Sejarah linguistika

aspek sejarah

Sejarah linguistika adalah catatan mengenai perkembangan studi tentang linguistika dari zaman Yunani kuno hingga modern.[1] Ilmu mengenai linguistika telah dibahas sejak peradaban Babilonia, namun proses penelitian yang terstandar baru dimulai sejak periode Yunani kuno.[1] Dari perjalanan linguistika zaman Yunani, berkembang aliran linguistika tradisional, beranjak ke linguistika strukturalis, linguistika transformasional atau modern, dan aliran-aliran sesudahnya.[2][3]

Dalam sejarah perkembangannya mencari hakikat bahasa sekaligus menempatkannya sebagai suatu disiplin ilmu akademis, linguistika atau ilmu bahasa telah mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu tahap spekulasi, observasi dan klasifikasi, dan perumusan teori. Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Tahap ini sekaligus menjadi benang merah antara bidang linguistika dan kesusastraan. Selanjutnya, di tahapan observasi dan klasifikasi, para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki, meski belum sampai pada perumusan teori. Pada tahapan berikutnya, yaitu tahapan perumusan teori atau konsep bahasa yang ideal inilah yang kemudian melahirkan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan.[3]

Jika dilihat dari pembabakan waktu, perkembangan aliran linguistika dapat dikelompokkan ke dalam tiga rentang waktu, yaitu masa perkembangan awal (pra-abad ke-20) yang dikenal dengan istilah linguistika tradisional, masa keemasan (abad ke-20) ditandai dengan lahirnya linguistika struktural yang kemudian populer dengan istilah linguistika modern, dan masa sesudahnya (pasca-abad ke-20) sebagai perkembangan dari linguistika struktural.[3]

Linguistik tradisional

sunting

Linguistik tradisional adalah segala hal mengenai paham, aliran, dan tokoh yang ada pada zaman Yunani kuno hingga zaman Renaisans.[2] Dalam zaman linguistik tradisional, para ahli bahasa saat itu mengkaji bahasa berdasarkan filsafat dan semantik.[2] Tokoh yang mengembangkan ilmu linguistik tradisional di antaranya berasal dari bangsa Eropa dan Asia seperti Yunani, Romawi, India, Latin, dan Arab.[2]

 
Aristoteles

Linguistik zaman Yunani

sunting

Studi bahasa pada zaman Yunani telah berjalan sekitar kurang-lebih 600 tahun (5 SM-2 M).[2] Masalah pokok yang menjadi bahasan studi linguistik pada zaman ini adalah (1) pertentangan mengenai sifat dasar bahasa, apakah ia bersifat alami dan tak bisa diubah maknanya (fisis), atau bahasa itu bersifat manasuka dan dapat berubah-ubah maknanya (nomos)[4] dan (2) analogi dan anomali.[3] Dalam bidang semantik, kelompok yang menganut paham fisis, disebut kaum naturalis, berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya. Dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis, misalnya kata-kata yang disebut onomatope. Sebaliknya, kaum konvensional yang menganut paham nomos berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi. Artinya, makna kata-kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai kemungkinan adanya perubahan yang terus-menerus.

Pertentangan analogi dan anomali pada zaman itu berkisar antara apakah bahasa itu bersifat teratur (reguler) misalnya seperti pembentukan kata jamak boy->boys, girl->girls, check->checked, atau bahasa itu bersifat tak teratur (ireguler) seperti kata go->went, write->wrote bukan writed dalam bahasa Inggris.[2] Tokoh-tokoh yang muncul dan memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu bahasa pada zaman linguistik tradisional di Yunani di antaranya adalah Kaum Sophis, Plato, Aristoteles, dan Kaum Stoik.[2]

