Sejarah wayang topeng Malang

Babat Wayang Topeng Malang (1894-2016)

Wayang Topeng memang telah menjadi bagian kesenian di Malang[1] Raya, kesenian ini begitu adi luhung hingga mampu membawa nama Malang ke kancah Internasional. Banyak budayawan lokal dan mancanegara yang meneliti dan mengekplorasi kesenian Topeng Malang. Selain itu juga dari lingkungan pendidikan yang menjadikan Wayang topeng bagian edukasi dan pembelajaran, masuk dalam ekstrakulikuler, ataupun sebagai mata pelajaran prodi kesenian (muatan lokal). Nama Topeng Malang semakin dikenal dibanyak kalangan.

Ini semua tidak lepas dari peran seniman atau leluhur dahulu dalam menguri-uri dan meregenerasi topeng kepada generasi dibawahnya, meskipun minim regerenerasi nyatanya kesenian ini hingga kini masih bisa kita kenal dan lihat dan saksikan, semua ini berkat kesetian leluhur dahulu. Bila kita menengok kebelakang tentang riwayat kesenian ini, kita akan melihat peran pemerintahan dalam penyebaran dan pelestariannya. Di masa Hindu Budha, Keberadaan kesenian ini tertulis di Prasasti Himad dan Prasasti Dinoyo yang menerangkan sebuah pertunjukan topeng dengan tertulis “juru ning mangrakat (pimpinan pertunjukan raket, yakni sendra tari topeng) bernama Pataweh (Cahyono, 2003, lampiran III).

Bupati R.A.A Soeriohadiningrat (I894-1928), adalah bupati ke 4 Malang, dia adalah pimpinan pemerintahan Malang yang saat itu masih dalam kekuasaan kolonial .kanjeng Suryo panggilan dari Bupati Malang ini, beliau dikenal oleh masyarakat Malang adalah Bupati yang banyak berperan dalam membangun, Alun-Alun  dan Masjid Jamiq Malang[2].

Selain itu Kanjeng  Suryo juga dikenal sangat menyukai  dan mencintai kesenian Topeng Malangan.

Disaat kepemimpinan Raden Suryo, tercatat puluhan Grup Topeng Baru Berdiri dan tersebar di Malang Raya, lebih dari 28 grup topeng saat itu. Merebaknya seni wayang topeng ini atas kebijakannya yang mewajibkan seluruh bawahannya untuk bisa menarikan topeng. Lurah Jabung, Anik Sri Hartatik, SE, MM yang masih keturunan Kyai Reni menceritakan berdasar cerita buyutnya dahulu pegawai kabupaten disaat senam pagi yang dibawakan adalah gerak tarian Topeng, bukan yang seperti sekarang kita lihat tiap hari Jumat Pagi, yaitu Senam Kesehatan Jasmani (SKJ).

Kebijakan Bupati Suryo dalam kesenian ini seperti gayung bersambut, masyarakat Malang sangat mengapresiasi dan mendukung program berkesenian ini. Para priayi berlomba mendirikan grup topeng, maka tak heran bila dalam kepemimpinannya kesenian Topeng Malang menjadi Besar dan menyebar. Suatu pencapaian sangat luar biasa, masyarakat manunggal dengan pemerintah dalam mengembangkan wayang Topeng Malang.

Dalam sejarahnya, Penyebaran kesenian Topeng Malang dekade 1930-an tidak lepas dari peran besar seorang Abdi Dalam Kabupaten Malang yang Bernama Tjondro Suwono. Beliau adalah abdi kesayangan dari Bupati Suryo, Tjondro Suwono yang di kenal (Buyut Reni/karan anak), adalah pegawai Kabupaten yang juga merupakan seorang  petani yang kaya raya dari desa Polowijen.

Buyut Reni dikenal multi talenta,di samping sebagai juru sungging beliau juga dikenal sebagai Dalang, Guru Tari, Tukang Sunat, Tukang Panggur, dan banyak masyarakat yang mengatakan beliau juga sebagai tukang Ujub (doa). Dengan kepandaian inilah Buyut Reni bisa menjadi guru bagi banyak orang, tak terkecuali pada kesenian Topeng Malang.

