Perwara adalah asisten pribadi perempuan di istana, yang bertugas mengiring seorang sentana putri atau bangsawati.[1] Menurut sejarah, perwara di Eropa adalah bangsawati yang lebih rendah derajat keningratannya daripada bangsawati yang diiringnya. Sekalipun menerima atau tidak menerima imbalan jasa, seorang perwara lebih dipandang sebagai sekretaris, pegawai istana, atau panakawan majikannya ketimbang sebagai pelayan.

Putri Tatyana Aleksandrovna Yusupova, salah seorang perwara di istana Kekaisaran Rusia

Di berbagai belahan dunia, para perwara, yang kerap disebut perdaraan atau dayang-dayang, pada praktiknya adalah pelayan atau pacal, bukan bangsawati, tetapi tugasnya kurang lebih sama dengan perwara, yaitu menjadi pengiring dan sekretaris majikannya. Di lingkungan istana, tempat poligami diamalkan, dayang-dayang secara resmi disiapkan untuk diajak raja naik ke ranjang, dan dapat saja menjadi garwa, permaisuri, gendak, atau selir raja.

Istilah perwara kerap dijadikan sebutan generik tanpa membedakan pangkat, gelar, maupun fungsi resminya, sering pula hanya sekadar sebutan kehormatan. Seorang sentana putri mungkin saja leluasa dan mungkin pula tidak leluasa memilih perwara, dan sekalipun leluasa, perempuan-perempuan yang layak dijadikan perwara biasanya tidak lepas dari pengaruh raja, orang tuanya, suaminya, atau menteri-menteri (seperti pada peristiwa Kemelut Bilik Peraduan).

Sejarah

sunting

Di Eropa, perkembangan jabatan perwara berkaitan erat dengan perkembangan majelis istana. Pada abad ke-9, sastrawan Hinkmar memaparkan seluk-beluk rumah tangga istana Kaisar Karel Gundul dari wangsa Karling di dalam risalah De Ordine Palatii yang ia tulis tahun 882. Ia menyebutkan bahwa selain menjalankan titah raja, para pegawai istana juga menjalankan titah permaisuri. Para permaisuri kulawangsa Merowing diduga sudah memiliki pelayan-pelayan pribadi, dan dapat dipastikan bahwa para permaisuri kulawangsa Karling pada abad ke-9 diiring serombongan pengawal dari kalangan bangsawan demi menunjukkan kemuliaan derajatnya, dan beberapa pegawai istana disebut sebagai pegawai permaisuri, alih-alih sebagai pegawai raja.[2]

Dapat dipastikan bahwa pada akhir abad ke-12, para Permaisuri Prancis sudah memiliki badan pengurus rumah tangga sendiri, dan para bangsawati disebutkan sebagai para perwara.[2] Meskipun demikian, badan pengurus rumah tangga permaisuri pada Abad Pertengahan biasanya beranggotakan segelintir orang saja, dan jumlah perwara yang sesungguhnya, bukan istri-istri bangsawan yang kebetulan sedang menemani suami bertugas di istana, sangat sedikit. Pada tahun 1286, Permaisuri Prancis hanya dilayani lima orang perwara, dan baru pada tahun 1316 badan pengurus rumah tangga permaisuri dipisahkan dari badan pengurus rumah tangga anak-anak raja.[2]

Peran para perwara di Eropa berubah drastis pada masa Renaisans, ketika tata krama baru kehidupan di lingkungan istana, yang juga memberikan peran penting kepada kaum perempuan, dikembangkan sebagai citra kekuasaan di istana-istana Italia. Tata krama baru ini menyebar dari Italia ke Burgundia, dan dari Burgundia menyebar ke Prancis dan semua istana di Eropa.[2] Majelis istana Kadipaten Burgundia adalah majelis istana yang paling rumit tata kramanya di Eropa pada abad ke-15, yang ditiru Prancis ketika majelis istana Prancis diperluas pada akhir abad ke-15, dan memperkenalkan jabatan-jabatan baru untuk laki-laki maupun perempuan sebagai tanggapan terhadap nilai-nilai luhur baru yang tercetus pada zaman Renaisans.[2]

Dari segelitir Femmes yang sudah berkeluarga dan Filles yang masih gadis, yang pada Abad Pertengahan berasal dari kalangan berderajat relatif rendah, jumlah perwara Prancis meningkat pesat, ditata ke dalam suatu hierarki yang maju dengan beberapa jabatan, serta diserahi peran berbobot dan bersifat publik untuk dijalankan di dalam lingkungan istana Prancis yang bertata krama baru pada permulaan abad ke-16.[2] Istana-istana lain di Eropa mengikuti jejak Prancis, sehingga sepanjang abad ke-16, terjadi peningkatan pemekaran majelis-majelis istana Eropa, tata kramanya pun semakin muluk, dan pada permulaan zaman modern, terjadi peningkatan jumlah jabatan, keanggotaan, maupun visibilitas pegawai istana perempuan.[2]

Meskipun demikian, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebanyakan istana Eropa mulai mengurangi jumlah pegawainya, sering kali lantaran keadaan ekonomi dan politik mutakhir ketika itu membuat citra istana menjadi kian dipertanyakan.