Kaum Sophis (5 SM) mulai melakukan studi bahasa dengan melakukan penelitian secara empiris dengan menggunakan ukuran-ukuran, dan mereka juga mengklasifikasikan tipe-tipe kalimat berdasarkan makna.[4] Mereka melakukan penelitian bahasa dengan memperhatikan retorika, atau cara para cendekiawan Yunani menyampaikan ceramah.[4] Tokoh yang populer dari Kaum Sophis adalah Protagoras dan Georgias.[4]

Plato (429-347 SM) memberikan sumbangan pada ilmu bahasa dalam bukunya yang berjudul Dialoog. Ia menyatakan bahwa bahasa merupakan hasil pikiran manusia yang terdiri dari onoma dan rhemata.[4] Dua istilah yang dikembangkan dari bahasa Yunani ini terus mengalami perkembangan hingga sesudahnya. Onoma (onomata) yaitu kata benda, nama, dan subjek, sedangkan rhemata adalah ucapan sehari-hari, verba, dan predikat.[4] Onoma bisa disejajarkan dengan kata benda (subjek), rhemata adalah kata kerja (verba) atau kata sifat. Dengan kata lain, onoma dan rhema adalah unsur pembentuk kalimat.[3] Dalam bukunya juga dibahas mengenai perbedaan antara sifat bahasa yang alamiah dan konvensional.[4]

Pasca Plato, muridnya Aristoteles (384-322 SM) juga ikut memberikan sumbangsih dalam ilmu bahasa, di antaranya yaitu ia menambahkan elemen bahasa yang dinyatakan Plato dengan antara lain onoma, rhemata, syndesmoi atau preposisi, dan konjungsi.[4] Selain itu, ditambahkan pula mengenai bunyi tak bermakna (legein), bunyi bermakna (prophetal) dan kelamin kata (gender).[4]

Selanjutnya, Kaum Stoik (4 SM), menambahkan elemen bahasa menjadi onoma, rhemata, syndesmoi, dan arthoron, yang artinya adverbial kuantitas.[4] Selain itu, mereka juga meletakkan dasar komponen utama dalam studi bahasa di antaranya mengenai simbol, makna, dan konteks, yaitu hal-hal yang berada di luar bahasa.[4] Mereka juga lah yang pertama kali memperkenalkan kata kerja pasif dan aktif.[4]

Kaum Alexandria

sunting

Kaum Alexandria membuat buku tata bahasa yang bernama Dionysius Thrax yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ars Gramatika.[2] Buku ini merupakan buku pertama tata bahasa pada aliran linguistik tradisional, jadi buku tata bahasa Dionysius Thrax itu merupakan cikal bakal linguistik tradisional.[2] Sementara itu, Panini (400 SM) seorang sarjana Hindu dari India juga menerbitkan buku bernama Astdhyasi tata bahasa Sanskerta dengan jumlah 4000 ayat yang gagasan-gagasannya digunakan oleh para ahli linguistik modern hingga saat ini.[1]

Zaman Romawi

sunting

Studi bahasa pada zaman Romawi banyak terpengaruh dari zaman Yunani.[2] Tokoh penting dalam perkembangan bahasa pada zaman ini adalah Varro, yang mengeluarkan buku De Lingua Latina setebal 25 jilid dan Priscia 18 jilid.[2] Kedua buku menjelaskan mengenai etimologi (asal mula kata), morfologi, dan sintaksis.[2] Selanjutnya buku ini menjadi tonggak utama perkembangan linguistik tradisional Eropa.[2]

Zaman Renaisans

sunting

Zaman renaisans merupakan pembukaan bagi abad pemikiran modern dalam studi linguistik.[4] Hal itu dikarenakan pada zaman ini banyak sarjana yang menguasai bahasa Yunani, Ibrani, Latin, dan Arab.[4] Selain itu, mereka juga mengkaji, menyusun, dan membuat perbandingan terhadap bahasa-bahasa tersebut.[4]

