Pikukuh Badui adalah sebuah larangan adat yang menjadi pedoman bagi aktivitas masyarakat Badui yang berlandaskan pada ajaran Sunda Wiwitan.[1] Masyarakat Badui tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan.[1]

Logo Banten

Segala aktivitas masyarakat Badui harus berlandaskan rukun kepercayaan Sunda Wiwitan (rukun Badui) yang merupakan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan yaitu ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka.[1] Ajaran tersebut harus ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu’un.[1] Pu’un harus dihormati dan diikuti segalan aturannya karena Pu’un adalah keturunan Batara.[1]

Demografi sunting

 
Wilayah Tatar Sunda

Di Provinsi Banten terdapat sebuah komunitas yang hidup sangat sederhana dengan menggantungkan hidup terutama dari bercocok tanam padi dan tanpa menghiraukan dengan perkembangan zaman.[2] Masyarakat yang sangat tertutup dari pengaruh budaya luar ini, dikenal dengan sebutan masyarakat Badui, urang Badui atau urang Kanekes.[2]

Komunitas ini mendiami lereng pegunungan Kendeng dengan luas wilayah sekitar 5.101,85 hektare.[2] Secara administratif terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.[2] Berkisar 160 km sebelah barat Kota Metropolitan Jakarta.[2] Sebutan orang Badui pada awalnya bukanlah berasal dari warga Badui sendiri.[2] Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut 'Badui' kepada orang-orang Kanekes yang tidak beralas kaki, pantang naik kendaraan, pantang sekolah formal, dan suka berpindah¬-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab.[2]

Urang Badui, baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri Urang Badui adalah Urang Sunda.[3] Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal di luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan.[3] Adapun istilah Sunda Wiwitan bagi orang Badui Kanekes, pengertiannya tidak hanya terbatas pada etnik atau sub-etnik, tapi juga meliputi geografis, sejarah, bahasa, budaya termasuk adat dan kepercayaan.[3]

 
Masyarakat Badui

Penduduk masyarakat Badui berjumlah 10.879 jiwa, laki-laki 5.465 jiwa dan perempuan 5.414, berdasarkan Data Sensus Penduduk Desa Kanekes tanggal 28 Februari 2008.[4] Dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk sangat pesat sebesar 1.79 % per tahun.[4] Seiring pertumbuhan warga yang pesat, perubahan lahan tempat tinggal (teritorial) pun terus menerus berkembang meluas.[4] Dalam Peraturan Daerah No. 23 Tahun 2001 berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal warga, secara administratif masyarakat Badui dibagi menjadi dua: Badui Dalam dan Badui Luar.[4] Masyarakat Badui dalam yang berjumlah 1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga kampung: Cikeusik, Cikertawa dan Cibeo.[4] Masyarakat Badui Luar yang berjumlah 9.826 jiwa menempati tanah yang didiami 57 kampung dan 5 babakan (pemekaran kampung).[4] Pada tahun sebelumnya, 2003 diketahui bahwa masyarakat Badui Luar hanya memiliki 45 kampung dan 6 babakan.[4]

Pembagian sunting

 
Struktur pemerintahan badui

Masyarakat Badui terbagi atas tiga kelompok, yakni tangtu, panamping dan dangka.[2] Meski demikian pengelompokkan yang sering digunakan oleh masyarakat umum hanya dua, yaitu Badui Dalam (padanan untuk tangtu) dan Badui Luar (padanan untuk panamping dan dangka).[2]

Pikukuh, aturan adat mutlak sunting

Pandangan hidup (world view) umat Sunda Wiwitan berpedoman pada pikukuh, aturan adat mutlak.[4] Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana seharusnya (wajibnya) melakukan perjalanan hidup sesuai amanat karuhun, nenek moyang.[4] Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktivitas-aktivitas religi masyarakat Badui.[4] Hingga kini pikukuh Badui tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang.[4] Buyut adalah segala sesuatu yang melanggar pikukuh.[4] Buyut tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat Badui dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya.[4] Buyut tentang tindakan masyarakat Badui, sebagai berikut:

