Prion (/ˈprɒn/ simak) adalah pembawa penyakit menular yang hanya terdiri dari protein. Prion tidak dapat dimusnahkan dengan panas, radiasi, atau formalin. Prion menyebabkan berbagai penyakit degenerasi seperti kuru, scrapie, Creutzfeldt-Jakob disease (CJD), dan bovine spongiform encephalopathy (BSE atau sapi gila). Semua penyakit ini menyerang otak atau sistem saraf lainnya, mematikan, dan belum dapat disembuhkan. Namun sebuah vaksin telah dikembangkan untuk tikus dan sedang dikembangkan lebih lanjut untuk manusia.

"Lubang-lubang" mikroskopik ini adalah karakteristik jaringan yang terinfeksi prion, mengakibatkan malafungsi seluler.

Dikisahkan, pada tahun 1997, ilmuwan Amerika Serikat, Stanley B. Prusiner meraih Hadiah Nobel atas penelitiannya terhadap prion ini. Tidak seperti viroid, prion merupakan protein yang tidak dapat bereplikasi namun dapat mengubah protein inang menjadi protein versi prion. Secara hipotetis prion merupakan versi salah lipat dari suatu protein yang umumnya terdapat pada sel otak. Jika prion melakukan kontak dengan protein "kembarannya" (yang normal) prion dapat menginduksi protein normal menjadi bentuk abnormal. Reaksi ini terus berlanjut hingga prion terakumulasi dalam jumlah yang membahayakan, lalu menyebabkan malafungsi seluler dan akhirnya menyebabkan terjadinya degenerasi otak.[1]

Protein prion sunting

Penemuan sunting

Pada tahun 1950-an, Carleton Gajdusek memulai penelitian yang menemukan bahwa kuru dapat ditularkan ke simpanse, mungkin disebabkan patogen baru. Penemuan ini memenangkan Penghargaan Nobel tahun 1976. Selama tahun 1960-an, dua peneliti dari London, ahli biologi radiasi Tikval Alper dan biofisikawan John Stanley Griffith, mengembangkan hipotesis bahwa ensefalopati spongiform menular disebabkan oleh patogen yang hanya terdiri dari protein.[2][3] Penelitian sebelumnya oleh E.J. Field tentang kuru menemukan bukti penularan polisakarida yang hanya menjadi menular setelah dilakukan transfer ke inang baru.[4][5] Griffith mengusulkan tiga cara protein berubah menjadi patogen.

Pada hipotesis pertama, ia mengusulkan bahwa jika protein tersebut merupakan hasil dari gen yang normalnya tidak muncul, adanya protein tersebut mengaktifkan gen yang tidak aktif. Hasilnya adalah proses yang tidak bisa dibedakan dengan replikasi, karena gen akan menghasilkan protein tersebut, dan kemudian membangunkan gene pada sel lain.

Hipotesis kedua adalah basis dari teori prion modern, dan mengusulkan bahwa bentuk abnormal protein dapat mengubah protein normal dengan tipe yang sama menjadi abnormal, dan menghasilkan replikasi.

Hipotesis ketiga mengusulkan bahwa terdapat antibodi yang merupakan antigennya sendiri, sehingga antibodi akan membuat produksi antibodi yang lebih banyak. Meski demikian, Griffith mengakui bahwa hipotesis ketiga sangat tidak mungkin karena tidak adanya respons imun.[6]

Francis Crick mengakui kemungkinan hipotesis protein milik Griffith untuk penyebaran penyakit scrappie pada edisi kedua dari buku "Central dogma of molecular biology"(1970) miliknya.[7]

Pada tahun 1982, Stanley B. Prusiner dari Universitas California menyatakan bahwa timnya telah memurnikan protein yang diduga menular, yang tidak muncul pada inang sehat, meski mereka baru dapat memisahkan protein tersebut hingga dua tahun setelah pengumuman Prusiner.[8] Protein tersebut dinyatakan prion, untuk "Proteinacious infectious particle", dari kata protein dan infection. Ketika prion ditemukan, hipotesis pertama Griffith yang menyatakan bahwa protein adalah gen yang tidak muncul, menjadi dugaan banyak orang. Walau demikian, akhirnya ditemukan bahwa protein tersebut terdapat pada inang normal tetapi dalam bentuk yang berbeda.[9]

Setelah penemuan penemuan protein sama namun beda bentuk pada individu yang tidak terinfeksi, protein tersebut diberi nama Prion Protein (PrP), dan hipotesis kedua Griffith yang menyatakan bahwa bentuk abnormal protein dapat mengubah protein dengan tipe sama menjadi abnormal, menjadi teori dominan. Prusiner memenangkan Penghargaan Nobel pada tahun 1997 karena riset prion.[10]

Struktur sunting

Protein yang membentuk prion (PrP) ditemukan di seluruh tubuh, bahkan pada orang dan binatang yang sehat. Namun, PrP yang menular memiliki struktur yang berbeda dan tahan terhadap protease, enzim yang secara normal mampu menghancurkan protein. Bentuk normal dari protein disebut PrPC, sedangkan yang menular disebut disebut PrPSc - C merujuk pada cellular(sel), sedangkang Sc merujuk pada scrappie, penyakit prion pada domba.

