Polindes, atau akronim dari pondok bersalin desa, adalah salah satu bentuk partisipasi atau peran serta masyarakat dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk KB yang mana tempat dan lokasinya berada di desa. Polindes hanya dapat dirintis di desa yang telah mempunyai bidan yang tinggal di desa tersebut. Sebagai bentuk peran serta masyarakat, polindes seperti halnya posyandu, dikelola oleh pamong setempat, dalam hal ini kepala desa melalui LKMD nya.

Polindes di Desa Parik Sabungan, Siborongborong, Tapanuli Utara
Sebuah polindes di Gampong Lubuk Layu, Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan.

Namun, berbeda dengan posyandu yang pelaksanaan pelayanannya dilakukan oleh kader dan didukung oleh petugas puskesmas, polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung pada keberadaan bidan. Hal ini karena pelayanan di polindes merupakan pelayanan profesi kebidanan.

Kader masyarakat yang paling terkait dengan pelayanan di polindes adalah dukun bayi. Karena itu, polindes dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam pertolongan persalinan. Kader posyandu dapat pula berperan di polindes seperti perannya dalam pelaksanaan kegiatan posyandu, yaitu dalam penggerakan sasaran dan penyuluhan. Selain itu bila memungkinkan, kegiatan posyandu dapat dilaksanakan pada tempat yang sama dengan polindes

Dari pengertian di atas dapat dikaji beberapa makna polindes sebagai berikut:

  1. Polindes merupakan bentuk peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak (KIA), termasuk KB.
  2. Polindes dapat dirintis di desa yang telah mempunyai bidan yang tinggal di desa tersebut. Peran serta masyarakat dalam pengembangan polindes berupa penyediaan tempat untuk pelayanan KIA (khususnya pertolongan persalinan), pengelolaan polindes, penggerakan sasaran dan dukungan terhadap pelak­sanaan tugas bidan di desa. Peran bidan di desa, yang sudah diperlengkapi oleh pemerintah dengan alat-alat yang diperlukan, adalah memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat di desa tersebut.
  3. Polindes sebagai bentuk peran serta masyarakat, secara organisatoris berada di bawah Seksi 7 LKMD; namun secara teknis berada di bawah pembinaan dan pengawasan puskesmas, karena bidan dalam menja­lankan tugasnya di desa merupakan bagian dari perpanjangan tangan puskesmas.
  4. Tempat yang disediakan oleh masyarakat untuk polindes dapat berupa ruang/kamar untuk pelayanan KIA, termasuk tempat untuk pertolongan persalinan, yang dilengkapi dengan sarana air bersih. Dengan demikian, penyediaan tempat untuk polindes tidak pertu selalu harus berupa pembangunan gedung baru, bila hal itu tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat karena keterbatasan dana. Polindes dapat menggunakan bangunan lama yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan polindcs. Apapun bentuk tempatnyn, letak polindes diharapkan tidak berjauhan dengan tempat tinggal bidan di desa, bahkan sedapat mungkin bidan diberi tempat tinggal bersebelahan dengan polindes.
  5. Mengingat tanggung-jawab penyediaan dan pengelolaan tempat serta dukungan operasional berasal dari masyarakat, maka perlu diadakan kesepakatan antara wakil masyarakat, melalui wadah LKMD, dengan bidan di desa tentang pengaturan biaya operasional dan tarif pertolongan persalinan di polindes.
  6. Dalam memberikan pelayanan pertolongan persalinan di polindes, bidan di desa diharapkan sekaligus memanfaatkannya untuk membina kemitraan dukun bayi dengan bidan, selain sebagai kesempatan untuk melakukan pembinaan persalinan “3 bersih” bagi dukun bayi.
  7. Dengan adanya polindes, tidak berarti bahwa bidan di desa hanya membe­rikan pelayanan di dalam gedung polindes. Bidan masih tetap mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dukun yang mempunyai ibu hamil bayi berisiko yang tidak melakukan pemeriksaan ulangan, sasaran yang belum memeriksakan diri, mendatangi dukun hayi yang tidak pernah datang ke po1indes dan tugas-tugas luar gedung lainnya. Pemberian pertolongan persa­linan di polindes hendaknya tidak dipaksakan, baik oleh bidan maupun oleh pamong setempat. Bila ibu ingin melahirkan di rumah, yang tempatnya memenuhi persyaratan sebagai tempat persalinan yang bersih, maka keinginan tersebut hendaknya dihormati dan dipenuhi.

Dengan demikian, pengembangan polindes merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan sebagai berikut.

  1. Kesenjangan geografis dalam memperoleb pertolongan persalinan yang aman dan bersih. Dengan adanya polindes, maka masyarakat di pedesaan dapat memperoleh pelayanan tersebut di desanya.
  2. Kesenjangan informasi mengenai kesehatan ibu dan anak, serta perilaku hidup sehat pada umumnya. Dengan adanya bidan di desa, maka masyarakat dapat sering bertemu dan mendapat informasi yang dibutuhkan untuk menjaga diri agar tetap sehat.
  3. Kesenjangan sosiobudaya antara petugas kesehatan dan masyarakat yang dilayaninya. Dengan menetapnya bidan di desa, hubungan bidan dengan anggota masyarakat, tokoh masyarakat, kader dan dukun bayi akan semakin akrab, sehingga bidan diharapkan dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat desa.
  4. Kesenjangan ekonomi dalam mendapatkan pelayanan kebidanan profesional. melalui wadah LKMD. Maka diharapkan sasaran dapat menjangkau pelayanan yang dibutuhkan. Selain itu, masyarakat yang tidak mampu diharapkan dapat terjangkau melalui pengorganisasian dana sehat atau pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM).
  5. Kesenjangan dalam memperoleh pelayanan rujukan. Dengan adanya bidan di desa yang diharapkan mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatan kebidanan dan bayi baru lahir, maka ibu atau bayi baru lahir dapat ditangani dan dirujuk lebih dini, sehingga kemungkinan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya lebih besar.[1]

Referensi sunting

  1. ^ Makna dan Tujuan Polindes