti bahwa semula penduduk terkait sima bertanggung jawab kepada raja menjadi bertanggung jawab kepada kepala sima (biasanya bergelar bhatara).

Perubahan status tersebut terjadi atas perintah seorang raja ataupun pejabat tinggi, yaitu seorang rakai atau seorang pamgat (Jones, 1984). Oleh karena itu, untuk penetapan keputusannya dilaksanakan dengan upacara ritual yang disebut dengan manusuk sima.[2] Agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pengubahan di kemudian hari, dibuat piagam keputusan berupa prasasti. Dengan diterbitkannya surat keputusan tersebut diharapkan bahwa dikemudian hari tidak ada orang yang melanggarnya. Pada prinsipnya status sima berlaku untuk selama-lamanya.

Di setiap lokasi sima yang suci itu akan dijumpai sebuah penanda berupa prasasti, atau di beberapa tempat dijumpai tanda lokasi hanya berbentuk batu yang ditancapkan ke tanah. Di beberapa prasasti, seperti prasasti Tihang 836 S di era Mataram Kuno, penanda lokasi sima disebut sang hyang watu sima. Namun di prasasti lain dijumpai penyebutan lain, yakni susuk sima. Batu penanda itu, kemungkinan bentuknya menyerupai lingga dan ditempatkan di tengah-tengah tempat upacara.

Pemakaian susuk juga dilakukan untuk menandai batas tanah yang sudah ditetapkan menjadi sima. Di dalam prasasti dijumpai sebutan wungkal susuk sima. Fungsinya sama seperti batu patok, yang keberadaannya sangat penting. Batu itu ditanam di pinggiran sekitar lokasi sima. Dalam prasasti Paradah 865 Syaka (943 M) disebutkan:

“… i tlas sang wahuta hyang kudur umaratistha sang hyang wungkal susuk ing sahinga (iparadah i) tagi.”

artinya “setelah sang wahuta hyang kudur menancapkan batu sima di batas (sudut) tanah sima (di Pradah) dan di Tagi”.[1]

Di masa klasik Islam, Sunan Pakubuwono II pernah memberikan perdikan kepada lahan yang dipimpin oleh Kyai Ageng Muhammad Hasan Besari I ("Hasan Basri") di daerah Madiun karena jasa-jasa Sang Kyai dalam membantu pelarian Sunan Pakubuwono II ketika melarikan diri ke Ponorogo dari Kraton Kartasura akibat serbuan ke istana dalam Geger Pecinan (1742).[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Haryono, Timbul (1999). "Sang Hyang Watu Têas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna". Humaniora. 12: 14–21.  line feed character di |title= pada posisi 75 (bantuan)
  2. ^ Anonim (01 Januari 2016). "Upacara Adat Manusuk Sima Kediri". Warisan Budaya Takbenda Indonesia Kemdikbudristek RI. Diakses tanggal 23 Oktober 2022. 
  3. ^ Kumara, Raka (18 Juni 2022). "Desa Perdikan, Anugerah dari Raja untuk Rakyat". kumparan.com. Diakses tanggal 23 Oktober 2022.