PrPC sunting

PrPC adalah protein normal yang terdapat pada membran sel. Memiliki 2019 asam amino (pada manusia), satu ikatan disulfida, massa molekul 35-36 kDa dan struktur alpha helical. Normal protein tidak dapat dipisahkan menggunakan teknik sentrifugasi.

PrPSc sunting

Bentuk PrP yang dapat menular, PrPSc atau disebut juga prion, mampu mengubah PrPC normal menjadi bentuk menular dengan mengubah bentuk. Hal ini mengubah bagaimana protein terhubung. PrPSc selalu menyebabkan penyakit prion. Meskipun struktur 3D PrPSc belum diketahui, PrPSc memiliki perbandingan β-sheet lebih tinggi dibandingkan struktur α-helix. Sekumpulan PrPSc membentuk serat amyloid, yang kemudian menjadi plak. Protein dapat terikat di ujung serat, menyebabkan serat terus tumbuh. Pada umumnya, hanya molekul PrP dengan urutan asam amino yang serupa dengan PrPSc dapat terikat dengan serat. Meski demikian, penularan antar spesies dapat terjadi.

Fungsi normal PrP sunting

Fungsi fisiologis protein prion masih belum benar-benar diketahui. Walaupun data dari eksperimen in vitro menunjukkan fungsi yang beragam, penelitian pada rekayasa tikus, dengan cara menonaktifkan PrP, hanya memberikan sedikit informasi karena binatang tersebut hanya menunjukkan kelainan kecil. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa adanya protein PrP di sekitar sel saraf menyebabkan perbaikan myelin pada sel schwann dan hilangnya protein prp menyebabkan hilangnya myelin.

PrP dan kematian sel terkendali sunting

MAVS, RIP1, dan RIP3 adalah protein mirip prion yang ditemukan pada bagian lain dari tubuh. mereka juga polimerisasi menjadi "filamentous amyloid fibers" yang memulai kematian sel terkendali jika terjadi infeksi virus untuk menghindari penyebaran virion ke sel sekelilingnya.

PrP dan memori jangka panjang sunting

Peninjauan bukti pada tahun 2005 menunjukkan bahwa PrP mungkin memiliki fungsi normal untuk menjaga memori jangka panjang. Penelitian taun 2004 menemukan bahwa tikus yang kekurangan gen untuk sel normal protein PrP menunjukkan perubahan potensiasi jangka panjang pada hipokampus.

Penyakit prion dan cara penularan sunting

Prion menyebabkan penyakit neurogeneratif dengan membentuk plak pada sistem saraf yang disebut amyloid, yang mengganggu struktur jaringan normal. Gangguan ini ditandai dengan "lubang" pada jaringan yang menghasilkan bentuk spons karena pembentukan vakuola pada sel saraf. Perubahan histologis termasuk astrogliosis dan tidak adanya reaksi inflamasi. Meskipun masa inkubasi untuk penyakit prion sangat lama (5 hingga 20 tahun), ketika gejala mulai muncul, keadaan dapat memburuk dengan cepat, menyebabkan kerusakan otak dan kematian. Gejala neurogereatif termasuk kovulsi, demensia, ataksia (disfungsi keseimbangan dan koordinasi), serta perubahan kepribadian dan perilaku.

Semua penyakit prion yang telah diketahui mematikan dan tidak dapat disembuhkan. Namun, vaksin yang dikembangkan pada tikus mungkin memberikan jalan untuk vaksin yang mampu melawan infeksi prion pada manusia. Pada tahun 2006, peneliti mengumumkan bahwa mereka mampu melakukan rekayasa genetika pada sapi, dengan menghilangkan gen yang memproduksi prion. Secara teori, membuat sapi tersebut kebal terhadap BSE, berdasarkan penelitian yang menunjukkan tikus tanpa protein prion kebal terhadap infeksi protein prion scrappie. Pada tahun 2013, sebuah penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 2.000 orang di Inggris Raya mungkin memiliki protein prion menular yang menyebabkan vCJD.

Banyak spesies mamalia yang dapat terjangkit penyakit prion, karena protein prion (PrP) serupa pada semua mamalia. Karena adanya perbedaan kecil pada PrP antar spesies, sangat jarang penyakit prion ditularkan antar spesies. Namun, penyakit manusia vCJD(variant Creutzfeldt-Jakob Disease) diduga disebabkan oleh prion yang umumnya menyerang sapi, menyebabkan BSE (Bovine spongiform encephalopathy) dan ditularkan melalui daging. Hingga 2015 semua penyakit prion diduga hanya disebabkan oleh protein prion PrP. Pada tahun 2015, penelitian menunjukkan MSA (multiple system atrophy) dapat ditularkan dan diduga disebabkan oleh prion baru, alpha-synuclein.

