Perjanjian Cirebon 1688

Pada tahun 1688, tepatnya pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan Residen Cirebon Kapten Willem de Ruijter,[1] terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog[2] untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata[3] (keluarga Gamel) untuk mewakilinya. Perjanjian ditandatangani pada hari rabu tanggal 18 Dzulkaidah tahun 1100 hijriah atau bertepatan dengan tanggal 8 September 1688 di keraton Kasepuhan[3]

Gubernur Jenderal Johannes Camphuys

Isi perjanjian[3] sunting

Dalam pasal ini dijanjikan dibuatnya niat jujur dan saling menyanggupi suatu persaudaraan, persahabatan yang murni dan persatuan yang baru tanpa perpecahan dan pembunuhan serta tanpa saling usir, lupa dan tidak diperingatkan. Semua perbedaan pendapat dalam kondisi sebelum ini boleh tetap ada, tetapi sebaliknya agar saling tolong menolong.

Dengan ini dibedakan bahwa Sultan Anom dan Panembahan Cirebon akan menghormati saudara tertua Sultan Sepuh sebagai anak pertama dari Panembahan Girilaya. Selain itu, Sultan Sepuh juga akan memperlakukan dan mengizinkan kedua saudaranya Sultan Anom dan Panembahan Cirebon dengan hormat dan santun bahwa mereka harus tetap dianggap sebagai anggota kerajaan Cirebon, mereka harus diberi pangkat dan kedudukan.

Dalam rapat, Sultan Sepuh berada di tengah diapit Sultan Anom di sebelah kanan dan Panembahan Cirebon di sebelah kiri. Selanjutnya di alun-alun Cirebon, tiap hari Sabtu akan diadakan kembali tradisi pemunculan raja dengan dua saudaranya diiringi dengan para menteri dan ornamen kerajaannya. Untuk menghindari perselisihan dan pengucilan, telah disetujui bahwa tiga bersaudara itu didudukan bersama di atas satu singgasana : Pangeran Sepuh pada urutan pertama (di sebelah timur), Pangeran Anom pada urutan kedua (di sebelah barat).

Sesuai dengan pembagian kerajaan Cirebon oleh susuhunan almarhum, kemudian pada posisi sebelah kanan duduk Pangeran Panembahan di sebelah timur saudara tertua. Selanjutnya para menteri berada dibawahnya. Bila Sultan Anom dan Panembahan tidak dapat hadir harus mengirim utusan pada hari Sabtu pagi kepada Sultan Sepuh untuk mengabarkan hal itu. Bila Sultan Sepuh berhalangan atau sakit, harus memberi kabar kedua pangeran.

Hanya Sultan Sepuh yang berhak bersabda dan untuk memberi perintah di alun-alun, bila Sultan Sepuh berhalangan, hak bersabda dan memberi komando berpindah ke tangan Sultan Anom. Bila keduanya berhalangan, Panembahan Cirebon harus mengambil alih tugas tersebut. Bila ketiganya tidak dapat hadir, tugas dapat diambil alih oleh putera tertua dari Sultan Sepuh, dan Sultan Anom. Bila mereka juga tidak hadir, Pangeran Ratu dari Pangeran Anom berhak mengambil alih tugas tersebut.

Berdasarkan suasana baru itu, tiga saudara itu bisa memberi perintah-perintah baru untuk menghindari perpecahan dan perselisihan di kerajaan Cirebon. Semua perselisihan yang ada harus dibawa ke hadapan Sultan Sepuh, demikian juga surat-surat dan utusan Kompeni. Pertama-tama harus dibawa ke hadapan Sultan Sepuh, ia harus segera memberitahu kedua saudaranya. Ia pun harus memberi tahu hal itu di alun-alun.

Para utusan dan surat segera dibawa masuk oleh Sahbandar dan seorang mantri. Utusan ditanyai dan surat dibaca. Selanjutnya, pendapat para pangeran dikemukakan, hanya Sultan Sepuh yang berhak menjawab pesan dengan persetujuan ketiganya. Bila Sultan Sepuh berhalangan, Sultan Anom menggantikannya.

Segala urusan yang berkenaan dengan kerajaan dan rakyat Cirebon misalnya membuka, membersihkan, membuat, mengubah arah sungai, jalan, kampung dan seterusnya harus ditangani oleh salah seorang dari ketiga pangeran, seandainya tidak ada pihak lain yang mengelolanya. Akan tetapi, Sultan Sepuh akan mengadakan rapat untuk memperbincangkan dan memutuskan masalah itu dengan pemungutan suara.

Untuk masalah yang kurang penting boleh diputuskan dalam rapat badan penasehat yang ditunjuk Raja Sepuh, meskipun kedua pangeran lain tidak hadir setelah diberitahu terlebih dahulu, sebagaimana tradisi dengan menghadirkan di alun-alun tiga mantri Raja Sepuh, dua mantri dari pangeran kedua dan dua dari pangeran ketiga. Dalam rapat diputuskan wakil dari para mantri yang harus melaporkan keputusan rapat kepada para pangeran. Selanjutnya waktu rapat Rabu dan Minggu yang ditentukan tidak boleh diubah atau diganti, kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

Ketiga pangeran masing-masing tidak berhak menghukum yang bukan rakyatnya. Bila hal tersebut terjadi sebelumnya harus diputuskan dalam rapat tujuh mantri dari tiga pangeran.

Semua sengketa para pedagang dan orang biasa harus diputuskan dalam rapat yang didasari undang-undang yang berlaku. Tindak pidana seperti pembakaran, pencurian, perampokan, dan seterusnya harus seadil-adilnya diputus dan dihukum menurut undang-undang yang berlaku. Kerugian harus diganti.

