Surili jawa

(Dialihkan dari Presbytis comata)

Surili jawa[2] (Presbytis comata) adalah spesies monyet Dunia Lama terancam yang endemik pada sebagian pulau Jawa, Indonesia. Hewan ini menyukai hutan primer dan penghuni pohon (arboreal).

Surili Jawa
Presbytis comata Edit nilai pada Wikidata
Status konservasi
Genting
IUCN18125 Edit nilai pada Wikidata
Taksonomi
KelasMammalia
OrdoPrimates
SuperfamiliCercopithecoidea
FamiliCercopithecidae
GenusPresbytis
SpesiesPresbytis comata Edit nilai pada Wikidata
(Desmarest, 1822)
Tata nama
ProtonimSemnopithecus comatus Edit nilai pada Wikidata
Distribusi

Edit nilai pada Wikidata

Terdapat dua subspesies surili jawa: Presbytis comata comata yang ditemukan di Jawa Barat dan Presbytis comata fredericae yang menghuni hutan Jawa Tengah.

Deskripsi

sunting

Keberadaan Lutung Surili ditemukan di Jawa tengah pada lokasi tertentu di hutan pegunungan, yakni di Gunung Sindoro dan Sumbing, Gunung Slamet, Pegunungan Dieng, dan Gunung Merbabu.[3] Berdasarkan ciri morfologinya, tubuh surili mirip dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dengan panjang ekor surili 560-720 mm, tetapi kepala surili berbentuk bulat, hidung pesek dan perut besar. Rambutnya runcing dan alisnya bulu kaku ke arah depan.[4] Lutung Surili merupakan spesies primata dari golongan monyet pemakan daun.[5] Distribusi dari habitat Lutung surili tersebar di Ujung Kulon, Ranca Danau, Gunung Halimun, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Tilu.[6]

Adanya perusakan alam dan habitat akibat kegiatan manusia serta adanya perburuan liar. Menurut data yang tersedia, habitat surili telah menyusut sekitar 96% dari area awal dari 43,273 km² menjadi 1,608 km², hal ini diperkuat oleh penelitian lain yang menyatakan bahwa lutung surili termasuk dalam daftar 25 spesies satwa terancam punah prioritas untuk peningkatan populasi sebesar 10% pada tahun 2015 hingga 2019.[7][8] Primata ini telah diklasifikasikan sebagai spesies yang sangat terancam (Endangered).[9] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 2016 telah menetapkan surili dalam kategori Appendix II.[10] Upaya peningkatan populasi dibutuhkan dan pemberian perhatian khusus oleh konservasionis kepada surili tersebut dengan berbagai cara sebagai contoh yaitu dengan pendataan dan monitoring populasi, perlindungan spesies, dan pengelolaan habitat.

Morfologi

sunting

Surili (Presbytis comata) merupakan hewan endemik pulau jawa yang memiliki ciri morfologi mirip dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), perbedaannya terletak pada bentuk kepala surili yang bulat, perut besar, dan berhidung pesek.[11] Selain monyet ekor panjang ada beberapa spesies satwa yang mirip dengan surili, yaitu P. hosei dan T. auratus.[12]

Primata yang pemalu dan memiliki sifat yang sensitif ini dapat hidup di berbagai macam ekosistem baik itu hutan primer maupun sekunder mulai dari hutan pantai, bakau, dan pegunungan hingga ketinggian sekitar 2.000 mdpl. Surili bergerak mencari makan dan berpindah tempat dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya. Surili merupakan satwa pemakan buah, daun, dan biji-bijian.[8] Surili memiliki rambut yang runcing dan alis dengan rambut yang kaku ke arah depan dan iris mata berwarna coklat.[4]

