Sapatha adalah sumpah serapah, semacam kutukan (sapatha) yang di ucapkan oleh makudur dan tertulis dalam suatu penetapan prasasti sima yang ditujukan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan di dalam prasasti raja (sabdanata) tersebut. Mantra dan sapatha tersebut diucapkan oleh Sang Makudur, yang bertindak sebagai pemimpin upacara.

Sapatha adalah salah satu bentuk ‘sangsi’ terhadap pihak pelanggar hukum, karena isi prasasti pada hakekatnya adalah kodeks hukum yang perlu untuk ditaati, dan bagi pelanggar, pengganggu, atau pengusiknya pada kemudian hari bakal ditimpai sangsi. Hanya saja, dalam konteks ini sangsi tersebut bersifat ‘religio-magis’, dalam bentuk kutukan (sapatha) dengan menggunakan kata-kata ancaman yang mengerikan dan permohonan kepada dewata untuk turut melindungi isi keputusan (isi prasasti) itu.

Manakala sapatha diucapkan dengan lantang – supaya didengar oleh seluruh hadirin peresmian prasasti sima, bersamaan itu abu ditaburkan. Kalimat ancaman yang mengerikan itu antara lain adalah ‘panca mahapataka’, yaitu lima jenis petaka atau kesengsaraan pada sepanjang masa, seperti:

(a) dibelah kepalanya (blah kapalanya),

(b) disobek perut dan ususnya (sbitaken wtangnya rantan usunya),

(c) dikeluarkan isi perutnya (wtuaken dalamannya),

(d) dimakan hati maupun dagingnya (duduk hatinya pangan dagingnya), serta

(e) diminum darahnya (inum rahnya) oleh para mahluk halus.

Selain itu, dinyatakan agar mereka dimasukkan ke dalam neraka jahanam (mahârorawa) dan direbus di dalam kawah Sang Yama (tibákan ing mahârorawa klân i kawah Sang Yama). Selain itu disampaikan harapan negatif yang semoga bakal menimpanya, seperti disambar petir (glap), dipatuk ular, dimakan harimau (mong), dicaplok buaya (wuhaya), dsb.


Referensi

sunting

1. https://doi.org/10.22437/titian.v3i1.7027