Posepa'a adalah sebuah tradisi berupa atraksi saling tendang yang biasanya dilakukan antara Orang Liya. Atraksi ini dulu adalah bentuk seleksi prajurit khusus di kerajaan liya, yg kemudian dalam perkembangannya tradisi ini menjadi tradisi turun temurun masyarakat Liya, dalam pelaksanaannya atraksi ini di bagi menjadi 2 Kelompok Masyarakat Liya yaitu Amai Wawo sebutan untuk masyarakat yang berdomisili dari wilayah timur lapangan tempat diadakannya Posepa'a dengan Amai Woru sebutan untuk masyarakat yang berdomisili dari wilayah barat lapangan. Tradisi ini dilakukan setiap tahunnya oleh masyarakat Liya, kecamatan Wangi-wangi selatan, kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dengan tujuan untuk memeriahkan hari raya lebaran dan juga sebagai ajang untuk berkumpul dan saling meminta maaf.rorr

Sejarah sunting

Posepa'a dalam bahasa Liya Togo diartikan sebagai "saling sepak" dengan kata dasar ‘Sepa’ yang artinya tendang. Penambahan awalan 'po' dan akhiran ‘a' pada kata Posepa’a mengandung arti bahwa "melakukan".[1] Tradisi ini diperkenalkan sejak zaman kesultanan pada pertengahan Abad ke XIII [2] dengan cara beradu kekuatan beladiri berupa gerakan menendang dengan menggunakan kedua kaki yang dilakukan oleh laki-laki dewasa maupun anak-anak yang diadakan di sore hari menjelang buka puasa. Gerakan Posepa’a diambil dari karakter Lakina Liya yaitu Talo-talo (La Kundari) yang sering menggunakan kaki kanan dan kirinya secara bergantian ketika bertarung memukul mundur musuh dari wilayah kekuasaannya.

Ttradisi Posepa’a ini diperkirakan disebarkan oleh para pengawal dan/atau pengikut setia si Panjonga yang telah menetap di Keraton Liya setelah si Panjonga menjadi Raja Liya sekitar tahun 1258-1296 dan berpindah ke Buton. Posepa'a dilaksanakan setiap memasuki bulan Ramadan sebagai olah raga fisik, mental, dan melatih kanuragan di saat perut terasa lapar akibat berpuasa.[2]

Pada zaman dahulu, Posepa'a ini merupakan ajang seleksi bagi calon prajurit Benteng Liya sebelum mereka diterjunkan ke medan perang. Sebelum aksi Posepa’a dimulai, terlebih dahulu ditampilkan tari perang oleh pemangku adat suku Liya Wakatobi yang disebut Tari Honari Mosega yang merupakan simbol perang melawan hawa nafsu saat Ramadan.

Anak-anak, remaja dan dewasa bisa mengikuti ritual adat ini. Pada awal Ramadhan, 1-10 ramadan biasanya diikuti oleh anak-anak, 11-20 ramadan biasanya diikuti oleh remaja dan 21-29/30 ramadan diikuti oleh orang dewasa. Satu syawal (Idul Fitri) adalah puncak dari acara ritual ini dan dilakukan oleh semua peserta baik anak-anak, remaja, dan dewasa.

Tata cara sunting

Posepa'a dilakukan dengan cara saling berpegangan tangan sesama pasangan di anggota kelompok yang disebut 'ndai'. Kemudian setiap kelompoknya yang dinamai kelompok Amai Wawo (Timur) dan kelompok Amai Woru (Barat) akan saling menendang dan mengejar pasangan lawannya hingga kelompok lawan menjadi tercerai berai. Pemenang ditentukan oleh Kelompok yang menyisakan pasangan yang bertahan, tetap utuh dan saling berpegangan tangan hingga akhir.[1]

Posepa’a dimulai ketika salah satu pihak (Wafo atau Woru) mendorong jagoannya yaitu dua orang yang saling berpegangan maju ke depan. Kemudian, pasangan tersebut atau orang-orang dari golongannya berteriak, “Pokontamo” yang berarti ajakan supaya segera berpegangan karena acara Posepa’a akan segera dimulai. Pasangan yang maju ke depan dan berteriak tadi berarti pihak yang menantang, dan siap melayani saling tendang jika ada pihak lawan yang datang dengan catatan bahwa lawan harus seimbang. Jika pasangan penantang menganggap bahwa lawan mempunyai kekuatan yang lebih, maka mereka akan mundur dan mencari pasangan yang dianggap memiliki kekuatan yang sama. Namun, apabila lawan yang datang dianggap seimbang, maka Posepa’a pun akan segera dimulai.