Surili dewasa memiliki ukuran tubuh yang berkisar antara 42-61 cm. Berat surili jantan dewasa sekitar 6,5 kg dan untuk surili betina dewasa sekitar 6,7 kg. Susunan gigi surili yaitu 2:1:2:3 pada bagian rahang atas dan rahang bawah.[13] Rambut bagian kepala hingga bagian punggung surili dewasa berwarna hitam atau coklat dan keabuan, warna rambut jambul dan bagian kepala berwarna hitam. Sedangkan rambut berwarna putih tumbuh pada bagian dagu, dada, perut, bagian dalam lengan dan kaki, serta ekor. Berbeda dengan surili dewasa, pada bayi surili yang baru lahir umumnya memiliki warna rambut putih terang seperti kapas. Surili memiliki warna kulit muka dan telinga agak kemerahan. Surili melakukan perkawinan dengan cara multimate. Masa kehamilan pada surili diperkirakan sekitar 196-210 hari. Surili jantan dan betina memiliki ukuran umur kematangan seksual yang berbeda. Kematangan seksual pada surili jantan yaitu ketika mencapai umur 3 tahun sedangkan surili betina mengalami kematangan seksual pada umur 3-4 tahun.[8]

Karakteristik Perilaku

sunting

Lutung surili melakukan aktivitasnya diatas pohon dan beraktivitas pada saat siang hari sedangkan pada saat malam hari mereka istirahat sehingga ia dimasukan kedalam satwa arboreal dan diurnal.[14]

Aktivitas Surili mulai pukul 06.00, surili mencari makan pagi hari yang dilakukan relatif cepat dengan berpindah-pindah di pohon, selain itu mereka juga melakukan aktivitas vokalisasi (morning call) yang akan dilakukan beberapa kali oleh individu jantan dewasa yang memimpin pergerakan mereka. Mereka akan berhenti dan makan ketika menemukan pohon pakan. Selain itu surili juga akan beristirahat selama 2-3 jam hingga tengah hari. Surili terlihat aktif kembali melakukan aktivitas makan ketika sore hari (sekitar pukul 16.00), aktivitas makan akan meningkat terutama menjelang malam hari, saat surili akan istirahat. Aktivitas makan pada saat hari mulai gelap (pukul 18.30) akan menurun ditandai dengan pergerakan yang lambat dari pohon ke pohon lainnya dan bila cuaca sudah gelap surili menghentikan seluruh aktivitasnya.[15]

Makanan dari surili adalah dedaunan sehingga ia dimasukan dalam golongan monyet pemakan daun. Lutung Surili memakan buah dan juga pucuk daun muda kemlandingan sebagai sumber pakannya.[16]

Selain itu seperti yang terdapat dalam penelitian di Taman Nasional Gunung Merbabu preferensi makanan lutung surili yaitu seperti, kemlandingan gunung, kesowo, pasang, krembi, lotrok, wilodo dan sengiran yang merupakan tumbuhan pakan bagi Lutung Surili di Taman Nasional Gunung Merbabu.[3][16] Selain itu mereka juga mengonsumsi jenis tumbuhan asing invasif yakni kerinyu (Chromolaena odorata) dan akasia (Acacia decurrens).[3] Kelompok Lutung Surili dapat ditemui pada tipe hutan alam primer dan sekunder, serta bahkan pada hutan tanaman.[7] Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa ketersediaan pakan surili juga berada pada bagian tepi areal perbatasan hutan dan perkebunan dan kemungkinan sumber pakan juga kemungkinan melimpah.[14] Cara hidup primata ini adalah berkelompok. Ukuran kelompok juga dipengaruhi oleh faktor seperti kompetisi dan perubahan habitat, sumber pakan, juga sistem kelompok sosial. Lutung surili merupakan salah satu agen yang berperan dalam penyebaran biji, sehingga ia memiliki peran penting dalam menjaga keberadaan pohon di dalam hutan.

Persebaran

sunting

Surili (Presbytis comata) merupakan primata endemik dari Jawa.[11] Surili dapat ditemukan mulai dari bagian barat hingga bagian tengah Pulau Jawa mulai dari ketinggian 600 mdpl hingga diatas 2500 mdpl.[17][18] Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, surili dapat ditemukan pada kawasan hutan Taman Nasional Ujung Kulon, Cagar Alam Kawah Kamojang, Cagar Alam Situ Patenggang, Cagar Alam Gunung Tukung Gede, Taman Nasional Gunung Halimun, Taman Nasional Gunung Ciremai, Gunung Tilu, Gunung Kamojang, dan beberapa kawasan hutan di Kabupaten Kuningan.[6][19][20] Sedangkan di Jawa Tengah, surili dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) dan beberapa hutan di sekitar Gunung Sindoro, Sumbing, Slamet, dan Dieng.[21][7][16][17][22][8][3] Surili cenderung banyak ditemukan pada tipe hutan alam primer, hutan alam sekunder, dan hutan tanaman. Di Taman Nasional Gunung Merbabu, satwa ini menjadi spesies prioritas yang dilindungi. Meskipun begitu, informasi mengenai penyebaran satwa ini di TNGMb masih terbilang kurang.[7]