Disebutkan dalam buku oleh Theodore Gautier Thomas Pigeaud dalam Javaanse Volksvertoningen (Pertunjukan Rakyat di Jawa) terbit 1938, bahwa karya Topeng sangat terkenal di Malang, saat itu topeng di bikin di kecamatan karangploso,(polowijen saat itu masuk wilayah karangploso). Ada seorang sejarawan Universitas Indonesia bernama Onghokham yang selama hampir 10 tahun mengamati topeng Malangan di Polowijen dan Jjabung, ia menulis kisah tentang Reni dan karya Fenomenalnya yaitu topeng Dewi Ragil Kuning. Onghokham membuat statman sejak wafatnya Reni hingga sesudahnya di mungkinkan  belum ada karya Topeng fenomenal di malang yang menyamai keindahan karya – karya  Reni.

Reni di kenal sebagi sungging yang rendah hati dan selalu dapat menyenangkan orang-orang dengan karyanya. Karya ukirnya terkenal bagus, Mbah Rasid, kelahiran tahun 1913 yang pernah bertemu Reni dan memesan ukiran kepada beliau,Mbah Rasid menyatakan bahwa hasil karya ukirnya lebih bagus dari gambar yang dibawa oleh pemesan itu sendiri oleh karena itu banyak kalangan pejabat yang memesan topeng pada Buyut Reni.

Itulah gambaran kepandaian Reni dalam berkarya membuat Topeng. Dari pejabat tinggi daerah hingga keraton Jogja dan Solo menyukai topeng-topeng karyanya, hingga kini puluhan topeng koleksi Kanjeng Suryo dihibahkan ke Java Institut yang sekarang menjadi Musium Sono Budoyo Jogja, dan ratusan Topeng Kyai Reni di Koleksi Mangkunegara VII ,ada di istana Mangkunegaran Solo, juga banyak topeng karyanya yang di simpan di museum  Negara lain.

Berdasar keterangan anak cucunya, Reni adalah keturunan dari Sungging. Dalam sejarah yang terkenal adalah Sungging Purbangkoro, seniman besar diera Majapahit. Sungging Purbangkoro mempunyai seorang anak bernama Sungging Adi Linuwih, dan Mbah Buyut Reni juga berjuluk Sungging Adi Linuwih, konon Buyut Reni berumur ratusan tahun, bahkan cerita turun temurun anak cucu Kyai Reni menceritakan bahwa umur Kyai Reni  350 tahun. Salah satu kelebihan beliau adalah “Mlungsungi” atau berganti kulit.  

Bila merujuk pada sungging, maka dalam budaya Islam di Indonesia Sungging sendiri adalah  seorang Waliyullah yang mempunyai kelebihan dalam seni terlebih pada seni ukir. Raden Sungging dalam sejarah adalah orang yang pertama menatah wayang kulit.

Buyut Reni dimasa-masa keemasan Topeng Malangan saat kepemimpinan Kanjeng Suryo,  dalam berkarya membuat membuat dan mengukir topeng Buyut Reni dibantu oleh seorang dalang yang juga terkenal pandai dalam menggambar yaitu Ki Sumo Gambar. Ki Sumo Gambar diceritakan, adalah orang yang sangat pandai  menggambar, hanya dengan melihat wajah seorang diwaktu sebentar saja dirinya sudah bisa melukisnya hingga ke detail-detailnya. Dengan kolaborasi inilah Topeng-Topeng Malangan di era itu sangat indah dan mampu memikat banyak orang, tidak sedikit orang menilai Topeng Buyut Reni Reni seakan hidup bila dikenakan saat gelar Topeng Malangan.

Selain dukungan masyarakat dan pemerintah kala itu, penyebaran seni topeng Malangan di era kanjeng Suryo, tidak lepas dari peran anak dan murid dari Kyai Reni. Untuk mengetahui peran keluarga dan murid Buyut Reni berikut saya tulis silsilah dari keluarga Tjondro Suwono atau Buyut Reni. Keterangan ini berdasarkan penuturan dari para sepuh dan masyarakat yang hidup diera itu, salah satunya adalah Mbah Salamun (Dumpul, Jabung), beliau mengatakan silsilah Buyut Reni sebagai berikut.

Buyut Reni adalah anak kedua dari Sunan Bonang, mempunyai dua keturunan yaitu Buyut Min dan Buyut Kas.  Dari pernikahan kedua anaknya yaitu Buyut Min dan Buyut Kas, Buyut Reni mempunyai banyak cucu. Buyut Min mempunyai lima anak yaitu Yai Jogo (Sumber Pulus), Yai Ali (Sumber Ngringin), Yai Ati (Lowok Mojo, Malang), Yai  Misri (Pandean, Malang) dan Mbah Pandam.