Salah satu dari masing-masing pasangan akan melakukan “pigi” yaitu maju kedepan mendahului pasangannya (tetapi masih berpegangan) untuk memulai menendang (sepa). Tendangan pertama yang akan dia lakukan disebut Bagaigu. Tendangan ini dilakukan pada posisi sedikit maju kedepan dari pasangannya dan menendang menyibak dari arah samping. Sasaran yang dituju adalah bagian pelipis, rahang, atau dada bagian samping.

Setelah lawan melakukan tendangan Bagaigu, maka lawan pun akan membalas dengan tendangan “hekafi” atau “tuduhi”. Hekafi adalah tendangan menyilang ke arah depan, biasanya sasaran yang menjadi target adalah dada atau rahang, tetapi ketika lawan berada dalam posisi miring; sedangkan tuduhi adalah tendangan lurus ke depan biasanya sasarannya adalah dada atau paha untuk melumpuhkan lawan. Masing-masing jenis tendangan, apakah bagaigu, hekafi, atau tuduhi, memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kemampuan memilih tiga jenis tendangan tersebut akan memberikan keunggulan dalam melakukan Posepa. Selain itu, kecocokan dengan pasangan juga akan menentukan.

Satu aturan khusus dalam tradisi ini adalah tidak boleh ada orang atau juri bahkan pihak keamanan di dalam arena. Jika terjadi keributan atau kekacauan dalam permainan antara para peserta, maka mereka sendiri (para peserta) yang harus mengamankannya, tetapi dengan aturan bahwa orang yang mengamankan tersebut tidak boleh lagi berpegangan tangan dengan pasangannya.

Apabila ada pasangan lawan yang tiba-tiba masuk ke arena untuk membantu karena melihat temannya terdesak dan membantu temannya di sebut dengan Soboti.

Mitos sunting

Terdapat kepercayaan bahwa lapangan Mesjid Liya Togo tempat acara Posepa'a ini berlangsung, telah dipagari do'a oleh para leluhur Liya Togo agar tidak ada peserta Posepa'a yang akan mengalami cedera berat dan meninggal dunia. Hal ini dikarenakan Posepa'a terlihat sebagai permainan yang keras atau kasar akibat gerakan menendangnya.[3] Namun, terdapat aturan yang dipahami dan disepakati oleh peserta yang dipandu oleh pawang, agar tidak ada peserta yang mengalami cidera berat. Ketika tradisi Posepa'a telah selesai, maka para peserta akan saling berjabat tangan dan meminta maaf satu sama lain.

Nilai-nilai sunting

Tradisi Posepa'a memiliki nilai-nilai: [2]

  • Nilai religius
  • Nilai kepemimpinan
  • Nilai perjuangan
  • Nilai sportivitas
  • Nilai kepatuhan
  • Nilai kesabaran
  • Nilai kebersamaan

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Admin (2017-09-03). "Mengenal Budaya Posepa'a Sebagai Acuan Mempertahankan Kekuasaan". SultraKini.com. Diakses tanggal 2022-08-20. 
  2. ^ a b c Asis, Abdul (2016). "TRADISI PERMAINAN POSEPA'A PADA MASYARAKAT LIYA DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI". Jurnal Walasuji. 7 (2): 461–475. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-17. Diakses tanggal 2022-08-20. 
  3. ^ "Posepaa, Tradisi Merayakan Lebaran di Liya". Suarakendari.com. 2022-05-03. Diakses tanggal 2022-08-20.