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa surili merupakan hewan yang hidup secara berkelompok.[23] Satu kelompok surili beranggotakan mulai dari 3 individu hingga 12 individu, meskipun ada kasus dimana ditemukan surili yang hidup secara soliter. Ukuran kelompok ini juga bervariasi tergantung dari kondisi habitat dan lingkungan sekitarnya. Surili merupakan hewan yang sensitif terhadap manusia, sehingga satwa ini cukup jarang ditemukan pada lokasi yang berbatasan dengan kawasan yang padat penduduk,[23][14] Meskipun begitu, hasil penelitian lainnya juga mengungkapkan bahwa surili lebih menyukai tinggal pada bagian tepi hutan.[18][24] Berdasarkan penelitian yang ada, dapat disimpulkan bahwa kepadatan surili bervariasi mulai dari 2 individu/Ha hingga 35 individu/Ha. Meskipun demikian, data yang sudah ada masih belum cukup akurat. Hal tersebut dikarenakan metode yang digunakan peneliti dalam menginventarisasi populasi surili saling berbeda, dan apabila digabungkan maka hasilnya justru akan menjadi bias. Beberapa waktu terakhir, populasi surili di Jawa mulai menurun. Di TNGMb, populasi surili diperkirakan menurun dikarenakan kerusakan habitat dan lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan.[25] Pada habitat yang berada di luar kawasan konservasi, banyak gangguan yang muncul seperti banyaknya para pemburu babi hutan yang masuk ke hutan bersama dengan anjingnya. Terdapat juga beberapa kasus dimana ada masyarakat yang lalu-lalang di dalam hutan menggunakan motor trail.[11] Suara mesin motor trail, gonggongan anjing, dan kehadiran para manusia tersebut menyebabkan habitat surili terganggu sehingga surili sulit dijumpai.

Status Konservasi

sunting

Surili (Presbytis comata) didaftarkan sebagai spesies yang terancam punah (endangered) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2020 dengan populasi Surili dewasa berkisar dari 1.400-1.500 individu.[9] Dalam status konservasi oleh IUCN, spesies endangered merupakan spesies yang diperkirakan akan punah dalam waktu dekat. Survei yang dilakukan terhadap spesies ini pada tahun 2006 dan 2008 di Gunung Slamet, diperkirakan terdapat 1.172-1.621 individu Surili dengan kisaran kerapatan sebesar 5,9 - 8,16 individu/km2.[22] Populasi Surili sudah berkurang sejak tahun 2007 pada Gunung Slamet yang merupakan salah satu habitat asli Surili diperkirakan telah berkurang dari kisaran 219 individu menjadi 72 individu dan dengan kisaran kerapatan 5,96 individu/km2 menjadi 1,96 individu/km2.[26]

Penurunan populasi Surili dapat disebabkan dari berbagai macam faktor. Faktor bencana alam dan kegiatan manusia seperti aktivitas penebangan hutan, konversi lahan hutan, dan hal lain yang dapat mengurangi habitat asli Surili sehingga Surili tidak mendapat tempat tinggal dan sumber pakan dengan baik.[27] Tercatat sejak tahun 2000 dikabarkan habitat alami dari Surili mengalami penurunan sebesar 96% yakni dari 43.274 km² menjadi 1.608 km².[28]

