Rasionalisme moral

Rasionalisme moral bisa diartikan gabungan dua makna yang terpisah dan terbangun dengan sendirinya. Nilai yang terkandung dalam jati diri manusia berupa akhlak yang mulia dibarengi dengan akal yang memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui dan mengemukakan prinsip-prinsip kehidupan. Moral disini sebagai bentuk tingkah laku kehidupan seseorang berdasar dari kesadaran keterikatan untuk menjadi pribadi yang baik sesuai dengan nilai dan norma masyarakat di lingkungannya. Seyogyanya harus dibarengi dengan rasionalitas yang ada. Rasionalitas termasuk dalam salah satu bagian dari ilmu filsafat yang diambil dari kata rasional atau masuk akal dan isme atau paham.Gerakan rasionalis atau lebih tepatnya rasionalisme di mana doktrinisasi pemikiran lebih menegaskan bahwa suatu kebenaran dapat dibuktikan melalui pembuktian secara nalar hasil menganalisis yang diambil dari pengamatan berdasar fakta dan pengalaman inderawi. Meskipun begitu empirisme bertolak belakang dari aliran rasionalisme ini karena pendapat kebenaran dapat dipahami melalui logika, metafisika dan matematika.[1]

Pemikiran filsafat modern dibagi menjadi tiga periodisasi ( kuno, tengah dan modern). Filsafat ini diartikan ke dalam bahasa yunani berasal dari kata philosophia atau pengetahuan. Pemikiran filsafat modern ini lebih mempfokuskan rasionalisme sebagai keilmuan yang subjektif. Sementara moral adalah tata lelaku kehidupan yang perlu diperhatikan. Moral atau moralitas itu sebagai pembimbing atau membimbing sebuah tindakan seseorang demi melakukan hal yang paling masuk akal dan memiliki kaitan dengan kepentingan individu di mana terdapat gambaran tindakan perilaku. Antara rasionalitas dan moral sebagai kesatuan karena hal yang masuk akal harus dilandasi oleh perilaku moral secara sadar dari tiap individu.Implikasi dari kajian filsafat sebagai bentuk usaha mencari atau menemukan pengetahuan yang bijak dalam diri seseorang yang telah terjadi berabad-abad lamanya disebut peradaban umat manusia. Perkembangan beragan aliran filsafat modern ditandai dengan munculnya renaisance sebagai titik pangkal kajian rasionalis modern.[2]

Rasionalisme memegang sebuah prinsip bahwasanya peranan utama atau penting adalah akal untuk menjelaskan sesuatu. Rasionalisme disini merujuk pada pendekatan yang lebih filosofis atau penekanan akal budi. Akal budi atau lebih dikenal dengan rasio (sumber pengetahuan) sebagai kemampuan dari mental seseorang selain panca indera sebagai satu-satunya makhluk hidup yang paling tinggi derajatnya. Jiwa yang rasional yang terbentuk membuat seseorang mampu berpikir secara sadar, menciptakan norma dan menyusun kebijakan berdasar putusan yang baik. Kebenaran dari pengetahuan itu dapat di ukur melalui nalar yang memenuhi syarat bagi pengetahuan ilmiah. Rasionalisme suatu kaum tergantung dari pernyataan yang telah jelas. Dasar aksioma yang dipakai membangun sistem dalam pemikiran serta argumentasi yang jelas, tegas dan pasti telah diproses dalam nalar manusia. Pada metode praksisnya, kalangan penganut aliran ini lebih memandang aksioma atau prinsip-prinsip sebagai dasar titik tolak untuk dapat menjelaskan sesuatu hal yang berhubungan dengan aliran filsafat ini. Dasar aksioma yang digunakan adalah pengetahuan yang pasti diturunkan dari akal pikiran manusia sehingga muncul sistem rasionalisme seperti aksioma geometri.[3]