Sedang dari penuturan Alm Mbah Giran (Jabung) wawancara tahun 2012, Buyut Reni mempunyai dua Istri, dan yang diingat istri Keduanya yang bernama Sriwahyuni di Polowijen. Alm Mbah Giran menuturkan pernikahan itu melahirkan Kunto, Gondo, Sekar, Arum, Gunawan, Gunarso. Keterangan ini dikuatkan oleh para sesepuh di Polowijen yang mengetahui keberadaan keluarga Mbah Reni.

Dan dari istri pertama Buyut Reni mempunyai 9 anak yaitu, Beji/ Ruminten (Jabung),pak Amar(njeruk), Yai Nor, Yai Suco ,Mbah Seno (Senggreng), Goendari (Polowijen), Yai Soyi, Pak Sarlan dan Yai Surti. Inilah nazab silsilah keluarga Kyai Reni sang punden Topeng Malangan, dari penuturan Mbah Salamun dan Mbah Giran Jabung.

Bila ditelusuri riwayat penyebaran topeng malangan hingga kini banyak sekali grup topeng yang sudah hilang dan bubar, akan tetapi sebagian masih bisa terlacak dan dibawah inilah beberapa grup topeng yang penah Berjaya dan sebagian bertahan hingga kini.

Topeng Polowijen

Sepeninggal Buyut Reni, dipolowijen di teruskan oleh Alm. Mbah Patawi yang juga seorang dalang juga seniman ukir topeng dan boneka. Mbah Patawi sampai seumur hayatnya sangat mencintai kesenian ini, hingga keluarganya banyak mengeluhkan sang Alm karena tidak bisa menghasilkan selain dari karya Topeng, hingga banyak tanah miliknya yang berpindah tangan dijualnya untuk menghidupi ekonomi keluarga. Mbah Patawi tetap memegang teguh kesenian hingga ajal menjemput. Selain Alm Mbah Patawi, di Polowijen juga ada Alm Pak Tarmun, Alm PaK Sajung, Alm. Pak Sarto, dan kini masih ada Pak Sutris, yang tak lain adalah cucu dari Alm Mbah Patawi.

Topeng Tumpang

Kesenian Topeng Tumpang awal mula dikenalkan oleh Alm Mbah  Ruminten sekitaran tahun 1930-an, Mbah Ruminten ketika itu membuat topeng dari kayu (Dugel) yang didapat dari sungai saat banjir bandang sungai amprong yang berasal dari Tengger. Dari dugel itulah dibuatnya 4 topeng Topeng Gunung Sari, Topeng Panji, Topeng Potrojoyo, dan Topeng Kelono. Topeng-topeng ini dikenal sebagai topeng pertama yang ada di Pucangsongo, tumpang, dan diyakini sebagai cikal bakal topeng di karisidenan Tumpang. Kini keseniman Topeng di Tumpang dan sekitarnya yang masih aktip hanya tinggal dua desa, Tulus Besar dan Glagah Dowo. Di tulus besar bisa didapati di Padepokan Mangun Darmo yang  dipimpin oleh Ki Soleh Adi Pramono yang tak lain masih keturunan dari Mbah Ruminten, dan di desa Glagah Dowo diteruskan Sanggar Setyo Utomo pimpinan Cak Budi Utomo (cak Ut), yang juga merupakan murid dari Maestro Gunung Sari Glagah Dowo yaitu alm Mbah Rasimun.

Topeng Precet

Kesenian Topeng juga berkembang di desa Precet, kec. Jabung. Kesenian wayang Topeng didaerah ini pernah mengalami era keemasan ditahun 1940-1980 an, seiring perkembangan jaman kini kesenian Topeng Precet kian tenggelam hal ini karena tidak adanya regenerasi di desa Precet sendiri. Para Seniman dan pengrajin topeng yang pernah dikenal luas dan membawa keberlangsungan Topeng Precet hingga terkenal luar Malang antara lain Alm Mbah Sapuani, Pak sartas, Pak Jamal dan kini dipegang oleh Mbah Jayadi (86 thn).

