Positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar hanya berasal dari ilmu alam dan tidak berkaitan dengan metafisika.[1] Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Istilah positivisme juga dikenal sebagai salah satu paradigma klasik dalam metodologi penelitian ilmiah.[2]

Menurut Comte, teori sains dapat disusun mulai dari tingkat yang sederhana dan universal yang selanjutnya sampai kepada tahapan yang lebih kompleks dan terbatas. Susunan tingkatan ini dapat terus dikembangkan sehingga masing-masing sains yang baru akan tergantung pada tahap sebelumnya. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[3]

Etimologi

sunting

Kata positivisme di bahasa Indonesia diserap dari kata positivism dalam bahasa Inggris, yang juga merupakan pengadopsian dari kata positivisme dalam bahasa Prancis yang memiliki arti serupa. Positivisme diambil dari kata positif, yang dalam konteks filsafatnya bermakna sebagai suatu peristiwa/realitas yang faktual (benar-benar terjadi) dan dapat dialami (pengalaman indrawi).[4] Ini berarti, yang disebut sebagai positif bertentangan dengan sesuatu yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari sesuatu yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia (metafisika).

Sedangkan secara terminologi, dapat disimpulkan bahwa positivisme adalah suatu paham yang dalam "pencapaian kebenaran"-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di luar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Intinya, positivisme membatasi diri pada pengalaman objektif saja.[5]

Latar belakang

sunting

Kieran Ergan menyebutkan bahwa asal-usul positivisme dapat dilacak kembali sejauh pemikiran Plato yang mendeskripsikan tentang perselisihan antara filsafat dan puisi. Kemudian disusun ulang oleh Wilhelm Dilthey sebagai pertentangan antara natural sciences (Naturwissenschaften) dan human sciences (Geisteswissenschaften).[6][7][8][9]

Di awal abad ke-19, kemajuan dalam ilmu alam mendorong para filsuf untuk menggunakan metode ilmiah pada bidang selain penelitian. Para pemikir seperti Henri de Saint-Simon, Pierre-Simon Laplace dan Auguste Comte percaya bahwa metode saintifik dan pengamatan indrawi, harus menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran.[10]

Dalam ilmu-ilmu sosial

sunting

Positivisme menjadi akar dari ilmu-ilmu sosial, karena kelahiran ilmu tersebut dilandasi oleh paradigma ini.[11] Sama halnya dengan positivisme, tokoh sentral yang menyumbang kontribusi signifikan dalam perkembangan Sosiologi dan ilmu sosial jugalah seorang Auguste Comte. Maka dari itu, Sosiologi di zamannya sangat dipengaruhi oleh cara-cara berpikir positivistik dan kuantitatif. Pandangan positivistik Comte terhadap ilmu pengetahuan mensyaratkan beberapa komponen yang harus terpenuhi seperti objektif, fenomenalisme, reduksionisme, dan naturalisme.

Kritik

sunting

Secara historis, positivisme telah dikritik karena mereduksi berbagai macam fenomena alam yang terjadi di dunia ini, yang dijelaskan secara sederhana hanya melalui penjelasan fisiologis, fisik, atau kimia," "proses sosial dapat direduksi menjadi hubungan antar individu dan tindakan individu," dan "organisme biologis dapat direduksi menjadi serangkaian sistem fisik."[12]

Pemikiran bahwa tidak ada satu pun hal yang absolut, termasuk hukum fisika dan ilmu-ilmu sosial yang jauh lebih relatif dan dinamis, telah disampaikan oleh G. B. Vico pada tahun 1725.[13][14] Vico, yang pemikirannya sangat kontras dengan gerakan positivistik, menegaskan keunggulan ilmu pikiran manusia (humaniora) bahwa ilmu pengetahuan alam tidak mampu menjelaskan apa pun kepada kita tentang hakikat berbagai macam hal.[15]

Wilhelm Dilthey berjuang keras melawan asumsi bahwa hanya penjelasan yang berasal dari sains yang valid. Ia mengulangi argumen Vico bahwa penjelasan ilmiah tidak mencapai sifat internal fenomena dan pengetahuan humanistiklah yang memberi kita wawasan tentang pikiran, perasaan, dan keinginan. Dilthey sebagian dipengaruhi oleh historisisme Leopold von Ranke (1795–1886). Pandangan yang saling bertentangan mengenai positivisme tercermin baik dalam perdebatan lama (lihat perselisihan Positivisme) maupun perdebatan terkini mengenai peran sains yang tepat dalam ruang publik. Sosiologi publik—terutama sebagaimana dijelaskan oleh Michael Burawoy—berpendapat bahwa sosiolog harus menggunakan bukti empiris untuk menunjukkan masalah-masalah masyarakat sehingga masalah-masalah tersebut dapat diubah.