Rasionalisme moral atau rasionalisme etis lebih berpandangan pada bagian epistemologi dan etika. Aliran filsafat ini lebih menekankan pada pengetahuan yang berdasar kepada moral atau etika. Kemiripan rasionalisme moral itu lebih kepada intuisionisme etis. Penggunaan dalam berbagai praduga memiliki kemiripan sejak karya para filsuf intuisionis dalam buku karya W.D. Ross mengenai kewajiban dalam teori umum atau prima facie atau dasar-dasar teori hukum.[4] Selain itu, pemecahan dari berbagai dilema yang etis tentang pijakan intuisi mungkin dimiliki oleh seseorang agar dapat mengetahui secara langsung sesuatu yang baik dan buruk. Keuntungan dari intuisi moral yakni dapat memberikan keteguhan hati yang besar. Antara moral dan rasionalisme saling berkaitan dalam hal untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan dalam kehidupan umat manusia.[5]

Ikhtisar sunting

Tokoh filsuf modern yang menentang rasionalisme moral atau dikenal dengan ahli teori tentang moral adalah David Hume. Sikap empiristik yang ditunjukkan oleh Hume dengan menolak sesuatu yang tidak berdasar dari fakta-fakta dan sesuai pengamatan empiris. Bagi Hume pengalaman inderawi dan perasaan manusia merupakan sistem etika maka jelaslah Hume menolak nilai-nilai mutlak, nilai objektif, tidak termasuk dalam aspek perasaan, dan nilai yang mendahuluinya. Etika itu terdapat dari dalam diri tiap orang. Psikologisme Hume terdapat pada baik dan buruk yang tidak dianggap sebagai bentuk objektif melainkan sesuatu dari perasaan manusia.[6]

Pemikiran Hume lebih kepada Pendekatan Empiristiknya yang berimplikasi secara langsung tentang keharusan modal. Implikasi itu secara langsung dapat dialami secara faktual, data, dan bukan keharusan. Pengembangan filosofi moral dengan menggunakan metode penyelidikan. Filosofi moral ala hume memiliki kesamaan dengan filosofi alam pengetahuan. Kombinasi filosofi empiris karya pendahulu dengan prinsip keilmuan demi menciptakan ilmu pengetahuan mengenai sifiat manusia. Pertanyaan tentang norma-norma yang lebih objektif di mana membagi tindakan yang wajib maupun tidak. Menurut Hume tidak mempunyai dasar yang rasional karena bukan pengalaman epmpiris dan tidak di ketahui.

Pandangan meta-etika memperikan penjelasan bahwa rasionalisme moral itu identik dengan rasionalisme etis. Epistemologi itu diambil dari kata episteme dan logos. Cara berpikir atau menalar secara sistematis dan dapat disampaikan melalui bahasa disebut logika. Beberapa aturan harusnya dipatuhi kemudian disampaikan secara sah dan di terima oleh akal sehat. Etika sering disebut sebagai filsafat moral karena istilahnya merujuk pada etika sementara moral (bahasa latin : mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dilakukan secara sadar dengan objek formalnya berbentuk kebaikan dan keburukan sesuai dari tingkah laku tersebut.[7] Bertens menambahkan etika adalah bentuk refleksi tentang apa yang harus dilakukan. Sebagai cabang ilmu yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji baik buruknya tindakan manusia[8].

Pandangan rasionalisme lebih kepada faktor yang lebih fundamental ilmu pengetahuan dan menurut aliran filsafat ini pengalaman tidak dapat di uji dari kebenaran sebuah peristiwa dalam kejadian alam ini dan tak mungkin dapat di observasi. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan panca indera berupa akal dan pikiran yang dapat menghasilkan pengetahuan tanpa adanya suatu bahan. Plato dan Imannuel Kant lebih membela pemikiran filsafat rasionalisme moral. Namun ada juga yang menolaknya seperti David Hume.