Topeng Jabung

Sejarah kesenian topeng di Jabung tidak lepas dari peran anak Kyai Reni, dari Polowijen yang bernama Mbah Beji Ruminten. Hingga kini keberlangsungan kesenian di Jabung masih terus dilestarikan oleh anak cucu dari Mbah Beji Ruminten. Anak-anak Mbah beji yang bergiat dalam kesenian ini antara lain Pak Darlan, Pak Darlin, Pak Kamsen dan setelah sepeninggal beliau-beliau kini Topeng Jabung di teruskan oleh Suparjo putra dari Pak Kamsen, Pak Misdi murid dari Pak Kamsen dan generasi mudanya yang terkenal adalah Sudarmaji, kesemua nama ini adalah seniman sekaligus pembuat topeng gaya Jabung[3].

Topeng Dumpul, Tumpang

Nama desa Dumpul memang tidak setenar Glagah Dowo, akan tetapi dari desa ini kesenian Topeng Karisidenan Tumpang bisa lebih meluas dan menyebar hingga lereng Tengger. Hal ini lantaran desa Dumpul memang berdekatan dengan wilayah Tengger. Dan dari desa ini dikenal seniman dan pembuat Topeng yang bernama Pak Sujud dan Pak Madkur. Beliau adalah sepuh topeng desa Dumpul yang kini telah meninggal. Kesenian Topeng Desa Dampul lereng Tengger ini telah lama surut, hanya masih bisa ditemui beberapa penari dan senimannya yang telah beralih profesi dan meninggalkan dunia kesenian Topeng.

Topeng Kebon Sari, Tumpang

Seniman dan pembuat topeng dari Kebon Sari, Tumpang, Kab. Malang yang terkenal adalah Alm. Mbah Rusman, Mbah Tirtonoto. Dari Mbah Tirtonoto inilah kesenian Topeng diwariskan kepada cucunya yang tak lain adalah Ki Soleh Adi Pramono. Di desa ini hingga kini masih bisa ditemui beberapa seniman sepuh yang masih berkarya dalam pembuatan topeng selain KI Soleh juga ada Pak Sukani dan Lukman. Pak Sukani sendiri adalah keturunan dari seniman Topeng Precet yang kini bermukim di Tulus Besar bertetangga dengan padepokan Mangun Darmo.

Topeng Pulungan (Glagah Dowo)

Kesenian Topeng Glagah Dowo sangat terkenal ketika dipegang oleh Alm. Mbah Rasimun yang tak lain juga sebagai Maestro Gunung Sari. Tarian Gunung Sari dari Glagah Dowo ini terkenal akan kelembutan dan keindahan geraknya. Mungkin alasan inilah seorang Maestro Tari Didi Nini Towok, Jogjakarta pernah berguru ke Alm Mbah Rasimun. Generasi Topeng Glagah Dowo yang terkenal karena kepandaian dalam membuat topeng yaitu Mbah Rasimun, Pak Ruslin, Pak Sutrisno dan sekarang diteruskan oleh Budi Utomo (Cak Ut) dengan sanggarnya Setyo Utomo.

Topeng Senggreng

Kesenian Topeng di desa Senggreng, Kabupaten Malang berawal dari Mbah Seno, Mbah Seno adalah Putra dari  Reni. yang mempunyai watak keras dan Dukdeng (sakti), oleh karena itu ditugaskan menyebarkan kesenian topeng di Malang Selatan, hal ini karena kondisi masyarakat Malang Selatan yang terkenal keras. Dari Senggreng kesenian ini menyebar ke beberapa desa tetangga seperti Sumber Pucung, Jatigui, Jambuer dan Pakisaji. Sepeninggal Mbah Seno, kesenian Topeng Senggreng di lanjutkan oleh Mbah Watiru hingga beliau wafat bulan Juli 2018. sepeninggal Mbah Watiru tali estafet Topeng Senggreng dilanjutkan oleh Ririn Arisanti murid dari Alm Mbah Watiru.

Topeng Pakisaji

Seniman dan Pengrajin Topeng di pakisaji sepeninggal Mbah Karimun yang terkenal adalah Pak Katemun, Pak Selamet, Mak Yam, Pak Taslan, Suroso, Handoyo, Jumadi, Mahfud dan Dian. Dari beberapa generasi muda Pakisaji ini dahulunya adalah anak didik dari Maestro Topeng Mbah Karimun. Kesenian ini sampai sekarang masih aktip dan makin berkembang dengan adanya gebyak ruting Senin Legian, di pendopo Padepokan Asmoro Bangun.

