Serikat Buruh Kereta Api

Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), sebelumnya dikenal sebagai Serikat Buruh Kereta Api Djawa-Madura (SBKA-DM), adalah serikat buruh kereta api yang pernah ada di Indonesia yang didirikan pada tanggal 13 Maret 1946. Terafiliasi dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), SBKA memiliki kecenderungan komunis yang kuat meskipun secara resmi menyangkal keterkaitan langsung. Mulai tahun 1949, SBKA terlibat dalam persaingan dengan Persatuan Buruh Kereta Api (PBKA), yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1949. Perseteruan ini berasal dari pandangan berbeda mereka tentang bagaimana mengelola sistem kereta api yang terbagi antara Indonesia dan Belanda. SBKA menganjurkan kendali Indonesia, sementara PBKA berpendapat untuk pengaruh Belanda. Persaingan ini berlanjut hingga tahun 1965, ketika SBKA dilarang, dan PBKA yang sebelumnya dinyatakan terlarang diaktifkan kembali oleh rezim Soeharto setelah upaya kudeta G30S yang gagal, membalikkan nasib SBKA dan PBKA.[1]

Sejarah sunting

Pada tanggal 12 Maret 1945, sebuah kongres pekerja kereta api menghasilkan berdirinya Serikat Buruh Kereta Api Djawa-Madura (SBKA-DM) melalui penggabungan beberapa asosiasi pekerja kereta api di seluruh Jawa dan Madura. Pendirian resmi SBKA kemudian terjadi pada tanggal 13 Maret 1946.[1]

Perselisihan antara serikat buruh kereta api SBKA dan PBKA awalnya bermula dari perbedaan pendapat mengenai pengelolaan sistem kereta api yang terbagi di Indonesia, antara kontrol Indonesia dan Belanda. SBKA mendorong agar Indonesia memiliki kendali penuh atas seluruh jaringan kereta api, sementara PBKA bersikeras agar manajemen Belanda tetap mengelola bagian sistem kereta api mereka. Perselisihan ini berlanjut hingga tahun 1965 dan berkembang menjadi persaingan ideologi pada dekade 1950-an.[1]

Dari tanggal 14 hingga 16 Oktober 1950, di Jakarta, upaya untuk menggabungkan SBKA dan PBKA tidak berhasil karena perbedaan pendapat mengenai syarat-syarat penggabungan. Syarat penggabungan SBKA disebut sebagai "Sjarat-sjarat SBKA," sementara PBKA memiliki pedoman yang dikenal sebagai "Pedoman PBKA." PBKA menilai syarat-syarat SBKA tidak dapat diterima, terutama salah satu kondisi yang mengharuskan PBKA bergabung dengan Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) jika mereka bergabung, sehingga juga menjadi anggota Federasi Serikat Buruh Seluruh Dunia (FSBSD) yang berbasis di Moskow, yang diwajibkan oleh SOBSI. PBKA ragu untuk bersekutu dengan kekuatan asing.[1]

Sebagai tanggapan, SBKA berargumen bahwa PBKA sudah bersekutu dengan kekuatan asing, Amerika Serikat, dengan mengklaim bahwa anggota PBKA-KBSI menghadiri pertemuan rahasia yang diselenggarakan oleh American Club di Hotel Des 'Indes Jakarta selama aksi mogok.[1]

Tidak dapat menerima syarat-syarat penggabungan, PBKA mundur dari upaya penggabungan, dengan alasan ketidaksetujuan di antara cabang-cabang PBKA.[1]

Kegagalan penggabungan memperburuk ketegangan antara PBKA dan SBKA, dengan masing-masing saling menuduh sabotase penggabungan dan menentang gagasan serikat buruh kereta api yang bersatu. SBKA mengklaim bahwa ketua PBKA sendiri, Koesna Puradiredja, telah merusak penggabungan, sementara PBKA berargumen bahwa SBKA yang bertanggung jawab atas kegagalan tersebut, dengan merujuk pada kurangnya nasionalisme SBKA, dukungan terhadap kekuatan asing (Uni Soviet), dan syarat yang diimpose oleh SBKA yang mengharuskan PBKA bergabung dengan SOBSI dan blok kekuatan asing tersebut.[1]

Saat standar hidup menurun dan politik Indonesia mengalami perubahan, desas-desus mulai beredar mengenai mogok kerja pekerja kereta api yang akan datang pada tanggal 4 Juni 1960. Desas-desus ini berasal dari surat KBSI kepada Presiden Soekarno yang membahas penurunan standar hidup dan perubahan struktur politik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua serikat buruh menyangkal rencana mogok, dengan PBKA bahkan menyatakan niat mereka untuk bertemu dengan Menteri Produksi dan Distribusi untuk mengatasi kekhawatiran, menunjukkan niat mereka untuk tidak mogok. Ketegangan meningkat ketika SBKA menuduh PBKA merencanakan mogok, dan PBKA menanggapi dengan menuduh SBKA menyebarkan kebohongan dan melakukan aktivitas yang melanggar hukum. Perselisihan ini berlanjut selama sebulan lebih sebelum akhirnya berakhir setelah DKA mengeluarkan penjelasan pada tanggal 25 Juli 1960.[1]

Pada awal tahun 1960-an, Presiden Soekarno melarang partai PSI dan Masyumi atas dugaan dukungan mereka terhadap Pemberontakan PRRI, yang mengakibatkan SBKA menjadi lebih dominan dibandingkan dengan PBKA, yang akhirnya menyebabkan ketegangan mereka semakin nyata. SBKA bahkan menuntut pembubaran PBKA pada tanggal 3 Desember 1964 dan menuduhnya sebagai kontra-revolusioner serta memiliki hubungan dengan partai PSI/Masyumi yang dilarang. Tuntutan dan klaim ini mengakibatkan PNKA membekukan aktivitas PBKA pada bulan April 1965. Meskipun SBKA menyambut keputusan ini, mereka meminta tindakan lebih lanjut untuk membubarkan PBKA. Hal ini terlihat melalui penyelenggaraan upacara ikrar oleh SBKA di Jakarta di Gedung SBKA Manggarai pada tanggal 3 September 1965, di mana anggota berjanji untuk melaksanakan semua tindakan melawan PBKA.[1]

Tuntutan ini terus meningkat, dan bahkan beberapa hari sebelum upaya kudeta G30S yang gagal, SBKA menuduh PBKA melanggar peraturan dinas dengan meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri kongres PBKA yang khusus, dengan harapan PNKA akan memecat dan mencabut hak mereka.

Setelah upaya kudeta G30S yang gagal, Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), di bawah pengaruh PKI, dilarang, yang kemudian mengakibatkan larangan terhadap afiliasi serikat buruh apa pun, termasuk SBKA. PBKA kemudian diaktifkan kembali dan diakui secara resmi sebagai serikat buruh kereta api oleh pemerintah, membalikkan peran dua serikat buruh tersebut dan akhirnya mengakhiri persaingan mereka yang telah berlangsung lama.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/16897 "KONFLIK IDEOLOGI BURUH KERETA API TAHUN 1949-1965'