Upaya Konservasi

sunting

Sebagai satwa prioritas yang termasuk kategori terancam punah dengan ancaman kerusakan habitat, pelestarian surili sangat perlu dilakukan. Punahnya jenis ini akan berdampak pada perubahan terhadap populasi jenis lain atau proses ekosistemnya.[29] Proses regenerasi hutan juga akan terdampak karena surili memiliki peran penting yakni sebagai agen penyebar biji.[28] Ancaman dan gangguan pada habitat merupakan salah satu penyebab jarangnya ditemukan surili karena rendahnya jumlah individu dan ukuran kelompok. Hal ini karena surili merupakan primata yang sensitif terhadap perubahan maupun gangguan pada habitat aslinya.[30] Salah satu ancaman dan gangguan tersebut pernah terjadi di kawasan konservasi Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat. Pada awal tahun 2000-2004 pernah terjadi penjarahan di beberapa blok yang mengakibatkan hilangnya pohon-pohon besar dengan tajuk lebat dan berkesinambungan yang dimanfaatkan surili untuk kebutuhan aktivitas sehari-harinya, serta adanya aktivitas manusia yang melakukan pengambilan hasil hutan.[30] Kerusakan hutan juga akan mempengaruhi kondisi komunitas tumbuhan yang dibutuhkan surili. Kegiatan konversi pada sebagian besar areal hutan alam yang tersisa akan menurunkan keanekaragaman tumbuhan di ekosistem tersebut. Individu surili menjadi jarang dijumpai dan populasi surili cenderung memiliki ukuran kelompok yang lebih kecil dan kepadatan yang rendah apabila menempati hutan yang terganggu, hal tersebut terjadi karena kualitas habitat mempengaruhi kebutuhan hidup satwa liar.[31] Salah satu cara untuk dapat mempertahankan populasi surili adalah dengan melakukan pengelolaan, perbaikan, dan pengayaan pada habitat surili serta monitoring secara berkelanjutan untuk memantau perkembangan upaya konservasi yang dilakukan.[30] Upaya pembinaan habitat pada lokasi-lokasi yang terfragmentasi dilakukan dengan memperkaya jenis-jenis tumbuhan, terutama yang dimanfaatkan oleh surili. Jenis-jenis pohon yang dimanfaatkan surili antara lain, huru (Cinnamomum parthenoxylon), ki ara (Ficus annulata), hampelas (Ficus ampelas), dan leungsir (Pometia pinnata). Jenis pohon tersebut perlu dilakukan penanaman untuk memudahkan persebaran surili dan dapat tersebar secara merata. Hal ini karena surili merupakan primata arboreal yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di pepohonan, serta membutuhkan jenis pohon dengan tajuk lebar yang berkesinambungan dan strata yang tinggi sebagai cover dan shelter.[32] Selain itu, perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang konservasi.[33]

