Rumah adat Pati
Rumah adat Kabupaten Pati atau Joglo Juwana[1] disebut juga "Joglo Saridin" adalah Rumah tradisional asal Pati. Arsitektur Pati salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat daerah KabupatenPati.
Ciri khas
suntingRumah Adat Pati memiliki atap genteng yang bentuknya khas, yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Jawa, Tiongkok. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1700-an Masehi dengan 90% kayu Jati asli. Joglo Pati mirip dengan Joglo Kudus tetapi perbedaan yang paling tampak adalah bentuk bagian pintunya dan atap gentengnya.
Tata Ruangan
suntingRumah adat Pati yaitu Joglo Pati seperti Joglo Pencu (rumah adat Kudus) yaitu sama-sama memiliki 4 bagian ruangan yang disebut Jogo Satru, Gedongan, dan Pawon.
- Jogo Satru
adalah nama untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara makna kata Jogo Satru bisa diterjemahkan jogo artinya menjaga dan Satru artinya musuh. Namun untuk sehari-hari Ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.
- Gedongan
adalah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga.
- Pawon
biasa digunakan untuk masak, belajar, dan melihat televisi.
- Pakiwan
adalah bagian halaman depan rumah, terdapat sumur pada sebelah kiri yang dinamakan Pakiwan, tempat ini juga untuk aktivitas mandi cuci kakus (MCK)
- Regol (pintu masuk/gerbang).
setelah masuk regol biasanya di sisi kiri dan kanan terdapat 2 bok, bok adalah tempat duduk dari batu dan semen, tempat duduk ini biasanya untuk bapak-bapak.
- Seketheng
terletak pada bagian samping kiri dan kanan sebuah regol.
- Latar
adalah halaman yang luas, berfungsi untuk menjemur pakaian
- Emper
adalah bagian luar rumah atau disebut juga teras.
Mulai Dilupakan
suntingSeiring dengan perkembangan masyarakat Pati, keberadaan rumah adat Pati sendiri sebagai penentu tingkat perekonomian seseorang. Tidak dapat dimungkiri untuk pengrajin yang membuat rumah adat ini mematok harga yang sangat mahal, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas yang bisa membelinya. Sedangkan kelemahan budaya lokal adalah kurangnya sumber informasi yang dibukukan, sehingga tidak ada sumber yang bisa dijadikan acuan atau referensi dalam pengenalan budaya lokal tersebut. Dibutuhkan sebuah kajian, jika ada yang tahu sepenggal dan memberanikan diri untuk menulis dan tanpa ada sumber yang jelas adalah kesalahan. Juga dibutuhkan peran pemerintah kabupaten Pati untuk melestarikan rumah adat Pati.