 
Salah satu peninggalan benda bersejarah di Banten yakni, Hadiah sultan banten
buyut nu dititipkeun ka puun (buyut yang dititipkan kepada puun) 
nagara satelung puluh telu (negara tiga puluh tiga) 
bangsawan sawidak lima (sungai enam puluh lima) 
pancer salawe nagara (pusat dua puluh lima Negara) 
gugung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancur) 
lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak) 
larangan teu meunang ditempak (larangan tak boleh dilanggar) 
buyut teu meunang dirobah (buyut tak boleh diubah) 
lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong) 
pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung) 
nu lain kudu dilainkeun yang bukan harus ditiadakan) 
nu ulah kudu diulahken (yang lain harus dipandang lain) 
nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan) 
mipit kudu amit (mengambil harus pamit) 
ngala kudu menta (mengambil harus minta) 
ngeduk cikur kudu mihatur (mengambil kencur harus memberitahukan yang punya) 
nyokel jahe kudu micarek (mencungkil jahe harus memberi tahu) 
ngagedag kudu beware (mengguncang pohon supaya buahnya berjatuhan harus memberitahu terlebih dulu) 
nyaur kudu diukur (bertutur harus diukur) 
nyabda kudu diunggang (berkata harus dipikirkan supaya tidak menyakitkan) 
ulah ngomong sageto-geto (jangan bicara sembarangan) 
ulah lemek sadaek-daek (jangan bicara seenaknya) 
ulah maling papanjingan (jangan mencuri walaupun kekurangan) 
ulah jinah papacangan (jangan berjinah dan berpacaran) 
kudu ngadek sacekna (harus menetak setepatnya) 
nilas saplasna (menebas setebasnya) 
akibatna (akibatnya) 
matak burung jadi ratu (bisa gagal menjadi pemimpin) 
matak edan jadi menak (bisa gila menjadi menak) 
matak pupul pengaruh (bisa hilang pengaruh) 
matak hambar komara (bisa hilang kewibawaan) 
matak teu mahi juritan (bisa kalah berkelahi) 
matak teu jaya perang (bisa kalah berperang) 
matak eleh jajaten (bisa hilang keberanian) 
matak eleh kasakten (bisa hilang kesaktian)[4] 
 
Salah satu alat musik tradisional Badui yakni, Angklung Badui

Pikukuh Badui mengatur juga mengenai kelembagaan yang ada di dalam masyarakat Badui yakni lembaga adat Badui dipimpin oleh tiga orang Pu'un.[2] Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga kampung keramat di Badui Dalam, yaitu Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana.[2] Pu'un adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga kelestarian pancer bumi dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak sebagai panduan perilaku.[2]

Selain itu juga, ketentuan adat dalam masyarakat Badui yaitu larangan adat yang merupakan pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar.[1] Isi larangan adat masyarakat Badui tersebut yaitu:

  • dilarang mengubah jalan air seperti membuat kolam ikan atau drainase;
  • dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah;
  • dilarang masuk ke hutan titipan untuk menebang pohon;
  • dilarang menggunakan teknologi kimia;
  • dilarang menanam budidaya perkebunan;
  • dilarang memelihara binatang berkaki empat semisal kambing dan kerbau;
  • dilarang berladang sembarangan;
  • dilarang berpakaian sembarangan.[1]

Penyampaian buyut karuhun dan pikukuh karuhun kepada seluruh masyarakat Badui dilakukan secara lisan dalam bentuk ujuran-ujaran di setiapa upacara-upacara adat.[1] Ujaran tersebut adalah prinsip masyarakat Badui.[1]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i "Pikukuh Adat". http://kebudayaanindonesia.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-12. Diakses tanggal 12 Mei 2014.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  2. ^ a b c d e f g h i j k l "Sebuah Analisis Ringkas Tentang Kanekes". http://staff.blog.ui.ac.id. Diakses tanggal 12 Mei 2014.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  3. ^ a b c "Sastera Lisan Baduy". http://sundanet.com. Diakses tanggal 12 Mei 2014.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n "Sunda Wiwitan Baduy". http://www.nimusinstitute.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-12. Diakses tanggal 12 Mei 2014.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)