Lihat pula

sunting
  • Asas-asas positivisme logis terbagi menjadi 4 bagian: 1. empirisme, 2. positivisme, 3. Logika, 4. Kritik Ilmu
  • Positivisme pada hakikatnya juga adalah ajaran sosial atau pandangan dunia, yang menganggap mungkin bahwa masyarakat yang lebih baik itu dapat dibentuk. Ilmu pengetahuan, dalam pandangan Comte, patut menjadi pemimpin dalam usaha ini. para pengikut positivisme logis menganut kayakinan ini. hal ini tercermin dalam pemakaian kata 'positivisme' dalam nama aliran filsafat ilmu pengetahuan.
  • Positivisme Logis

Referensi

sunting
  1. ^ Rahim, F. R., dan Sari, S. Y. (2019). Perkembangan Sejarah Fisika. Purwokerto: CV IRDH. hlm. 451. ISBN 978-623-7343-14-1. 
  2. ^ Bungin, Burhan (2020). Post-Qualitative Social Research Methods: kuantitatif-kualitatif mixed methods positivism-postpositivism-phenomenology- postmodern filsafat, paradigma, teori, metode dan laporan. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP. hlm. 38. ISBN 978-623-384-191-7. 
  3. ^ Nugroho, Irham (Desember 2016). "POSITIVISME AUGUSTE COMTE: ANALISA EPISTEMOLOGIS DAN NILAI ETISNYA TERHADAP SAINS" (PDF). CAKRAWALA. XI (2): 173. 
  4. ^ Bertens, Kees (1978). Ringkasan sejarah filsafat. Penerbitan Yayasan Kanisius. 
  5. ^ Bertens, Kees (1975). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS. hlm. 72. ISBN 979-413-083-4. 
  6. ^ Egan, Kieran (1997). The educated mind: how cognitive tools shape our understanding. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-19036-5. 
  7. ^ "History of Psychiatry and Medical Psychology: With an Epilogue on Psychiatry ... - Google Books". web.archive.org. 2016-06-17. Diakses tanggal 2025-03-19. 
  8. ^ Brown, R. H. (1976-1977 Winter). "Wilhelm Dilthey forerunner of humanist social thought". The International Journal of Social Psychiatry. 22 (4): 235–243. doi:10.1177/002076407602200401. ISSN 0020-7640. PMID 799624. 
  9. ^ Rickman, H. P. (1960). "The Reaction against Positivism and Dilthey's Concept of Understanding". The British Journal of Sociology. 11 (4): 307–318. doi:10.2307/587776. ISSN 0007-1315. 
  10. ^ Hobsbawm, Eric J. (2000). The Age of Capital, 1848-1875 (dalam bahasa Inggris). Phoenix Press. ISBN 978-1-84212-015-6. 
  11. ^ Bungin, Burhan (2020). post-qualitative social research methods: kuantitatif-kualitatif mixed methods positivism-postpositivism-phenomenology-postmodern filsafat, paradigma, teori, metode dan laporan. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP. hlm. 38. ISBN 9786233841917. 
  12. ^ Bullock, Alan; Trombley, Stephen; Lawrie, Alf (2000). The New Fontana Dictionary of Modern Thought (dalam bahasa Inggris). HarperCollins. ISBN 978-0-00-686383-0. 
  13. ^ "History of Psychiatry and Medical Psychology: With an Epilogue on Psychiatry ... - Google Books". web.archive.org. 2016-05-16. Diakses tanggal 2025-03-20. 
  14. ^ Vico, Giambattista (2023). Principi di scienza nuova (dalam bahasa Italia). Mondadori. ISBN 978-88-04-77401-3. 
  15. ^ Morera, Esteve (1990). Gramsci's Historicism: A Realist Interpretation (PDF) (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 13. ISBN 978-0-415-03540-8.