Tugas perwara berbeda-beda dari satu istana ke istana lain, tetapi fungsi-fungsi yang secara historis dijalankan oleh perwara mencakup luwes dalam beretiket, berbahasa asing, menari, menunggang kuda, memainkan alat musik, dan melukis di lingkungan istana; memastikan majikannya mengetahui segala kejadian dan mengenal semua orang penting di istana; menangani urusan tempat tinggal dan lemari pakaian majikannya; menjalankan tugas-tugas kesekretarisan; mengawasi para pelayan, anggaran, dan belanja; membacakan surat-surat kepada majikannya, dan menulis surat-surat mewakili majikannya; serta mengirim pesan rahasia apabila diperintahkan.[1]

Perwara menurut istana

sunting

Austria

sunting

Muangthai

sunting

Dalam fiksi

sunting

Baca juga

sunting

Kutipan

sunting
  1. ^ a b "Lady-in-waiting | Definition, History, & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-25. 
  2. ^ a b c d e f g Kolk 2009.

Rujukan

sunting
  • Akkerman, Nadine; Houben, Birgit, ed. (2013), The Politics of Female Households: Ladies-In-Waiting Across Early Modern Europe, Leiden: Brill [perlu rujukan lengkap]
  • Almanach de Gotha: annuaire généalogique, diplomatique et statistique, 1859  [perlu rujukan lengkap]
  • "Ladies-in-Waiting and Equerries", The Official website of the British Monarchy, diarsipkan dari versi asli tanggal 3 February 2016 
  • Chung, Priscilla Ching, Palace Women in the Northern Sung, hlm. 960–1126  [perlu rujukan lengkap]
  •   Chisholm, Hugh, ed. (1911), "Honourable", Encyclopædia Britannica, 13 (edisi ke-11), Cambridge University Press, hlm. 662–663 
  • Cruz, Anne J.; Stampino, Maria Galli, Early Modern Habsburg Women: Transnational Contexts, Cultural Conflicts, dynastic continuities  [perlu rujukan lengkap]
  • Ebrey, Patricia Buckley, Women and the Family in Chinese History  [perlu rujukan lengkap]
  • Duindam, Jeroen Frans Jozef, Vienna and Versailles: The Courts of Europe's Dynastic Rivals, 1550–1780  [perlu rujukan lengkap]
  • Kolk, Caroline zum (June 2009), "The Household of the Queen of France in the Sixteenth Century", The Court Historian, 14 (1)  [perlu rujukan lengkap]
  • Hsieh Bao Hua, Concubinage and Servitude in Late Imperial China  [perlu rujukan lengkap]
  • Gosman, Martin; Macdonald, Alasdair James; Vanderjagt, Arie Johan, Princes and Princely Culture: 1450–1650  [perlu rujukan lengkap]
  • Hamer, Dianne (2011), Sophie: biografie van Sophie van Würtemberg (1818–1877)  – op basis van brieven en dagboken [perlu rujukan lengkap]
  • Kägler, Britta, Frauen am Münchener Hof (1651–1756)  [perlu rujukan lengkap]
  • Kerkhoff, Jacqueline, Maria van Hongarije en haar hof 1505–1558: tot plichtsbetrachting uitverkoren  [perlu rujukan lengkap]
  • Lebra, Takie Sugiyama, Above the Clouds: Status Culture of the Modern Japanese Nobility  [perlu rujukan lengkap]
  • Lillehoj, Elizabeth, Art and Palace Politics in Early Modern Japan, 1580s–1680s  [perlu rujukan lengkap]
  • Mansel, Philip, The Eagle in Splendour: Inside the Court of Napoleon  [perlu rujukan lengkap]
  • Nagel, Susan (2008), Marie-Therese, Child of Terror: The Fate of Marie Antoinette's Daughter , NY: Bloomsbury: Macmillan, ISBN 978-1-59691-057-7 
  • Persson, Fabian (1999), Servants of Fortune. The Swedish Court between 1598 and 1721, Lund: Wallin & Dalholm, ISBN 91-628-3340-5 
  • Hauge, Yngvar; Egeberg, Nini (1960), Bogstad, 1773–1995, H. Aschehoug 
  • Walthall, Anne, Servants of the Dynasty: Palace Women in World History  [perlu rujukan lengkap]
  • Kjølsen, Klaus (2010), Det Kongelige Danske Hof 1660–2000  [perlu rujukan lengkap]
  • Rowley, G. G., An Imperial Concubine's Tale: Scandal, Shipwreck, and Salvation in Seventeenth-Century Japan  [perlu rujukan lengkap]
  • Rundquist, Angela (1989), Blått blod och liljevita händer: en etnologisk studie av aristokratiska kvinnor 1850–1900, Carlsson, Diss. Stockholm: Univ., Stockholm [perlu rujukan lengkap]
  • Seward, Desmond (2004), Eugénie. An empress and her empire, Stroud: Sutton, cop., ISBN 0-7509-2979-0 
  • Zedlitz-Trützschler, Robert (1924), Twelve Years at the Imperial German Court [perlu rujukan lengkap]

Pranala luar

sunting