Qi Jiguang (戚继光; pinyin: Qī Jìgūang; 12 November 1528-5 Januari 1588) adalah jendral dan pahlawan nasional Tiongkok semasa Dinasti Ming. Dia terkenal karena kepahlawanannya melawan bajak laut Jepang di pesisir timur Tiongkok, juga karena jasanya memperkuat pertahanan Tembok Besar.

Qi Jiguang

Riwayat hidup sunting

Kehidupan awal sunting

Lahir di Luqiao, Shandong dari keluarga bertradisi militer, leluhurnya adalah jendral yang turut membantu Zhu Yuanzhang (pendiri Dinasti Ming) dan gugur dalam perang. Setelah Dinasti Ming berdiri, Zhu Yuanzhang menganugerahi keluarga Qi pos komando di Dengzhou (sekarang distrik Penglai).

Ayahnya, Qi Jingtong, adalah seorang pejabat militer yang jujur dan bermartabat, dia mendidik anak-anaknya dengan moral dan disiplin yang ketat. Ketika ayahnya meninggal, Qi Jiguang otomatis mewarisi pos komando Dengzhou, waktu itu ia baru berumur 17 tahun. Dia lalu menikah dengan seorang wanita bermarga Wang yang sangat membantunya mengurus rumah tangga karena waktu itu saudara-saudaranya yang lain masih muda. Selain memperkuat pertahanan laut di daerahnya, dia juga pernah memimpin pasukannya mempertahankan Jizhou, daerah barat daya Beijing dari serbuan suku Mongol sekitar tahun 1548 sampai 1552.

Pada umur 22 tahun, dia pergi ke ibu kota dan mengikuti ujian militer kerajaan. Saat itu suku Mongol yang telah terusir dari daratan Tiongkok berusaha merebut kembali kekuasaan, dipimpin oleh Altan Khan mereka menembus perbatasan utara dan mengepung Beijing. Para peserta ujian kemiliteran dikerahkan untuk mempertahankan ibu kota. Dalam kesempatan itulah Qi mempertunjukan keberanian dan keahlian militernya yang mengakibatkan mundurnya tentara Mongol kembali ke utara.

Pertempuran melawan bajak laut Jepang sunting

 
Peta serbuan bajak laut Jepang terhadap Tiongkok dan Korea pada masa Qi Jiguang

Tahun 1553, Qi dipromosikan sebagai asisten komisaris militer regional Shandong untuk menahan serangan bajak laut Jepang. Dia meningkatkan disiplin tentaranya dan memperkuat pertahanan daerah itu. Bajak laut Jepang melihat kuatnya pertahanan di Shandong terpaksa mengalihkan sasarannya ke selatan, mencari sasaran yang lebih lemah.

Musim gugur tahun 1555, pemerintah memindahkan Qi ke Zhejiang dimana bajak laut Jepang bersekongkol dengan para penguasa setempat yang korup menindas rakyat. Bersama dua jendral lainnya, Yu Dayou dan Tan Lun, Qi memenangkan pertempuran di Cengang pada tahun 1558. Selanjutnya, pasukannya juga melancarkan serangan-serangan mematikan terhadap para bajak laut di Taozhu, Haimen, dan Taizhou.

Setelah situasi di Zhejiang diatasi, Qi mulai menyeleksi ulang pasukannya karena menyadari kebobrokan tentara Ming yang rendah disiplin dan semangat tempurnya lemah. Dia lalu mengajukan permohonan pada kaisar untuk merekrut 3000 orang yang akan dilatihnya menjadi tentara yang unggul.

Perekrutan dan pelatihan tentara sunting

Tahun 1559, usulnya baru diterima setelah tiga kali diajukan. Dia lalu mulai mencari calon serdadu di Yiwu, Yongkang, dan tempat-tempat lainnya. Para pendaftar diseleksi dengan ketat, kebanyakan yang terpilih adalah buruh-buruh tambang dan petani karena Qi percaya orang-orang seperti ini lebih jujur dan pekerja keras. Dia juga mengawasi pembangunan 44 kapal perang dengan berbagai ukuran dan variasi untuk persiapan melawan bajak laut.