Protein prion yang normal disebut PrPC (Cellular), sedangkan yang membawa penyakit disebut PrPSc (Scrappie), sesuai dengan penyakit pertama yang dihubungkan prion dan neurogeneratif. Struktur pasti prion masih belum diketahui, meskipun mereka dapat dibentuk dengan kombinasi PrPC, polyadenylic acid, dan lipid dalam reaksi PMCA (protein misfolding cyclic amplification). Metode ini menunjukkan bahwa replikasi protein tidak tergantung pada adanya asam nukleat.

Penularan sunting

Penyakit prion diketahui muncul melalui tiga cara: tertular, keturunan, atau sporadis.

Metode utama penularan pada hewan adalah melalui makanan. Terdapat gagasan bahwa prion berada di lingkungan melalui sisa mayat hewan dan lewat urin, air liur, atau cairan tubuh lainnya. Prion kemudian berada di tanah dengan melekat pada lempung dan mineral lain.

Tim Universitas California, dipimpin oleh pemenang penghargaan nobel Stanley Prusiner, menunjukkan bukti bahwa penularan prion dapat terjadi melalui pupuk. Hal ini menimbulkan kemungkinan terjadinya penularan secara luas. Pada Januari 2011 terdapat penelitian yang menemukan bahwa prion dapat menular melalui udara dalam bentuk partikel aerosol. Penelitian tersebut fokus terhadap penularan scrapie menggunakan tikus laboratorium. Bukti awal yang dirilis tahun 2011 mendukung gagasan bahwa prion dapat ditularkan melalui menotropin yang dibuat dari urin, digunakan untuk terapi kesuburan.

Prion dalam tanaman sunting

Pada tahun 2015, peneliti di Universitas Texas Health Science Center menemukan bahwa tanaman dapat menjadi vektor prion. Ketika peneliti memberi makan hamster rumput yang tumbuh pada tanah tempat rusa meninggal karena CWD (Chronic Wasting Disease) dikubur, hamster tersebut menjadi terjangkit CWD. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa prion melekat pada tanaman, kemudian terbawa ke struktur batang dan daun, kemudian dimakan oleh herbivora. Terdapat kemungkinan prion terakumulasi secara progresif di lingkungan.

Fungi sunting

Protein yang menunjukan perilaku mirip prion juga ditemukan di fungi, yang membantu dalam memahami prion pada mamalia. Prion pada fungi tampak tidak menimbulkan penyakit bagi inang. Pada khamir, pelipatan ulang protein dibantu oleh chaperone protein seperti Hsp104.

Pengobatan sunting

Tidak ada pengobatan efektif untuk penyakit prion. Uji klinis pada manusia belum berhasil dan terhalang oleh jumlah penyakit prion yang jarang. Meski banyak pengobatan menunjukkan potensi di laboratorium, belum ada yang efektif secara langsung.

Referensi sunting

  1. ^ Irnaningtyas. 2013. Biologi untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Penerbit Erlangga.
  2. ^ Alper, Tikvah; Cramp, W. A.; Haig, D. A.; Clarke, M. C. (1967-05). "Does the Agent of Scrapie Replicate without Nucleic Acid ?". Nature (dalam bahasa Inggris). 214 (5090): 764–766. doi:10.1038/214764a0. ISSN 1476-4687. 
  3. ^ Griffith, J. S. (1967-09). "Nature of the Scrapie Agent: Self-replication and Scrapie". Nature (dalam bahasa Inggris). 215 (5105): 1043–1044. doi:10.1038/2151043a0. ISSN 1476-4687. 
  4. ^ Field, E. J. (1966-09-03). "Transmission experiments with multiple sclerosis: an interim report". Br Med J (dalam bahasa Inggris). 2 (5513): 564–565. doi:10.1136/bmj.2.5513.564. ISSN 0007-1447. PMC 1943767 . PMID 5950508. 
  5. ^ Adams, D. H.; Field, E. J. (1968-09-28). "THE INFECTIVE PROCESS IN SCRAPIE". The Lancet (dalam bahasa English). 292 (7570): 714–716. doi:10.1016/S0140-6736(68)90754-X. ISSN 0140-6736. 
  6. ^ Bolton, David (2004-01-01). Prions, the Protein Hypothesis, and Scientific Revolutions. hlm. 21–60. ISBN 978-0-8247-4083-2. 
  7. ^ Crick, Francis (1970-08). "Central Dogma of Molecular Biology". Nature (dalam bahasa Inggris). 227 (5258): 561–563. doi:10.1038/227561a0. ISSN 1476-4687. 
  8. ^ Prusiner, S. B. (1982-04-09). "Novel proteinaceous infectious particles cause scrapie". Science (dalam bahasa Inggris). 216 (4542): 136–144. doi:10.1126/science.6801762. ISSN 0036-8075. PMID 6801762. 
  9. ^ Atkinson, Caroline J.; Zhang, Kai; Munn, Alan L.; Wiegmans, Adrian; Wei, Ming Q. (2016-01-02). "Prion protein scrapie and the normal cellular prion protein". Prion. 10 (1): 63–82. doi:10.1080/19336896.2015.1110293. ISSN 1933-6896. PMC 4981215 . PMID 26645475. 
  10. ^ "The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1997". NobelPrize.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-06.