Linguistik bahasa Ibrani dan bahasa Arab

sunting

Penelitian dalam linguistik bahasa Ibrani dan bahasa Arab dilakukan karena kedudukan kedua bahasa tersebut dalam agama Islam dan agama Yahudi.[2] Dalam studi linguistik bahasa Ibrani diterbitkan buku berjudul De Rudimentis Hebraicis karangan Reuchlin yang membahas mengenai penggolongan kata dalam bahasa Ibrani.[2] Sedangkan studi linguistik bahasa Arab terbagi menjadi dua aliran, yaitu Basrah dan Kufah.[2] Perbedaan dari kedua aliran ini adalah Basrah mengikuti konsep analogi, yaitu bahasa merupakan sistem yang teratur atau regular.[2] Sedangkan kufah berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur atau ireguler.[2] Tokoh-tokoh yang menerbitkan karya pada zaman ini adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dengan karya Kitab al Ayn, dan Sibawaih dengan karyanya Al-Kitab.

Linguistika strukturalis

sunting

Linguistika strukturalis merupakan perkembangan lanjut studi bahasa yang eksis sejak 1857 yang diprakarsai oleh Bapak Linguistika Modern Ferdinand de Saussure.[5] Aliran linguistika strukturalis mendeskripsikan bahasa berdasarkan ciri khas yang dimiliki bahasa tersebut.[5] Selanjutnya berkembang para tokoh penerus linguistika modern yang di antaranya berasal dari aliran Praha, aliran Glosematik, Bloomfield, dan strukturalis Amerika Serikat.

Ferdinand de Saussure

sunting

Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah Bapak Linguistika Modern yang menulis Course de Linguistique Generale.[6] Dalam buku tersebut tersimpul empat gagasan penting sebagai berikut:

 
Ferdinand de Saussure
  • Bahasa dapat ditelaah secara sinkronik, yaitu diteliti berdasarkan kurun waktu penggunaannya pada zaman tertentu, dan juga diakronik, yaitu penelitian pada sebuah bahasa yang diteliti dari sejarah penggunannya hingga masa kini.[6]
  • Perbedaan mengenai langue dan parole.[6] Langue adalah keseluruhan sistem tanda bersifat abstrak yang digunakan sebagai alat komunikasi verbal antar manusia.[6] Sedangkan parole adalah realisasi dari langue, sifatnya konkret dan dapat diamati.[6]
  • Bahasa mengandung sistem tanda linguistika yang bernama signifiant dan signifie.[6] Signifiant adalah kesan bunyi yang timbul dalam benak manusia, sedangkan signifie kesan makna yang merujuk pada objek yang dimaksud.[6]
  • Elemen bahasa seperti fonem, morfologi, dan sintaksis memiliki hubungan yang dinamakan sintagmatik dan paradigmatik.[6]

Bersamaan dengan perjalanan Ferdinand de Saussure, perkembangan ilmu fonologi pun berkembang berkat aliran Praha pada tahun 1926 yang terdiri dari para tokoh linguistika bernama Vilem Mathesius, Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Dalam perkembangan fonologi, mereka membedakan dengan tegas fonetika dan fonologi.[5]

Bloomfield dan strukturalis Amerika Serikat

sunting

Di Amerika Serikat, Leonard Bloomfield (1877-1949) dan kawan-kawannya mengembangkan aliran linguistika struktural Amerika Serikat.[5] Ciri utama pada aliran mereka yaitu menolak paham mentalistik dalam melihat fenomena berbahasa dan memihak pada aliran behaviorisme.[5] Artinya, mereka lebih menekankan penelitian bahasa pada sesuatu yang bisa diamati secara empirik dan mengabaikan makna.[5] Dan perkembangan para ahli linguistika di Amerika Serikat tergabung dalam Linguistics Society of America (Perhimpunan Linguistika Amerika Serikat) di mana mereka melaporkan hasil kerja mereka dalam majalah berjudul Language.[5]