Tak seorang pun warga negara Cirebon bisa membantah dan menolak vonis dan keputusan badan penasehat tujuh mantri. Bila mereka naik banding, dalam persoalan besar para mantri membuat laporan kepada para pangeran. Sultan Sepuh akan meminta kedua saudaranya untuk memutuskan persoalan tersebut bersama-sama.

Untuk menghindari kekacauan dalam membuat stempel dan untuk mencegah perbedaan yang mencolok karena yang satu lebih ringan atau lebih kecil, tak seorang pun belum diperkenankan untuk membuatnya. Maka Raksa Nagara dari Sultan Sepuh dan Suradinata (dari) Pangeran Anom mempertimbangkan seorang tua yang bijak, memutuskan bahwa semua harus membuatnya serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom dan dibuat bulat dengan berat bersih satu kati dua tail, bila tidak bisa didenda dan semua harta bendanya disita.

Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom mendapat hak istimewa untuk mengganti pembuat stempel yang ditunjuk Tumenggung Suradinata dan Raksa Nagara. Dan dapat menunjuk orang-orang ahli dengan syarat stempel-stempel itu besar, karakter, dan beratnya sesuai dengan yang sekarang. Semuanya harus sama dan dianggap baik oleh ketiga pangeran.

Karena tidak ada masalah yang timbul akibat dibaginya kerajaan Cirebon menjadi tiga, Sahbandar akan bekerja atas ketiga pangeran. Menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Pangeran Sepuh yang diteruskannya kepada pangeran yang lain. Tumenggung Raksa Nagara diangkat menjadi Sahbandar.

Tumenggung Raksa Nagara hanya boleh mengurus pendapatan hasil tanah. Setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh, kemudian Suradinata mengambil hasil tanah yang lain dari orang Cina (Sinko) untuk Sultan Anom dan Panembahan Cirebon yang mendapat setengah dari hasil bersih. Pembagian hasil selanjutnya diurus Kompeni.

Bila kemudian timbul perbedaan pendapat dan perselisihan hingga seorang Sahbandar dibatalkan, dalam hal ini para pangeran tidak bisa menunjuk Sahbandar baru, tetapi akan mengajukan calon untuk diangkat dan ditempatkan.

Tumenggung Raksa Nagara dan pemerintah selanjutnya tidak boleh berjudi, mencampuri urusan orang Cina, pabrik arak, dan yang termasuk dalam urusan pribadi. Semuanya harus diserahkan kepada Cina Sinko yang kini berfungsi sebagai kepala profesi. Hal itu dirujuk Kompeni. Mendiang Sarapada diangkat sebagai kapten Cina dengan syarat Sinko tetap mengurusi pemasukan dari pabrik arak, judi dan hak guna tanah tahunan yang disepakati dengan Pangeran Cirebon seharga seratus ringgit Spanyol.

Panembahan Cirebon akan mengurus kesejahteraan rakyat dan menentukan, mengangkat hakim, dan mantri dari ketiga pangeran untuk suatu penyelidikan dengan saran dari Kompeni. Residen akan hadir dalam perundingan yang berjumlah 400 orang. Bila satu pihak berjumlah banyak (mayoritas) sedang yang lain sedikit (minoritas), dalam situasi semacam ini harus dikembalikan kepada panembahan atau dua saudaranya yang lain.

Dua pangeran tertua menganugerahi nama panembahan Cirebon kepada Pangeran Adipati Tohpati, setelah dimusyawarahkan dengan komisaris (utusan), dengan syarat bahwa ia harus tetap sebagaimana sekarang dan mempunyai kewajiban sebagai adik termuda. Tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari keduanya. Menjunjung tinggi nama anugerah tersebut.

Titel sultan dan panembahan dipergunakan dalam surat dan naskah dari Kompeni. Di luar itu disebut raja atau pangeran Cirebon dan nama asli Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta.

Ada perbedaan pandangan antara para pangeran dengan Kompeni dalam rapat dan diluar itu. Karena itu, komisaris (utusan) atas nama kompeni dan tiga pangeran berjanji akan meminta residen sebagai penengah yang akan datang ke rapat dan memberi pertimbangan sebab-sebab perbedaan pendapat.

Dengan ini, Kami Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon berjanji bahwa Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Ratu sebagai putera tertua dari Sultan Sepuh akan diserahi tugas untuk selanjutnya mengurus Cirebon.

Barangsiapa melanggar perjanjian ini bisa diadukan kepada gubernur jenderal Kompeni di Batavia.

Tiga pangeran mengangkat 12 menteri, lima dari Pangeran I, empat dari pangeran II, dan tiga dari pangeran III. Kontrak ini bersifat mengikat, barang siapa melalaikan kewajiban atau melanggar kontrak akan dihukum mati dengan keris di alun-alun oleh dewan menteri.

Kontrak ini ditandatangani dan dikuatkan dengan segel. Juga ditandatangani oleh para saksi dan dikuatkan oleh segel Kompeni. Demikian hal itu dilakukan di istana Sultan Sepuh pada hari Rabu 8 September 1688 / 18 Dzulkaidah tahun alif 1100 hijriah.

Reaksi terhadap perjanjian sunting

namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688[2] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)[4] tersebut tidak membuahkan hasil.

Referensi sunting

  1. ^ Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
  2. ^ a b "Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. [[Bandung]]: Universitas Pendidikan Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-25. Diakses tanggal 2020-11-08.  Konflik URL–wikilink (bantuan)
  3. ^ a b c Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
  4. ^ Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney: Oughtershaw Press