Kritis sunting

Pada harfiahnya rasionalisme itu adalah salah satu faham filsafat yang menyatakan akal itu sebuah alat paling penting dalam memperoleh sumber pengetahuan. Pengalaman indera begitu diperlukan agar rangsangan berpikir kritis dapat tercapai sementara konsep etika termasuk dalam bagian pengetahuan dari sebuah ajaran moral. Demi mencapai kepada sebuah kebenaran perlunya akal untuk menyeleksi hal tersebut.[9] Rasionalisme moral mirip dengan sebuah rasionalis atau intuisi etis tetapi dengan pandangan berbeda. Keyakinan moral dasar itu diperlukan agar dapat membedakan inferensi atau tidak.

Segala tingkah laku seseorang baik itu buruk dan jahat atas apa yang telah dikerjakannya. Tentunya setiap manusia diberikan akal pikiran untuk dapat mengetahui aturan yang menyangkut perilaku dan setiap manusia pastinya mempertanggung jawabkan atas apa yang telah diperbuatnya. Sementara gagasan dari rasionalisme barat lebih kepada hal yang memisahkan antara agama dan dunia secara total dengan tujuan agar masyarakat mengambil itu murni dari akal. Dogma-dogma ini muncul akibat dari pengaruh keagamaan di eropa sebelum dimulainya masa pencerahan karena gerakan rasionalis lebih mendominasi saat itu.[10]

Pada masyarakat muslim perkembangan etika rasionalisme itu lebih di dominasi oleh para pengikut filsuf Mu’tazilah yang pemikiran mereka lebih dipengaruhi oleh lima dasar seperti tauhid, waid, manzilah, manzilatain, dan ma’ruf nahi munkar. Masalah moral yang lebih ditekankan aliran filsuf ini dimulai dari tindakan untuk mengenal baik dan buruk selain tuntutan ajarannya melainkan kemampuan prakondisi moralitas. Pandangan aliran rasionalisme barat dan islam memang memiliki perbedaan yang begitu jauh jika melihat dari sisi kebebasan dalam berpikir sesuai dengan tuntunan masing-masing.[10]

Rujukan sunting

  1. ^ Nasution, Gatot (Juli 2018). "Apa Yang dimaksud Dengan Rasionalisme". www.dictio.id. Diakses tanggal 23/12/2021. 
  2. ^ Musakkir (30/04/2021). "Filsafat Modern dan Perkembangannya". www.ejournal.iainbima.ac.id. Diakses tanggal 23/12/2021. 
  3. ^ Mushlihin (01 Agustus 2011). "Sekilas Tentang Filsafat Rasionalisme". www.referensimakalah.com. Diakses tanggal 23/12/2021. 
  4. ^ Epstein, Richard (2006). Skeptisisme dan Kebebasan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 139. ISBN 979-461-600-1. 
  5. ^ Farelya, Gita (2018/Maret). Etikolegal Dalam Pelayanan Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 126. ISBN 978-602-453-860-6. 
  6. ^ Rabbani, Aletheia (7 Januari 2018). "David Hume. Etika". www.sosiologi79.com. Diakses tanggal 22/12/2021. 
  7. ^ Abadi, TotoK wahyu (2016/02-04). "Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika". Ilmu Komunikasi. 4: 189–190. 
  8. ^ Weruin, Urbanus (2 Oktober 2019). "Teori-Teori Etika dan Sumbangan Pemikiran pada Filsuf Bagi Etika Bisnis". untar.ac.id. Diakses tanggal 22/12/2021. 
  9. ^ Arsy, Andi. "Filsafat Rasionalisme". osf.io. Diakses tanggal 23/12/2021. 
  10. ^ a b Aravik, Havis (2018). "Etika Rasionalisme vs Etika Voluntarisme : Studi Kritis Mu'tazilah dan Asy'ariyah". www.journal.uinjkt.ac.id. Diakses tanggal 23/12/2021.