Para calon tentara harus mengikuti empat program pelatihan yang dirancangnya, yaitu:

  • Program pendidikan, disini Qi menanamkan kesadaran di antara mereka bahwa kewajiban tentara adalah melindungi rakyat dan mempertahankan negara. Selama mereka membunuh musuh, mematuhi hukum militer, dan tidak menyusahkan rakyat mereka akan didukung rakyat.
  • Pelatihan ilmu beladiri, mereka dilatih untuk mempertahankan diri dan berkelahi di medan perang. Pemakaian senjata disesuaikan dengan umur, tinggi dan kondisi tubuh. Dalam latihan fisik, mereka berlatih dengan memakai baju perang dan memikul beban untuk membentuk tubuh, lengan mereka dikuatkan dengan mengangkut beban yang lebih berat dari senjatanya, kaki mereka dikuatkan dengan berlari jarak jauh dengan kantung pasir terikat di kaki.
  • Pembentukan formasi perang. Qi menciptakan formasi Yuanyang berdasarkan kondisi setempat dan kebiasaan bertempur bajak laut Jepang. Formasi ini menggunakan senjata pendek dan panjang, serta menggabungkan siasat menyerang dan bertahan. Perubahan formasi disesuaikan situasi dan kondisi.
  • Disiplin militer. Qi memerintahkan agar semua aturan disusun dalam buku pedoman yang harus dihafal semua tentaranya. Hadiah dan hukuman diberikan sesuai kebutuhan. Qi berpesan pada mereka agar jangan berlindung di rumah rakyat walau terancam mati beku, jangan merampas walau terancam mati kelaparan. Jangan merusak ladang, membakar rumah, memperkosa, merampok dan membunuh tawanan perang.

Qi sendiri selalu memberi contoh yang baik pada tentaranya dan selalu berbagi suka dan duka. Ia memerintahkan para perwiranya agar selalu berada bersama pasukannya dalam keadaan sesulit apapun. Dia bahkan pernah menghukum mati seorang bawahan yang masih kerabatnya karena melanggar disiplin militer. Melihat teladan yang baik itu, rakyat dan tentara pun bersatu hati dan pikiran.

Pertempuran final melawan bajak laut sunting

Setelah kekalahan di Zhejiang, bajak laut menderita kerugian 5000an jiwa. Pamor pasukan Qi meningkat baik di kalangan rakyat maupun musuh. Terusir dari Zhejiang, para bajak laut mengalihkan sasarannya ke Fujian dimana lebih dari 10.000 bajak laut membentuk pertahanan di daerah pesisir dari Fu’an di utara hingga ke Zhangzhou di selatan. Juli 1562, Qi memimpin 6000 pasukan elitnya ke Fujian. Dalam waktu dua bulan, mereka menghancurkan tiga sarang bajak laut di Hengyu, Liutian dan Lindun.

Namun tentaranya juga menderita kerugian korban jiwa yang cukup besar karena perang dan wabah penyakit. Setelah gangguan bajak laut di Fujian teratasi, Qi kembali ke Zhejiang untuk menata ulang pasukannya. Bajak laut Jepang memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Fujian lagi, kali ini mereka berhasil menduduki Xinghua (sekarang Putian). April 1663, Qi memimpin 10.000 tentaranya ke Fujian dan merebut kembali Xinghua. Setahun kemudian, kemenangan berturut-turut atas bajak laut menandakan masalah di Fujian teratasi. Pertempuran terakhir yang menentukan dengan bajak laut terjadi di pulau Nan’ao, dekat perbatasan Fujian dan Guangdong pada September 1565. Disana Qi bekerjasama lagi dengan rekan lamanya, Yu Dayou menghancurkan sisa-sisa bajak laut Jepang yang bersekongkol dengan bajak laut Tiongkok.

Tugas di perbatasan utara dan hari-hari terakhir sunting

Setelah mengatasi bajak laut Jepang, Qi dipanggil ke Beijing untuk dipindahkan ke utara memperkuat pertahanan Tembok Besar, khususnya di Shanhaiguan dan Juyongguan. Dia membangun menara-menara jaga di sepanjang tembok besar. Setelah dua tahun pembangunan, akhirnya menara-menara jaga selesai dibangun sehingga pertahanan utara semakin kuat. Selama 16 tahun Qi bertugas di pos itu tidak pernah ada seorang Mongolpun berani menerobos perbatasan.

Qi juga ambil bagian dalam pelatihan militer selama sebulan penuh untuk 100.000 tentara selama musim dingin tahun 1572. Buku kemiliteran yang di tulisnya berdasarkan pengalaman-pengalamannya, Catatan Pelatihan Militer menjadi referensi berharga bagi pemimpin-pemimpin militer setelahnya.

Tahun 1583, Qi dipensiunkan dari tugasnya menjaga perbatasan utara dan mendapat tugas menjaga pos tidak penting di Guangdong. Kesehatannya yang memburuk memaksanya mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman. Tahun 1588 pahlawan besar itu akhirnya wafat sehari sebelum tahun baru Imlek.

Latar belakang sejarah sunting

Situasi dalam negeri sunting

Qi lahir pada masa pemerintahan Kaisar Jiajing dari Dinasti Ming (Zhu Houcong) yang terobsesi dengan Taoisme. Sang kaisar banyak menghabiskan waktunya dalam mencari cara untuk hidup abadi dan seorang yang gila harta. Hampir semua urusan administrasi negara, termasuk urusan militer ditangani oleh perdana mentrinya, Yan Song, salah satu pejabat terkorup dalam sejarah Tiongkok. Setiap tahunnya, seperenam dari anggaran militer dimasukkan ke kantongnya sendiri. Akibatnya proyek-proyek militer banyak yang terhambat dan desersi merajarela.