Referensi

sunting
  1. ^ Eudey, A. & Members of the Primate Specialist Group (2000). Presbytis comata. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Diakses 2007-05-29.
  2. ^ Groves, C.P. (2005). Wilson, D.E.; Reeder, D.M., ed. Mammal Species of the World: A Taxonomic and Geographic Reference (edisi ke-3). Baltimore: Johns Hopkins University Press. hlm. 171. ISBN 0-801-88221-4. OCLC 62265494. 
  3. ^ a b c d Syarifah. 2013. Seleksi Habitat oleh Rekrekan (Presbytis fredericae Sody, 1930) di Taman Nasional Gunung Merbabu [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  4. ^ a b Hidayat R. 2013. Pendugaan parameter demografi dan pola penggunaan ruang surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
  5. ^ Rowe N. 1996. The pictorial guide to the living primates. New York: Pogonias Press.
  6. ^ a b Alikodra HS. 2010. Teknik pengelolaan satwaliar dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Bogor: IPB Press.
  7. ^ a b c d Handayani KP, Latifiana K. 2019. Distribusi spasial lutung surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Merbabu. Di dalam: Dwibadra D, Murniati DC, Rachmatika R, Damayanto IPGP, Inayah N, Sukmawati JG, Herlambang AEN, Dalimunthe SH, Fefirenta AD, Rahayu RS, Prawestri AD, editor. Riset sebagai fondasi konservasi dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar lestari. Prosiding Seminar Nasional Konservasi dan Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar; 2018 November 27; Bogor, Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm 118-125.
  8. ^ a b c d Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  9. ^ a b [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. IUCN Red List of Threatened Species [Internet]. [diakses 7 November 2021]. Tersedia pada link www.iucnredlist.org.
  10. ^ [CITES] The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2016. Appendices I, II, and III [Internet]. [diakses 7 November 2021]. Tersedia pada link https://cites.org/eng/app/appendices.php
  11. ^ a b c Widiana A, Hasby RM, Uriawan W. 2018. Distribusi dan estimasi populasi surili (Presbytis comata) di Kamojang Kabupaten Garut Jawa Barat. Journal of Biology. 11(2): 117-121.
  12. ^ Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
  13. ^ Ankle-Simons F. 2000. Primate Anatomy. London (UK) : Elsevier.
  14. ^ a b c Supartono T, Prasetyo LB, Hikmat A, Kartono AP. 2016a. Respon ukuran kelompok terhadap efek tepi dan kepadatan populasi surili (Presbytis comata) pada hutan dataran rendah dan perbukitan di Kabupaten Kuningan. Jurnal Zoo Indonesia. 25 (2): 107-121.
  15. ^ Hilmi. 2016. Aktivitas Harian Ketua Kelompok Surili (Presbytis comata) di Cagar Alam Situ Patengan Ciwidey Jawa Barat [disertasi]. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati. https://etheses.uinsgd.ac.id/4639/
  16. ^ a b c Haryoso A. 2011. Pendugaan Tempat-tempat yang Menarik (Point of Interest) untuk Melihat Lutung Abu-abu (Presbytis fredericae) sebagai Objek Daya Tarik Wisata di Taman Nasional Gunung Merbabu [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  17. ^ a b Nijman V. 1997. Occurrence and distribution of grizzled leaf monkey Presbytis comata (Desmarest, 1822) (Mammalia: Primates: Cercopithecidae) in Java, Indonesia. Contributions to Zoology. 66: 247–256.
  18. ^ a b Supartono T, Prasetyo LB, Hikmat A, Kartono AP. 2016b. Spatial distribution and habitat use of Javan Langur (Presbytis comata): Case study in District of Kuningan. Procedia Environment Sciences. 33: 340-353.
  19. ^ Heriyanto NM, Iskandar S. 2004. The population status and habitat of grizzled-leaf monkey Presbytis comata Desmarest in Kalajeten-Karangranjang forest complex, Ujung Kulon National Park. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 1 (1): 89-98.
  20. ^ Oktadiyani P. 2006. Alternatif strategi pengelolaan taman wisata alam Kawah Kamojang Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
  21. ^ Fithria A. 2012. Penggunaan Habitat oleh Rekrekan (Presbytis fredericae) di Lereng Gunung Slamet Jawa Tengah [disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  22. ^ a b Setiawan A, Wibisono Y, Nugroho TS, Agustin IY, Imron MA, Pudyatmoko S, Djuwantoko. 2010. Javan surili: a survey population and distribution in Mount Slamet Central Java, Indonesia. Jurnal Primatologi Indonesia. 7 (2): 51-54.
  23. ^ a b Ruhiyat Y. 1983. Socio-ecological study of Presbytis aygula in West Java. Primates. 24 (3): 344-359.
  24. ^ Supriatna J, Tilson JR, Gurmaya KJ, Manangsang J, Wardojo W, Sriyanto A, Teare A, Castle K, Seal U. 1994. Javan Gibbon and Langur Population and Habitat Viability Analysis. Bogor: Taman Safari Indonesia.
  25. ^ Siregar DI. 2017. Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan pada Habitat Optimum Lutung Surili (Presbytis fredericae Sody, 1930) di Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  26. ^ Abimanyu TL, Mardiastuti A, Prasetyo LB, Iskandar E. 2021. Distribution and population estimate of grizzled leaf monkeys in Mount Slamet, Central Java, Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. (Vol. 771, No. 1, p. 012041). IOP Publishing.
  27. ^ Sulistyadi E. 2012. Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet. Ekologi Gunung Slamet. Jakarta: LIPI Press.
  28. ^ a b Kusumanegara A. 2017. Pemodelan spasial kesesuaian habitat surili di Taman Nasional Gunung Ciremai [tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
  29. ^ Roberge J, Angelstam. 2004. Usefulness of the umbrella species concept as a conservation tool. Conservation Biology. 18: 76-85.
  30. ^ a b c Puspita D. 2019. Karakteristik habitat, populasi, dan sebaran surili (Presbytis comata Desmarest 1822) di cagar alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
  31. ^ Tobing ISL. 1999. Pengaruh perbedaan kualitas habitat terhadap perilaku dan populasi primata di kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
  32. ^ Iskandar E. 2007. Habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
  33. ^ Sari DRK. 2010. Analisis kesesuaian habitat preferensi surili di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat [tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.