Linguistika transformasional dan aliran sesudahnya

sunting
 
Noam Chomsky

Pada zaman ini penelahan bahasa dari segi struktural telah mulai ditinggalkan karena model tersebut dinilai memiliki banyak kelemahan sehingga para ahli linguistika zaman itu mulai membuat aliran baru dengan nama aliran linguistika transformasional yang diprakarsai oleh Noam Chomsky.[5] Ia memberikan gagasan mengenai kaidah transformasi yang dinyatakan bahwa terdapat struktur batin dari setiap kalimat, yaitu struktur asal yang tersimpan dalam mental yang kemudian dapat ditransformasikan ke dalam struktur lahir dengan kategori urutan kata yang berbeda-beda.[5]

Selanjutnya pada tahun 70-an para murid pengikut Chomsky mulai meninggalkan teori yang dianut gurunya.[5] Mereka membentuk kelompok baru dengan nama aliran semantik generatif.[5] Aliran ini secara konsep teori mereka adalah struktur makna dan kalimat bersifat homogeni, dan untuk menghubungkan keduanya cukup dengan menggunakan kaidah transformasi. Lalu selain aliran semantik generatif, aliran tata bahasa relasional yang muncul sekitar tahun 1970-an dengan tokoh populer di antaranya adalah David M. Perlmutter dan Paul M. Postal.[5]

Kajian ilmu linguistik di Indonesia serta asal muasal mengenai perbedaan kaum naturalis dan konvensional

sunting

Pada akhir abad ke-19 dan 20 penelitian bahasa-bahasa yang terdapat di Indonesia dilakukan oleh para kolonialis demi kepentingan informasi. Penelitian bahasa pada zaman kolonial sifatnya berupa observasi dan klasifikasi; belum bersifat ilmiah. Para tokoh yang melakukan penelitian tersebut adalah Van der Tuuk yang menyusun Hukum Van der Tuuk, dan selanjutnya diikuti oleh para tokoh sarjana belanda lainnya.

Lalu, sekitar tahun 70 dan 80-an, proses penelitian pendeskripsian bahasa-bahasa daerah di Indonesia dilanjutkan oleh para ahli bahasa di Indonesia yang dilakukan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa). Pengaruh linguistik modern yang dibawa oleh Ferdinand de Saussure dan Noam Chomsky pun sampai ke Indonesia meskipun berbenturan dengan paham lama linguistik tradisional masyarakat Indonesia. Para tokoh linguistik Indonesia di antaranya adalah A.M. Moeliono, Harimurti Kridalaksana, Gorys Keraf, dan lain-lain.

Dalam sejarah ilmu linguistik bahasa memiliki makna dan

Adapun perbedaan maksud antara kaum naturalis dan konvensional dapat dilihat dari perbedaan maknanya Dalam bidang semantik, kelompok yang menganut paham fisis, disebut kaum naturalis, berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya. Dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis, misalnya kata-kata yang disebut onomatope. Adapun konvensional Artinya, penggunaan lambang bunyi untuk suatu konsep tertentu berdasarkan kesepakatan antara masyarakat pemakai bahasa. Sebagai contoh, sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang secara arbitrer [manasuka] dilambangkan dengan bunyi [rumah].

Referensi

sunting
  1. ^ a b c (Inggris) Continuum Books. "Outline of History of Linguistics" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-06-11. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Indonesia), Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. P. 332-381.
  3. ^ a b c d e Malawat, Insum (2015). "STUDI KOMPARATIF: ALIRAN LINGUISTIK TRADISIONAL DAN LINGUISTIK STRUKTURAL". Kibas Cenderawasih (dalam bahasa Inggris). 12 (1): 35–52. doi:10.26499/kc.v12i1.187. ISSN 2656-0607. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Inggris) Pustaka Sekolah. "Sejarah perkembangan ilmu bahasa". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-16. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l Campbell, L. (2001). The History of Linguistics. Oxford: Blackwell Publishers.
  6. ^ a b c d e f g h (Inggris) Angel Fire. "Ferdinand de Saussure's Course in Linguistics". Diakses tanggal 4/13/2014.