Ketika Qi mengambil alih jabatan komandan di Shandong, dia hanya memiliki kurang dari 10.000 orang, padahal catatan resmi mencatat ada 30.000 orang. Para desertir ini kebanyakan adalah orang-orang muda dan kuat namun tidak disiplin, mereka buas seperti serigala dan harimau terhadap rakyat jelata, tapi nyali mereka ciut dan kabur seperti tikus kalau bertemu musuh. Pembangunan fasilitas militer juga banyak yang terbengkalai.

Yan Song bersama kroni-kroninya yang sama-sama korup menyingkirkan siapapun yang tidak tunduk pada mereka. Mereka juga menyalahkan orang lain atas ketidakbecusan diri sendiri, terutama orang-orang yang dianggap mengancam kedudukan mereka. Setelah kemenangan di Cengang, jasa Qi bukan saja tidak dihargai, dia bahkan hampir dipecat karena difitnah berkomplot dengan bajak laut Jepang.

Bajak laut Jepang sunting

Disaat yang sama Jepang sedang dalam masa kacau karena perang saudara, masa itu dikenal dengan periode Sengoku/negara-negara berperang. Para samurai yang kalah perang dan kehilangan wilayah akhirnya menjadi bajak laut dan sering merampok di daerah pesisir timur Tiongkok. Hal ini sangat mengganggu perdagangan dan ekonomi Tiongkok, rakyat pun resah karena mereka selalu dihantui pembantaian dan perampokan. Upaya yang dilakukan orang-orang Tiongkok seperti Qi Jiguang cukup efektif untuk memberantas kekacauan yang dilakukan mereka. Namun masalah ini baru benar-benar beres ketika Jepang mulai memasuki periode Azuchi-Momoyama dimana situasi disana mulai stabil dan dan bajak laut berkurang.

Konflik dengan Mongol sunting

Pemberontakan syal merah pimpinan Zhu Yuanzhang melawan Dinasti Yuan pada pertengahan abad 14 berhasil mengusir Mongol kembali ke utara keluar dari Tembok Besar. Sejak saat itu Dinasti Ming berdiri. Namun, Zhu tidak membasmi Mongol secara tuntas sehingga mereka masih menjadi gangguan di perbatasan utara Tiongkok selama 200 tahun ke depan. Ketika Qi sedang mengikuti ujian kerajaan di Beijing tahun 1550, Altan Khan, pemimpin sayap kanan dari Mongolia Timur menerobos pertahanan utara dan hampir menduduki Beijing. Tahun 1571, pemerintah Tiongkok menganugerahkan gelar Adipati Shunyi padanya dan menjalin hubungan dagang dengan mereka. Baru setelah itu Altan Khan melarang anak buahnya menyerang perkampungan orang Tiongkok. Namun pemimpin sayap kiri Mongol, Jasaghtu Khan mencoba menguji pertahanan Qi Jiguang, tetapi tidak berhasil.

Warisan sunting

Buku-buku karya Qi Jiguang sunting

Qi menulis dua buku tentang strategi kemiliteran berdasarkan pengalamannya yaitu Ji Xiao Xin Shu (紀效新書) dan Catatan Pelatihan Militer (練兵實紀). Qi bukan saja seorang jendral yang brilian, dia juga menulis banyak puisi dan prosa yang disunting menjadi satu buku yaitu Koleksi Ruang Zhizhi yang dinamai menurut nama ruang belajarnya selama bertugas di Jizhou.

Guang bing sunting

 
Sebuah kompia dari Kepulauan Matsu, Taiwan

Menurut legenda, ada sebuah kue dadar keras yang disebut guang bing (光餅 secara harafiah artinya kue guang) yang populer di provinsi Fujian, kue ini dinamai sesuai nama Qi Jiguang. Ketika Qi memimpin tentaranya ke Fujian tahun 1562, bajak laut Jepang yang mendengar namanya pun sudah takut menghadapinya dengan taktik perang gerilya. Agar pasukan Qi bisa bertahan berhari-hari dalam misi perburuan di medan yang sulit, rakyat Fujian membuatkan untuk mereka kue berbentuk pipih seukuran kepalan tangan. Di tengah kue itu diberi lubang agar bisa diuntai bersamaan sehingga mudah dibawa-bawa. Untuk memperingati kemenangan pasukan Qi atas bajak laut Jepang, kue ini dinamai guang bing.

Pranala luar sunting

  • Yu Peiming, Qi Jiguang, Jiang Su Ren Min Chu Ban She, 1983
  • C.C. Low, Seri Cerita Strategi Pertempuran Sun Tzu: Seni Berperang 4, PT. Elex Media Komputindo, 1995