Topeng Kalipare

Bila melihat sejarah kesenian Topeng di Kalipare sangat disayangkan, karena kini tidak ada anak cucu dari Mbah Wiji yang meneruskan, dan lambat namun pasti kesenian ini mati di desa Kalipare. Padahal bila menelisik pada sejarahnya Topeng Kalipare adalah kesenian yang bersumber langsung dari Kyai Reni Polowijen. Mbah Wiji adalah murid dari Kyai Reni, Mbah Wiji selain belajar menari dan mengukir topeng pada KYai Reni juga mempelajari ilmu pedalangan.

Topeng Lowok

Desa Lowok yang masih bertetanggaan dengan Pakisaji juga merupakan desa yang berjasa untuk kelangsungan Topeng Malangan, karena ketika ditahun 1965 saat di Pakisaji kesenian ini fakum, desa Lowok tetap berjalan dan ramai. Seniman dan pengukir topeng di desa lowok yang terkenal yaitu Alm Sugiat. Saat ini keberadaan Topeng Lowok mulai berangsur bangkit di tangan generasi muda dusun Lowok, Permanu Kabupaten Malang.

Topeng Kranggan

Topeng Kranggan adalah grup Topeng Malang, yang mempunyai ciri khas atau pakem cerita pedalang Wayang Purwa. berbeda dengan grup daerah lainnya yang membawakan cerita kisah Panji, Grup Wayang Topeng Desa Kranggan saat ini aktif dan terus teregenerasi ke anak-anak muda desa Kranggan dan sekitarnya. Dengan nama Grup Wayang Topeng Sailendra, dan di ketuai oleh Mbah Dasiyo, generasi ke 3 Topeng Kranggan, wayang Topeng Malang dengan lakon Purwo terus di lestarikan[4].

Topeng Jambuer

Kesenian Topeng di Jambuer ini adalah sebaran dari Topeng Senggreng, kesemua seniman sepuh desa Jambuer dahulunya adalah generasi Topeng Senggreng. Mereka belajar langsung pada Mbah Seno dan setelah Mbah Seno wafat, diteruskan oleh Pak Watiru. Di Jambuer kesenian ini hingga kini masih aktip dan tiap tahunya selalu di gebyak. Pak Barjo adalah ketua Grup Topeng Jambuer[5] “Galuh Condro Kirono” yang hingga kini terus melestarikan. Pengrajin dan pengukir Topeng gaya Jambuer yang hingga kini masih memproduksi topeng yaitu Pak Ismawati dan Misri.

Topeng Turen

Meskipun kini di daerah Turen tidak didapati kesenian Topeng, namun ditahun 1950-1970an kesenian ini berkembang pesat di Turen. Bahkan dahulu Topeng Turen terkenal akan kemewahan dari Rapek (Kostum) tarinya. Karena dahulu seniman Topeng di Turen sangat pintar dalam membuat Rapek. Senimannya yang terkenal adalah Alm. Pak Seno.

Malang Kota

Meskipun dahulu kesenian Topeng Berasal dari Polowijen (wilayah Kota), namun sangat minim perajin bila dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Malang yang hampir merata dibeberapa daerah. Di Kota Malang hingga kini hanya didapati beberapa orang saja yang bisa dalam mengukir dan membuat topeng yaitu Jumawan (Klayatan), Pak  Tito (Sukarno Hatta), dan Mulyono (Dinoyo). Dari ketiga orang ini masyarakat banyak yang tidak mengenalnya karena mereka tidak mempunyai Sanggar atau Padepokan dalam berkesenian, mereka mengukir dan membuat Topeng dirumah dan hanya berdasar pesanan saja.

Referensi

sunting
  1. ^ "Kota Malang". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2024-05-25. 
  2. ^ Nurdiyanto, Wahyu. "Sejarah Bupati Malang, Dari Notodiningrat I Hingga M Sanusi - TIMES Indonesia". timesindonesia.co.id. Diakses tanggal 2024-05-28. 
  3. ^ Writers, Borobudur; Festival, Cultural (2023-08-19). "Regenerasi Topeng Jabung, Tradisi Topeng Alusan Kaum Agraris". BWCF. Diakses tanggal 2024-05-28. 
  4. ^ "Kranggan, Ngajum Gebyak Tari Topeng Adalah Laku Budaya". bacamalang.com. Diakses tanggal 2024-05-28. 
  5. ^ Malik, Abdul. "Ini Rahasia Djiono Barjo Tetap Memainkan Topeng Hingga Usia Tua - Klik Times". Ini Rahasia Djiono Barjo Tetap Memainkan Topeng Hingga Usia Tua - Klik Times. Diakses tanggal 2024-05-28.